MAKALAH POLITIK MEMPENGARUHI PRODUK HUKUM INDONESIA
Membicarakan korelasi antara hukum
dan politik merupakan kajian yang menarik di kalangan ahli hukum dan politik.
Kajian ini menarik karena dua topik ini memiliki ranah yang berbeda. Hukum
merupakan ranah yang nyata yang melihat sesuatu itu berdasarkan norma hukum yang mempunyai sifat pemaksaan.
Hukum adalah wilayah “hitam putih” yang salah harus dihukum, yang benar
harus dibebaskan bahkan mendapat penghargaan (rewards). Sedangkan politik
adalah ranah kepentingan sebagai, “politic
is a goal attainment” politik adalah alat untuk mencapai tujuan.
Politik menggunakan segala cara
untuk mencapai tujuan, tak peduli legal atau illegal sepanjang cara itu bisa
mewujudkan tujuannya maka cara itulah yang ditempuh. Yang menarik justru antara
kedua topik yang berbeda itu ternyata mempunyai sifat yang saling mempengaruhi.
Pada tataran realitas kedua topik tersebut kadang-kadang menunjukkan bahwa
hukum dapat mempengaruhi politik atau sebaliknya politik dapat
mempengaruhi hukum. Moh Mahfud MD
mengemukakan tentang hal tersebut bahwa terdapat tiga macam jawaban untuk
melihat hubungan antara hukum dan politik. Pertama, hukum merupakan determinan
politik, kegiatan politik harus tunduk pada hukum, Kedua, pandangan yang
melihat bahwa politik determinan atas hukum karena sesungguhnya hukum adalah
produk politik yang sarat dengan kepentingan dan konfigurasi politik, dan
ketiga pandangan yang melihat bahwa hukum dan politik merupakan dua elemen
subsistem kemasyarakatan yang seimbang, karena walaupun hukum merupakan
produk politik maka ketika ada hukum yang mengatur aktivitas politik maka
politikpun harus tunduk pada hukum. Ketiga macam jawaban di atas adalah
bangunan teori yang dibangun berdasarkan realitas relasi antara dua
sistem tersebut. Pada kesimpulan akhir tulisanya Mahfud MD menyimpulkan bahwa
sesungguhnya politik determinan atas hukum, hukum yang lahir merupakan cerminan
konfigurasi politik.
PEMBAHASAN
Istilah sistem politik pertama kali
dikenalkan oleh David Easton, seorang
ilmuan politik Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Political System. Sistem politik dapat diartikan sebagai suatu
mekanisme dari seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur. Struktur politik
itu meliputi infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Infrastruktur
politik terdiri dari partai politik, golongan kepentingan, golongan
penekan, alat komunikasi politik dan tokoh politik. Sedangkan suprastruktur
politik terdiri dari lembaga lembaga Negara. Ada tiga sistem politik yang
berkembang yaitu komunisme, fasisme dan liberalisme.
Istilah “ hukum” di Indonesia berasal dari
bahasa arab qonun atau ahkam atau hukUm yang mempunyai
arti hukum. Secara etimologis hukum (Indonesia) disebut law (Inggris) dan recht (Belanda
dan Jerman) atau droit (Prancis).
Istilah recht berasal dari bahasa
Latin rectum berarti tuntutan atau
bimbingan, perintah atau pemerintahan. Istilah law (Inggris) dari bahasa Latin lex atau dari kata lesere yang berarti mengumpulkan
atau mengundang orang-orang untuk diberi perintah. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Algemeen
Deel menyatakan bahwa hukum itu suatu petunjuk tentang apa yang layak
dikerjakan dan apa yang tidak, jadi hukum itu bersifat suatu perintah.
Hubungan antara hukum dan politik
tergantung pada persepsi tentang apa yang kita maksudkan sebagai hukum dan apa
yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik dan
memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik maka
tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan
positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik maka
rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan
politik tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan
politik telah di atur dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah
dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat)
dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok
negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara hukum tanpa pengakuan dan
perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum
merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan
politik, dapat dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik
diletakan sebagai independent variable
(variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas
politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan
melihat realitas, bahwa kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang
abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang
parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum
pada hakikatnya merupakan adegan konstestasi agar kepentingan aspirasi semua
kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi
undang-undang.
