MAKALAH HUKUM AGRARIA
Dosen: Prof. Dr. A.
Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum.
ESENSI HAK MILIK ATAS TANAH
DAN PENGUASAANNYA
Oleh:
SAFRI AWAL
(P3600215005)
Program Studi
Kenotariatan
FAKULTAS HUKUM
Universitas
Hasanuddin
MAKASSAR
2015
KATA PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah Swt atas segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai sebagai tanggung jawab saya sebagai mahasiswa yang
turut serta mengikuti mata kuliah Hukum Agraria yang diasuh oleh dosen kami
tercinta Prof.Dr. A. Suriyaman Mustari
Pide, S.H., M.Hum, Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas
bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik
materi maupun pikirannya.
Dan
harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi
para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi
makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya tentu sadar bahwa masih
banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan
saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Makassar, 29 Desember 2015
Safri
Awal
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar
Belakang
Saat
ini telah masuk 55 tahun usia Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun
1960. Namun selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa tanah mengenai hak
Milik tak pernah reda. Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya
karena mempunyai arti yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia
sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas,
perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia berkubur. Sebagaimana diketahui
sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat
hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut
hukum tanah adat dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah
Barat. Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun
1960) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak
adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA.
Untuk
dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga
konversi. Konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum
berlakunya UUPA untuk masuk sistem dalam dari UUPA.[1] Secara akademis dapat
dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain
adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan
tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai
makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian.
Ini baik secara vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan
yang ada kaitannya dengan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan
tanah pada masa lalu dan di era reformasi muncul kembali gugatan, dualisme
kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan
mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan
agraria. Di satu pihak masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai
sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi di lain
pihak, hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat tersebut.
Pembukaan
UUD 1945 alenia ke-4 yang intinya adalah Negara melalui Pemerintah memiliki
tanggung jawab sekaligus tugas utama melindungi “Tanah Air Indonesia” yang
meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk
kesejahteraan bangsa Indonesia. Hak menguasai Negara merupakan konsep Negara
suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat, sehingga kekuasaan berada
ditangan Negara. Jadi Negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi untuk
mengatur dan mengurus.Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai
dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek
publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan
umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik
tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi
kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya
penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Dalam
hukum tanah kita kenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan
untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak
jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan
agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah. Dengan
mulai berlakunya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) terjadi perubahan
fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum dibidang
pertanahan, yang sering kita sebut sebagi Hukum Pertanahan yang dikalangan
pemerintahan dan umum juga dikenal sebagai Hukum Agraria. UUPA bukan hanya
memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria. sesuai dengan
namanya Peraturan dasar pokok-pokok Agraria, UUPA memuat juga lain-lain pokok
persoalan agrarian serta penyelesaiannya.
Ruang
lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi dan tubuh bumu dibawahnya serta
yang berada dibawah air. permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut
tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala
aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam
pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Setelah
keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria,
maka banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas tanah. Salah
satunya adalah diadakan konversi hak atas tanah oleh pemerintah.
Hak-Hak
atas tanah yang dikonversikan itu bukan saja hak-hak atas tanah yang bersumber
pada hukum perdata barat saja tetapi juga hak-hak atas tanah yang dikenal dalam
hukum adat seperti ganggam bauntuak, bengkok, gogolan dan sebagainya. Hak-hak
ini dikonversikan, karena tidak sesuai dengan jiwa Hukum Agraria Nasional,
yaitu karena sifatnya yang feodalis.
B. Rumusan
Masalah
Berdasarkan
latar belakang yang dikemukakan diatas maka dapat ditarik rumusan masalah
sebagai berikut:
1. Apa yang
menjadi tujuan pendaftaran tanah?
2. Apa landasan
hukum pendaftaran tanah?
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian
Hak Milik Atas Tanah
Hak
Atas Tanah Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada
seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas
tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri
khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah
berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi
haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo pasal 53
UUPA, antara lain[2]:
1. Hak
Milik
2. Hak
Guna Usaha
3. Hak Guna
Bangunan
4. Hak
Pakai
5. Hak
Sewa
6. Hak
Membuka Tanah
7. Hak
Memungut Hasil Hutan
8. Hak-hak
lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh
undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan
dalam pasal 53.
Dalam
pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan
hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena
hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah
tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA
sebagai hak atas tanahhanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan
sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan
(manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam
pasal 16, dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam
Hukum Tanah Nasional diberi sifat sementara. Hak-hak yang dimaksud antara lain
:
1. Hak
gadai
2. Hak
usaha bagi hasil
3. Hak
menumpang
4. Hak
sewa untuk usaha pertanian.