Demikian pula hukum harus dapat
membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi
hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu dalam wujud sanksi hukum.
Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam
pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik
melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi, penuntut
umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan politik
hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu
saja sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar
hukum.
Konfigurasi politik diartikan
sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi
atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik
demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Istilah demokrasi merupakan
istilah ambigu, sehingga berbagai negara yang mengklaim diri sendiri sebagai
negara demokrasi telah menempuh rute-rute yang berbeda. Amerika Serikat
yang liberal dan bekas negara Uni Soviet yang totaliter sama-sama mengklaim
diri sebagai negara demokrasi. Kerapkali terjadi manipulasi terhadap konsep
demokrasi sehingga pemaksaan, penyiksaan, pelanggaran hak asasi manusia yang
dilakukan di negara komunis dapat dianggap dosa kecil dan menurut mereka tetap
harus dianggap demokratis karena ditujukan untuk menyelamatkan rakyat dalam
menyongsong masa depannya. Jadi setiap tindakan yang dapat diberi alasan untuk
menyelamatkan rakyat secara kolektif di negara komunis dianggap demokratis,
sesuatu yang sangat berlawanan dengan negara-negara yang menganut paham
liberalisme.
Carter dan Herz mencirikan kedua
sistem tersebut dalam gambaran yang kotradiktif. Dikatakannya, demokrasi secara
institusional ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan terhadap tindakan
pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok
dengan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib, dan damai melalui
alat-alat perwakilan rakyat yang bekerja efektif. Demokrasi juga memberikan
toleransi terhadap sikap yang berlawanan, menuntut keluwesan, dan kesediaan untuk
bereksperimen. Pembatasan terhadap wewenang pemerintah menyebabkan pemerintah
tidak boleh turut campur dalam segi tertentu kehidupan warganya yang berarti
pula bahwa pegawai pemerintah harus tunduk pada rule of law sebagai tindakan orang biasa dan hanya melaksanakan wewenangnya
sesuai dengan yang diberikan oleh undang-undang. Selain itu demokrasi juga
memberikan kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik,
organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat
umum semacam pers dan media massa. Sebaliknya totaliterisme, menurut Carter dan Herz, dintandai oleh dorongan dengan untuk memaksakan persatuan,
usaha menghapus oposisi terbuka dengan suatu pimpinan yang merasa dirinya
paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah, dan
pimpinan tersebut menjalankan kekuasaan melalui suatu elite yang kekal.
Di balik tindakan yang membenarkan
konsentrasi, mencakup pembatasan atas kekuasaan individu dan kelompok, sebagai
alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan terakhir yang pasti atau tujuan
tertentu yang menurut mereka sudah ditakdirkan oleh sejarah. Ciri menonjol
totaliterisme modern adalah tumpang tindihnya pola-pola dan struktur sosial
yang harus dilenyapkan, satu masyarakat yang homogeny dan seragam adalah
keadaan dari kejadian-kejadian yang sangat diinginkan. Ide semacam ini
berbahaya karena mengandung premis-premis sosiologis yang keliru. Dari gambaran
teoretis yang abstrak tentang kedua ujung spectrum politik tersebut sebenarnya
secara empiris tidak ada satu negara pun yang mengikuti bentuk teoretisnya
secara penuh, artinya di dalamnya sering banyak variasi.