Hak-hak
tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan
dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak-hak tersebut menimbulkan pemerasan
oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang).
Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11
ayat 1). Selain itu, hak-hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal
10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan
diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila
tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah
pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam hak-hak atas tanah dengan
eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap
hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum
agraria Indonesia.
Adapun
Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
1. Hak
Milik
2. Hak
Guna Usaha
3. Hak
Guna Bangunan
4. Hak
Pakai
5. Hak
Sewa Tanah Bangunan
6. Hak Pengelolaan
Hak
atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
1. Hak
Gadai
2. Hak
Usaha Bagi Hasil
3. Hak
Menumpang
4. Hak
Sewa Tanah Pertanian Pencabutan Hak Atas Tanah.[3]
B. Pengertian
Penguasaan dan Menguasai
Pengertian
penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti
yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik.[4] Penguasaan dalam arti
yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan
pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara
fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil
manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.
Adapun
penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang
dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh pihak
lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri
melainkan disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah
tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi secara fisik dilakukan oleh
penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan
untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Misalnya, kreditor (bank)
memegang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang
dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap
ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik atas tanah ini dipakai dalam aspek privat,
sedangkan penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas
tanah sebagaimana yang disebutkan
dalam Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan
Pasal 2 UUPA.[5]
Hak
penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan
bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya.
Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak
penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di antara
hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.
C. Pengaturan
Hak Penguasaan Atas Tanah yang Mempunyai Wewenang Khusus
Dalam
tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA
misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak
penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, Yaitu:
1. Hak
Bangsa Indonesia Atas Tanah
Hak ini merupakan hak
penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam
wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk
bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam
Pasal 1 ayat (1)-(3) UUPA.
Hak Bangsa Indonesia atas
tanah mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah
NKRI merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai
Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat
religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia
Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia
dengan tanah bersifat abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu
sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam
keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat
memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3).
2. Hak
Menguasai dari Negara Atas Tanah
Hak ini bersumber pada hak
bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan
tugas kewenangan bangsa yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh
tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi
kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai
dari Negara Atas Tanah sebagai mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA
adalah:
a. Mengatur
dan menyelenggarakan peruntukan ,penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.
b. Menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
c. menentukan
dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan
hukum yang mengenai tanah.
3. Hak Ulayat
Masyarakat Hukum Adat
Hak ini diatur dalam Pasal 3
UUPA. Yang dimaksud hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian
wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan
tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Menurut Boedi Harsono, Hak
ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a. Masih
adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat
tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.
b. Masih
adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang
disadari sebagai kepunyaan bersama para warganya.
c. Masih
ada penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga masyarakat
hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana
hak ulayat
D. Pengaturan
Hak Penguasaan Atas Tanah yang Mempunyai Wewenang Umum
Hak
Penguasaaan atas tanah yang memberikan kewenangan yang bersifat umum (Hak
perorangan atas tanah) yaitu, hak penguasaan atas tanah yang memberi wewenang
bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya. Hak atas tanah
tersebut terdiri dari:
1. Hak Atas
Tanah Orisinal Atau Primer
Yaitu,
hak penguasaan atas tanah yang memberi wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan
tanah yang dikuasainya seperti:
a. Hak
milik
Hak Milik adalah hak atas
tanah yang turun temurun, terkuat, dan terpenuh[6]. Hal ini sesuai dengan
ketentuan pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut: ”Hak
Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang
atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6. Hak Milik dapat beralih dan
dialihkan kepada pihak lain.
Hak Milik adalah hak atas
tanah, karena itu tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkadung dalam
tubuh bumi dan yang ada dibawah atau didalamnya.
Subyek Hak Milik yang dapat
mempunyai tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan pelaksanaanya, adalah:
(1) Perseorangan
WNI, baik pria maupun
wanita, tidak berwarganegaraan rangkap (Pasal 9, 20 (1) UUPA).
(2) Badan-badan
Hukum Tertentu
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas
tanah, yaitu bank-bank yang didirikan oleh negara, koperasi pertanian, badan
keagamaan dan badan sosial (Pasal 21 (2) UUPA).
Terjadinya
Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagai mana disebutkan dala
Pasal 22 UUPA, yaitu:
(1) Hak
Mik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat.
(2) Hak
Milik Atas tanah tertajdi karena Penetapan Pemerintah.
(3) Hak
Milik atas tanah terjadi karena Undang-undang.
Adapun
ciri-ciri dan sifat Hak Milik yaitu:
(1) Tergolong
hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997
(2) Dapat
diwariskan
(3) Dapat
dialihkan dengan cara seperti jual beli, hibah, tukar menukar, lelang dan
penyertaan modal.
(4) Turun
temurun.
(5) Dapat
dilepaskan untuk kepentingan sosial.
(6) Dapat
dijadikan induk hak lain.
(7) Dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.
Hapusnya
Hak Milik diatur didalam Pasal 27 UUPA yang
menetapkan faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas tanah,
bila:
(1) Tanahnya
jatuh kepada Negara, contohnya:
a) Karena
Pencabutan Hak berdasarkan Pasal 18 UUPA.
b) Dilepaskan
secara suka rela oleh pemiliknya.
c) Dicabut
untuk kepentingan umum.
d) Tanahnya
diterlantarkan.
e) Karena
subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai sunyek hak milik atas tanah.
f) Karena
peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain yang
tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah.
(2) Tanahnya
mustas contohnya jika terjadi bencana alam.
b. Hak
Guna Usaha
Ketentuan umum Hak Guna
Usaha (HGU) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, 28 s/d 34, 50 ayat (2)
UUPA, Pasal 2 s/d 18 PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan HP.
Pengertian HGU adalah hak
untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu
tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan
(lihat Pasal 28 ayat (1), PP No.40/1996).
Subyek HGU. Yang dapat
mempunyai HGU menurut Pasal 30 UUPA Jo. Pasal 2 PP No. 40/1996, adalah:
(1) Warga
Negara Indonesia
(2) Badan
Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Asal dan terjadinya HGU
adalah tanah negara. Kalau asal tanah HGU berupa tanah hak, maka tanah hak
tersebut harus dilakukan pelepasan ata penyerahan hak oleh pemegang hak dengan
pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang hak HGU.
Terjadinya HGU dapat melalui
penetapan pemerintah (pemberian hak) dan ketentuan Undang-undang (ketentuan
konversi hak erpacht).
Luas HGU.
Luas tanah HGU adalah untuk
perserorangan minimal 5 Ha dan maksimal 25 Ha. Sedangkan untuk badan hukum luas
minimal 5 Ha dan luas maksimal 25 Ha atau lebih (menurut UUPA). Ketentuan luas
maksimal tidak ditentukan dengan jelas tetapi PP No. 40/1996 menyebutkan luas
maksimal ditetapkan oleh menteri dengan memperhatikan pertimbangan pejabat yang
berwenang. Dengan membandingkan kewenangan Surat Keputusan Pemberian Hak
seperti kewenangan Ka BPN Kota/kab maksimal 25 Ha, Kanwil BPN maksimal 200 Ha,
di atas 200 Ha kewenangan Menteri Agraria/Ka BPN.
Jangka waktu HGU mempunyai
jangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang
untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Sedang menurut Pasal 8
PP No. 40/1996 mengatur jangka waktu HGU untuk pertama kalinya 35 tahun,
diperpanjang paling lama 25 tahun dan dapat diperbaharui paling lama 35 tahun.
Permohonan perpanjangan dan pembaharuan diajukan palaing lambat 2 tahun sebelum
berakhirnya jangka waktu HGU.
Syarat yang harus dipenuhi
untuk dapat dilakukan perpanjangan waktu atau pembaharuan adalah:
(1) Tanahnya
masih diusahakan dengan baik sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya;
(2) Syarat-syarat
pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
(3) Pemegang
hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.
Kewajiban Pemegang HGU
berdasarkan Pasal 12 Ayat (1) PP No. 40 Tahun 1966 antara lain:
(1) Membayar
uang pemasukan kepada Negara.
(2) Melaksanakan
usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan.
(3) Mengusahakan
sendiri tanah HGU dengan baik sesuai kelayakan usaha berdasarkan kriteria dari
instansi teknis.
(4) Membangun
dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan
HGU.
(5) Memelihara
kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian
kemampuan lingkungan hidup.
(6) Menyampaikan
laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU,
(7) Menyerahkan
kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada negara setelah hapus.
(8) Menyerahkan
sertifikat HGU yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.
Hak Pemegang HGU berdasarkan
Pasal 14 PP No. 40 Tahun 1966 antara lain:
(1) Menguasai
dan mempergunakan tanah untuk usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau
peternakan;
(2) Penguasaan
dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah;
(3) Mengalihkan
hak tersebut kepada pihak lain.
(4) Membebani
dengan Hak Tanggungan.
Sifat dan ciri-ciri HGU
antara lain:
(1) Tergolong
hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
(2) Dapat
diwariskan.