Di dalam negara demokrasi misalnya
sering timbul gejala-gejala otoriterisme berkenaan dengan seringnya pemerintah
melakukan tindakan yang sepenuhnya ekonomis. Pemerintah tidak bersifat mewakili
secara sama dalam proses politiknya atau bertindak intervensif bagi
kehidupan rakyatnya dengan pembatasan-pembatasan tertentu secara aktif memainkan
berbagai peran dalam kehidupan ekonomi, budaya, dan sosial. Apalagi banyak
asumsi bahwa kecepatan laju pembangunan sering diperlambat oleh sistem politik
yang pluralistik (demokratis). Begitu juga negara-negara yang diidentifikasi
sebagai negara dengan rezim otoritarian, tidaklah dapat diidentifikasi secara
tunggal karena tidak dapat disamakan antara yang satu dengan yang lain. Yang
jelas tidak ada rezim otoritarian yang dianggap monolitik seperti tiadanya
kekuatan-kekuatan yang memperjuangkan demokrasi dapat dianggap seperti itu.
Dengan demikian, tampilan
konfigurasi politik di dalam suatu negara dapat bergerak sepanjang garis
kontinum yang menghubungkan dua kutub dalam spectrum politik, yaitu kutub demokrasi
dan kutub otoriter. Ini berarti tidak ada negara yang memiliki konfigurasi yang
betul-betul demokratis atau otoriter, tetapi setiap negara dapat diidentifikasi
berdasarkan kedekatannya pada salah satu ujung itu. Perjalanan konfigurasi
politik melalui garis kontinum dari satu ujung ke ujung lainnya sama dengan
perjalanan peran negara dalam proses ekonomi yang serba campuran. Artinya,
tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya bersifat laizzes-faire atau
sepenuhnya bersifat “hegemonik”.
Dapat disimpulkan, konfigurasi
politik suatu negara tidak dapat dipandang secara “hitam-putih” untuk disebut
demokrasi atau otoriter. Tidak mungkinnya penyebutan mutlak itu akan terasa
jika pilihan suatu negara atas suatu konfigurasi politik dikaitkan dengan
tujuan atau keperluan pragmatisnya. Adakalanya otoriterisme yang dianut oleh
suatu negara didasarkan pada alasan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya
sehingga kepentingan rakyat menjadi perhatian yang utama. Tujuan negara
otoriter seperti ini sebenarnya sama dengan tujuan negara demokrasi dalam
melindungi kepentingan rakyatnya. Di negara-negara yang menganut wawasan
welfare state misalnya, sangat jelas tujuan utamanya adalah membangun
kesejahteraan masyarakat, namun dengan pilihan strategi yang dari standar
konvensional tidaklah demokratis.
Betapapun, untuk keperluan
metodologis, studi ini memilih dua ujung konfigurasi politk yang
dikotomis tersebut sebagai salah satu kerangka teorinya, bahwa pemberian
kualifikasi suatu konfigurasi politik pada dasarnya netral. Artinya dilepaskan
dari penilaian tentang baik dan jelek yang memang sulit ditempatkan secara
konsisten di dalam suatu konfigurasi politik. Konfigurasi politik terhadap
hukum dapat diartikan bahwa politik determinan atas hukum sehingga hukum
merupakan produk politik. Karena lebih kuatnya konsentrasi politik, maka
menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerap kali hukum di Indonesia ini
diintervensi oleh politik, bukan hanya dalam proses pembuatanya tapi
implementasinya. Prinsip yang menyatakan politik dan hukum harus bekerja sama
dan saling menguatkan melalui ungkapan “ hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan
dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” menjadi semacam utopi belaka. Hal
ini terjadi karena kerap kali hukum menjadi cermin dari kehendak pemegang
kekuasaan, sehingga tidak sedikit yang memandang hukum adalah kekuasaan.
Seperti yang telah dijelaskan bahwa konfigurasi politik ada yang demokratis dan
otoriter yang mana kaitanya dengan produk hukum adalah karakteristiknya.
Konfigurasi politik demokratis menghasilkan produk hukum yang bersifat responsive/populistik.
Pada hukum responsif, peranan besar
terletak pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial
atau individu-individu di dalam masyarakat. Sedangkan konfigurasi politik
otoriter menghasilkan produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatif. Pada
strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lebaga negara (pemerintah
dan parlemen) sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hukum.
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah
konsepsi dan struktur kekuasaan politik yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu
merupakan alat politik dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada
keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik. Walaupun
kemudian proses hukum tidak di identikan dengan maksud pembentukan hukum, namun
dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal
yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah
masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Dari
kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu
proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk
hukum.
Pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni
mencakup kata process dan kata institutions, dalam mewujudkan suatu peraturan
perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak
pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.
Sehubungan dengan masalah ini, Miriam
Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun
akibat-akibatnya sesuai dengan pemegang kekuasaan.
Dalam proses pembentukan peraturan
hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam
institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi
diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum
tanpa di isi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi
politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
Kekuatan-kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang
dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang
tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara seperti Presiden, DPR dan
lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur
politik adalah seperti partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah
disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan
politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas
untuk itu.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik
dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem
konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang
dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi
perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas
kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas
batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan
fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang
demikian disebut sistem checks and balances, yaitu pembatasan kekuasaan setiap
lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada
yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing
Dalam Negara demokrasi, partai
politik merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara, sebab
melalui partai politik inilah rakyat menentukan kebijakan untuk memilih
presiden dan wakil presiden dan pejabat negara lainnya. Partai politik
merupakan alat yang pernah didesain oleh kelompok masyarakat dalam suatu negara
untuk mencapai tujuan politiknya, dan partai politik ini merupakan senjata yang
paling ampuh dalam menekan kesewenangan pihak penyelenggara negara. Sedemikian
pentingnya keberadaan partai politik dalam sebuah negara, sampai pada munculnya
pemeo dalam masyarakat yaitu negara modern tanpa partai politik, sama saja
dengan kolam yang tidak ada ikannya.
Partai politik sebagai institusi
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan
kekuasaan pihak yang berkuasa. Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh masyarakat
yang melahirkan partai politik itu. Partai politik selalu dianggap sebagai
salah satu atribut dari negara moderen, sebab partai politik itu sangat
diperlukan kehadirannya bagi negara yang berdaulat. Bagi negara yang berdaulat
eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana penyalur aspirasi
rakyat, juga merupakan penentu dalam proses penyelenggaraan negara melalui
wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat.
Partai politik sering kali di
asosiasikan orang sebagai organisasi perjuangan yaitu tempatnya seseorang atau
sekelompok orang memperjuangkan hak-hak politik dalam sebuah negara. Menurut
Huzhuszar dan Stevensoon dalam bukunya political science, sebagaimana yang
dikutip oleh Bakti Ritonga mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok
orang yang terorganisir dan berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar
dapat melaksanakan program-program dan menempatkan anggota-anggotanya dalam
jabatan pemerintah.
Partai politik berusaha untuk
memperoleh kekuasaan dengan dua cara, yaitu pertama ikut serta dalam
pelaksanaan pemerintaahn secara sah melalui pemilihan umum dengan merebut suara
terbanyak (mayoritas), kedua dengan cara tidak sah (subversive) untuk
memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara itu dengan cara revolusi. Lebih
lanjut dikatakan bahwa persaingan antar partai politik merupakan bagian
integral dalam proses guna memperoleh kemenangan dalam proses pemilihan umum.
Partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan umum, akan
memperkuat posisi elite dalam menjalankan kekuasaan dan merealisir tujuan lebih
lanjut yakni mengawasi kebijakan umum pemerintah.
Dalam konteks Indonesia, peran
partai politik sebagai aspek pengubah hukum terlebih dahulu harus merujuk
kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama
DPR. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa peran Presiden sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif mempunyai peran
seimbang dalam membuat dan mengadakan perubahan undang-undang. Berdasarkan
ketentuan itu pula ditentukan bahwa anggota DPR adalah orang-orang yang
mewakili atau diusulkan oleh Partai Politik yang ada.
Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa
tugas dan wewenang DPR yaitu bersama-sama dengan Presiden membentuk
undang-undang, bersama-sama Presiden menetapkan APBN, melaksanakan pengawasan
dalam pelaksanaan undang-undang yang berhubungan dengan pelaksanaan APBN dan
Pengelolaan Keuangan Negara serta kebijaksaan Negara dan pengelolaan keuangan
negara serta kebijaksanaan pemerintah, membahas untuk meratifikasi dan atau
memberikan persetujuan atas pernyataan perang/damai dan hasil pemeriksaan atas
pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK dan melaksanakan
hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan-ketetapan MPR kepada DPR.