(3) Dapat
dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
(4) Dapat
dilepaskan untuk kepentingan sosial.
(5) Dapat
dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
(6) Haknya
mempunyai jangka waktu tertentu.
(7) Dapat
berinduk pada hak atas tanah yang lain.
(8) Peruntukkannya
terbatas.
Hapusnya HGU berdasarkan
Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40 Tahun 1996 yaitu karena.
(1) Jangka
waktunya berakhir.
(2) Dihentikan
sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi.
(3) Dilepaskan
secara suka rela oleh pemegang haknya.
(4) Dicabut
untuk kepentingan umum.
(5) Ditelantarkan.
(6) Tanahnya
musnah.
(7) Pemegang
HGU tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGU.
c. Hak
Pakai
Hak Pakai (HP) diatur dalam Pasal
16 ayat 9) huruf d, 41, 43, 50 ayat (2) UUPA dan Pasal 39 s/d 58 PP No.
40/1996.
Pengertian HP adalah hak
untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara
atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan
dalam keputusan pemberian haknya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya,
yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (lihat
Pasal 41 (1) UUPA).
Subyek HP (lihat Pasal 42
UUPA dan Pasal 39 PP No. 40/1996):
(1) Warga
Negara Indonesia.
(2) Badan
hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(3) Departemen,
Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah.
(4) Badan-badan
keagamaan dan sosial.
(5) Orang
asing yang berkedudukan di Indonesia (lihat PP No. 41/1996).
(6) Badan
hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
(7) Perwakilan
negara asing dan perwakilan badan internasional.
Asal atau obyek hak pakai berdasarkan
Pasal 41 Ayat (1) PP No. 40/1996:
(1) Tanah
Negara.
(2) Tanah
Hak Pengelolaan
(3) Tanah
Hak Milik
Hak Pakai dapat terjadi
karena:
(1) Penetapan
Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
(2) Perjanjian
pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
(3) Undang-undang,
ketentuan tentang Konversi.
Jangka waktu HP. Jangka
waktu hak pakai berbeda sesuai dengan asal tanahnya, (Pasal 45 s/d 49 PP No.
40/1996):
(1) HP
atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali
paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20
tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Khusus HP
yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah,
badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan
internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama
tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
(2) HP
atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada
perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan
pemegang HP dapat diperbarui dengan pemberian HP baru dengan akta yang dibuat
oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor BPN setempat.
d. Hak
Pengelolaan
Hak Pengelolaan adalah hak
atas tanah yang memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk:
(1) Merencanakan
peruntukkan dan penggunaan tanahnya.
(2) Menggunakan
tanah untuk keperluan sendiri.
(3) Menyerahkan
bagian dari tanahnya kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang telah
ditentukan bagi pemegang hak tersebut yang meliputi segi peruntukan,
penggunaan, segi jangka waktu dan segi keuangannya.
Sifat dan ciri hak
pengelolaan yaitu:
(1) Tergolong
hak yang wajib didaftarkan.
(2) Tidak
dapat dipindahtangankan.
(3) Tidak
dapat dijadikan jaminan hutang.
(4) Mempunyai
segi-segi perdata dan segi-segi publik.
Subyek Hukum Hak Pengelolaan
yaitu:
(1) Badan
Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia
(2) Lembaga
dan Instansi Pemerintahan.
2. Hak
Atas Tanah Derivatif atau Sekunder
Yaitu, hak atas tanah yang
tidak langsung bersumber kepada Hak Bangsa Indonesia dan diberikan kepada
pemilik tanah dengan cara memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara
pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan[7], seperti:
(1) Hak
guna Bangunan.
(2) Hak
Pakai.
(3) Hak
Sewa.
(4) Hak
Usaha Bagi Hasil.
(5) Hak
Gadai.
(6) Hak
Menumpang.
BAB 3
PEMBAHASAN
A. Tujuan Pendaftaran Tanah
Sebagaimana
telah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA, bahwa diselenggarakannya pendaftaran
tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum (rechtskadaster/ legal cadastre). Secara lebih rinci tujuan
pendaftaran tanah diuraikan dalam pasal 3 PP No. 24 tahun 1997 sebagai berikut
:
1. Untuk
memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas
suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar
dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan.
Untuk itu kepada pemegang hak diberikan sertipikat sebagai suart tanda
buktinya. Tujuan inilah yang merupakan tujuan utama dari pendaftaran tanah
sebagaimana diamanatkan oleh pasal 19 UUPA.