Dari tugas dan wewenang DPR
sebagaimana tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa tugas dan wewenang itu
seimbang dengan tugas dan wewenang Presiden sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam
melakukan perubahan hukum. Selain itu, di luar DPR, anggota partai politik juga
berperan dalam mengubah hukum dengan memberikan masukan (kalau perlu dengan
tekanan) kepada DPR terhadap sesuatu hal yang merugikan rakyat.
Tidak semua aspirasi yang ada dalam
masyarakat dapat tertampung dalam partai politik yang telah ada dalam satu
negara. Aspirasi masyarakat yang tidak tertampung itu biasanya diwujudkan dalam
berbagai organisasi yang dibentuk diluar pemerintah, seperti organisasi
profesi, kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok penekan (pressure
group), dan kelompok kepentingan (interest group). Disamping itu juga terdapat
kelompok dari lembaga-lembaga internasional seperti Internasional Monetary Fund
(IMF), World Bank, dan berbagai lembaga internasional lainnya yang dapat
mempengaruhi produk-produk hukum dalam suatu negara.
Di luar kekuatan-kekuatan politik
yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya
yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh
institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan
yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai
negara yang menganut sistem demokrasi. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10
tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X
menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang di atur dalam Pasal 53 yang
berbunyai masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam
rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan
Peraturan Daerah.
Kenyataan di atas menunjukan bahwa
pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan
apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan
reformasi di segala bidang berhasil di menangkan, dengan ditandai jatuhnya orde
baru yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala
bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi
yang begitu besar dan luas.
Kenyataan yang perlu di sadari,
bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan
lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan
dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa
ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang
bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak
mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang
memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Satu catatan penting yang
perlu menjadi perhatian para lawmaker seperti yang dikemukakan oleh Walter
Lippmann, yaitu jika opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka
disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini
menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan
untuk memerintah.
Karena itu perlu menjadi catatan
bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok
masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini
publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah
peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada
dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas
rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan
rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
Sehubungan dengan organisasi
kemasyarakatan terdapat ciri penting yaitu kesukarelaan dalam pembentukan dan
keanggotaannya. Anggota masyarakat bebas membentuk, memiliki dan bergabung
dalam organisasi kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan bermasyarakat,
berbangsa dan bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama
dan kepentingan. Organisasi kemasyarakatan dibentuk atas dasar sifat
kekhususannya masing-masing, maka sudah semestinya apabila organisasi
kemasyarakatan berusaha melakukan kegiatan sesuai dengan kepentingan
anggotanya. Oleh karena itu, keberadaan organisasi kemasyarakatan, termasuk
Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan kebutuhan yang tidak dapat terelakkan.
Syaiful Hakim mengemukakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah
organisasi non pemerintah yang didirikan oleh masyarakat untuk tujuan tertentu,
terutama untuk ikut memberikan andil dalam pembangunan. LSM yang di dirikan itu
mempunyai perhatian dan fokus garapan yang berbeda dan biasanya disesuaikan
dengan kepentingan masyarakat yang menghendaki lahirnya LSM itu. Adapun bentuk
LSM berbagai spesifikasi misalnya dalam bidang lingkungan hidup dan pelestarian
alam, perlindungan anak-anak, penegakan hukum dan keadilan, kekayaan pejabat
dan mantan pejabat negara, kemandirian peradilan, tentang dugaan korupsi dan
pemberantasan KKN, tentang hak-hak asasi manusia dan kesetaraan gender dan
lembaga yang memerhatikan pelaksanaan demokrasi dan supremasi hukum.
Dalam melaksanakan kegiatan dan
program kerja sesuai dengan bidang yang menjadi sorotan masing-masing LSM,
kebanyakan dari mereka terlebih dahulu memgumpul data yang diperlukan dengan
mengadakan penelitian lapangan untuk mendapatkan dan mengetahui kondisi
objektif tentang persoalan yang menjadi bidang garapannya. Data-data yang
terkumpul itu dioleh sedemikian rupa sehingga di dapat data yang akurat yang
selanjutnya disusun langkah-langkah strategis selanjutnya untuk mengupayakan
perbaikan kondisi yang diinginkan oleh LSM tersebut. Dari hasil penelitian ini,
mereka mengadakan kajian lebih lanjut dengan mengadakan seminar-seminar guna
mendapatkan solusi terbaik terhadap persoalan yang dihadapinya. Hasil dari
penelitian dan kajian yang telah diseminarkan itu diserahkan kepada pembuat
kebijakan, baik pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang pada gilirannya
kalau hasil kajian itu bermanfaat untuk kepentingan masyarakat, maka akan
ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan baru dalam bidang hukum.
Sejak reformasi bergulir pada tahun
1998 kegiatan dari LSM semakin marak. Lembaga yang tumbuh di dalam masyarkat
itu telah berfungsi sebagai penegak peraturan yang berlaku di dalam masyarakat,
dan juga telah berfungsi sebagai alat untuk mendidik anggota masyarakat, supaya
mereka itu memiliki kesadaran untuk mematuhi segala peraturan, dengan demikian
dalam masyarakat akan terdapat ketertiban dan kedamaian.
Jadi dalam kehidupan masyarakat
diperlukan LSM untuk mengontrol penyelenggara negara agar segala sesuatu dapat
berjalan sebagaimana yang telah ditentukan. Misalnya WALHI, LSM dalam
Pemantauan dan Pelestarian Lingkungan Hidup dan Ekosistem, lebih mengarahkan
kegiatannya pada upaya bagaimana agar kelestarian lingkungan tetap terjaga
dengan cara mengurangi penebangan hutan secara ilegal agar bangsa Indonesia
terhindar dari ancaman banjir dan bencana alam lainnya.
LSM yang bergerak dalam bidang
masing-masing telah memberikan berbagai masukan kepada pembuat kebijakan baik
dalam bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif baik dalam rangka membuat
aturan hukum maupun dalam bidang penerapan hukum menuju kepada hal yang lebih
baik daripada sebelumnya. Pada era reformasi ini banyak aturan hukum
(undang-undang) yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah terlebih dahulu diminta
masukan-masukan dari berbagai pihak, termasuk LSM dalam bidang masing-masing.
Sehingga tampak bahwa peranan pengaruh dari LSM dalam mengubah suatu hukum yang
akan diberlakukan kepada masyarakat cukup dominan.
Penegakan hukum di Indonesia dinilai
masih belum lepas dari intervensi politik. Intervensi tersebut tidak hanya pada
proses pembentukan produk hukum, namun juga pada proses-proses pelaksanaannya
di lembaga peradilan. Menurut Ikrar Nusa Bakti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) dan Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency
International Indonesia, diungkapkan dalam Diskusi Intervensi Politik Terhadap
Penegakan Hukum dan HAM di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Rabu (25/2).
Menurut Ikrar, meski Indonesia sudah lepas dari era pemerintahan otoriter,
namun adanya intervensi poiltik masih belum dapat dilepaskan. Hal ini
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Sementara Todung menjelaskan, Indepedensi peradilan itu hanya mitos yang
tidak pernah ada dalam kenyataan. Todung mencontohkan, dalam pemilihan hakim
agung. Calon hakim yang diseleksi Komisi Yudisial pada akhirnya diserahkan ke
Dewan Perwakilan Rakyat. "Di sinilah transaksi politik terjadi.
orang-orang yang dikirimkan ke Mahkamah Agung merupakan hasil kompromi politik.
Memang ada hakim karir, tapi bahkan mereka pun tidak bebas dari transaksi
politik. Menurut Todung, indepedensi
peradilan ini akhirnya akan bermuara pada lembaga-lembaga peradilan. Kata dia,
lembaga-lembaga tersebut perlu ditata ulang lagi. Selain lembaga peradilan,
reposisi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat juga harus dilakukan.