2. Untuk
menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk
pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam
mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang dan satuan-satuan rumah susun
yang sudah terdaftar. Penyajian data dilakukan oleh Kantor Pertanahan di
Kabupaten / Kotamadia tata usaha pendaftaran tanah dilakukan dalam bentuk yang
dikenal dengan daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah,
surat ukur, buku tanah dan daftar nama. Sehingga pihak-pihak yang berkepentingan,
terutama calon pembeli atau calon kreditur, sebelum melakukan suatu perbuatan
hukum mengenai suatu bidang tanah atau satuan rumah susun tertentu perlu dan
karenanya mereka berhak mengetahui dat yang tersimpan dalam daftar-daftar di
Kantor Pertanahan tersebut. Hal inilah yang sesuai dengan asas terbuka dari
pendaftaran tanah.
3. Untuk
terselenggarakannya tertib administrasi pertanahan, pendaftaran tanah secara
baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan.
Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan
rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.
Pendaftaran
tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak
atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru,
kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah.
Dalam Pasal 1 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah
rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus,
berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan pengolahan, pembukuan dan
penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan
daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian
surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak
milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran
tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis
yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi
semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan,
baik tanah dipunyai dengan suatu hak atas tanah maupun tanah negara. Yang
dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut hukum adat dan hak atas
tanah menurut UUPA.
B. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah
Dengan
keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah
dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran
tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar
melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan
untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju
kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA
yang menyebutkan :
1. Untuk
menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh
wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan
Peraturan Pemerintah.
2. Pendaftaran
tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a. Pengukuran,
perpetaan dan pembukuan tanah.
b. Pendaftaran
hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c. Pemberian
surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3. Pendaftaran
tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan
lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut
pertimbangan Menteri Agraria.
4. Dalam
Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran
termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu
dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kalau
di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal
23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar
menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi
mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
1. Pasal
23 UUPA :
(1) Hak
milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan
hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan dimaksud dalam Pasal
19.
(2) Pendaftaran
termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak
milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
2. Pasal
32 UUPA
(1) Hak
guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan
dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan
yang dimaksud dalam Pasal 19.
(2) Pendaftaran
termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan
serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka
waktunya berakhir.
3. Pasal
38 UUPA
4. Hak
guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap
peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut
ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
5. Pendaftaran
termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya
hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu
hapus karena jangka waktunya berakhirnya.
Dari
ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang
dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah
merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan,
pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Untuk mempunyai hubungan
hukum dengan tanah maka terlebih dahulu hak atas tanah harus di daftarkan di
kantor Badan Pertanahan Nasional, karena pendaftaran tanah tersebut memberikan
suatu kejelasan tentang status hak atas tanah.
B. Saran
Pemerintah harusnya sadar
akan pentingnya penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak
Badan Pertanahan Nasional sehingga masyarakat akan sadar dan mengerti
pentingnya perlunya dilakukan pendaftaran Tanah.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Achmad
Chulaemi, (2006), Hukum Agraria,
Perkembangan, Macam-macam Hak Atas Tanah dan Pemindahannya, FH Undip,
Semarang.
A.P.Parlindungan,
(1990), Pendaftaran Tanah Di Indonesia,
Mandar Maju, Bandung.
________,
(1993), Komentar Atas Undang-Undang Pokok
Agraria, Bandung Mandar Maju, Bandung
Arie S
Hutagalung, (2001), Asas-Asas Hukum
Agraria, UI Press, Jakarta
Boedi Harsono,
(1995) Hukum Agraria Indonesia, Sejarah
Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan.
Jakarta.
________, (2008),
Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Urip Santoso,
(2010), Hukum Agraria dan Hak-hak Atas
Tanah, Prenada Media Group, Jakarta.
Undang-undang
Undang-undang
Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Peraturan
Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan
Hak Pakai Atas Tanah.
[1]
A.P.Parlindungan, Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1990. Hal 1
[2]
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang
Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 1995, Hal. 48
[3]
Achmad Chulaemi, Hukum Agraria, Perkembangan, Macam-macam Hak Atas Tanah dan
Pemindahannya, Semarang, FH Undip, 2006, Hal 69
[4] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,
Jakarta, Djambatan, 2008, Hal 23.
[5] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak
Atas Tanah, Jakarta, Prenada Media Group, 2010, Hal 73-74.
[6] A.P Parlindungan, Komentar Atas
Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung Mandar Maju, 1993, Hal. 124
[7] Arie S Hutagalung, Asas-Asas Hukum
Agraria, Jakarta, UI Press, 2001, Hal. 27
Tidak ada komentar:
Posting Komentar