Produk hukum yang dihasilkan masih
lebih mementingkan kepentingan dan kompromi politik dibandingkan rakyat. Hal
ini dapat terlihat banyak produk hukum yang dihasilkan di DPR justru kemudian
diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, menurut Wahyudi Jafar dari
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), proses pembentukan UU memang tidak
dapat dilepaskan dari adanya transaksi poltik. Namun yang terpenting juga
adalah bagaimana agar proses pelaksaan penegakan hukum oleh lembaga peradilan
menjadi mandiri.
Adanya diskriminasi penegakan hukum.
Harus diakui bahwa proses hukum kasus korupsi, khususnya yang berhubungan
dengan korupsi DPRD dan Kepala Daerah kental dengan nuansa diskriminasi. Namun
diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, yakni
ketika para koruptor diberikan kekhususan penanganan dibandingkan dengan
kejahatan lainnya. Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan
bersalah dan mendapatkan putusan tetap (in krahct) merupakan kebijakan
diskriminatif. Tidak memproses secara adil semua pelaku korupsi APBD juga
diskriminatif.
Akan tetapi, penyikapan politik
dengan meminta pembersihan nama baik anggota DPRD/Kepala Daerah akibat dari
perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan agenda yang telah keluar
dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik demikian tak
lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan
berlindung dibalik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota
DPR RI. Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten
mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak
justru sebaliknya, meneriakkan adanya diskriminasi, akan tetapi membuat
rekomendasi yang diskriminatif pula.
Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang memberikan kontribusi
pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu
pertama, faktor hukum (subtance)
atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya,
yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya,
yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni
lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, yang
merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil
karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam
proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni
yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut,
maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga
unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan
undang-undang cq. lembaga legislatif.
Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga,
unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.
Kedua pandangan di atas tampaknya
saling berkesesuaian. Kelima unsur sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan
menjadi tiga unsur sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dapat pula dirinci
lebih lanjut menjadi lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum
khususnya dalam bentuknya sebagai undang-undang merupakan produk politik,
artinya ialah bahwa undang-undang dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai
kekuatan sosial dan kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk
merealisasikan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepentingan-kepentingan
yang ada. Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi tersebut
meliputi kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD mengatakan dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum, bahwa
dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari
konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat
yang ada di dalam hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari
kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan
subsistem politik hukum, politik ternyata memiliki konsentrasi energi yang
lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah
Kondisi demikian mengeksplisitkan
bahwa perjalanan politik di Indonesia tidak ubahnya seperti perjalanan kereta
api di luar relnya, artinya banyak sekali praktik politik yang secara
substantif bertentangan aturan-aturan hukum.
Statemen-statemen di atas memberikan
penegasan, bahwa di dalam realitas empirisnya
politik sangat menentukan bekerjanya hukum, mulai sejak proses pembentukan sampai dengan tahap
implementasinya. Menurut Moh Mahfud MD,
pengaruh politik akan berpengaruh pada karakteristik produk-produk dan proses
pembuatannya. Hubungan kausalitas antara hukum dan politik, khususnya dalam
bidang hukum publik tampak dengan jelas bahwa sistem politik yang demokratis
senantiasa melahirkan produk hukum yang berkarakter responsif atau populistik
sedangkan sistem politik yang otoriter senantiasa melahirkan hukum yang
berkarakter ortodoks atau koservatif.
Pengaruh politik dalam pembentukan
hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. tiap tahapan
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dapat terelakkan dari pengaruh
politik, yang akhirnya berdampak pada substansi produk hukum yang dibentuk oleh
pemerintah yang cenderung memihak kepentingan kalangan tertentu.
Seharusnya produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah bisa
memihak semua kalangan termasuk juga memihak kepentingan Negara, tanpa ada
diskriminasi ataupun tumpang tindih antara produk hukum yang timbul akibat dari
kepentingan-kepentingan golongan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta.
Daniel S. Lev, 1990, Hukum Dan
Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik
Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1994, Pokok-Pokok
Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Said Umar, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika,
Malang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar