IMPLIKASI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN APHT OLEH PPAT
IMPLICATIONS DELAY APHT REGISTRATION BY PPAT
Safri
Awal (P3600215005)
Program
Studi Kenotariatan, Universitas Hasanuddin
Alamat
Koresponden:
Safri
Awal
Alamat:
Jl. Perintis Kermerdekaan Km. 11 Kompleks Budidaya Permai Blok 1 No.11,
Makassar
Hp.
085230853898
Email:
syafwal@gmail.com
Abstrak
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan
dengan tahap pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat
Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang kemudian didaftarkan di Kantor Pertanahan. PPAT wajib
mendaftarkan APHT pada Kantor
Pertanahan selambat-lambatnya tujuh hari
kerja setelah penandatanganan
APHT, namun dalam praktik sehari-hari, terdapat PPAT yang terlambat mendaftarkan
APHT ke Kantor Pertanahan. Tujuan penelitian
ini untuk mengetahui, memahami dan
menganalisis apakah keterlambatan
pendaftaran APHT mempengaruhi keabsahan
Hak Tanggungan dan untuk mengetahui, memahami dan menganalisis apa
akibat hukum lewatnya batas waktu kewajiban mendaftarkan APHT oleh PPAT.
Setelah diadakan penelitian dengan pendekatan peraturan perundang-undangan diambil kesimpulan bahwa keterlambatan pendaftaran APHT
tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT, sehingga setelah APHT tersebut
didaftarkan tidak mempengaruhi proses lahirnya
Hak Tanggungan dan
keabsahan Hak Tanggungan,
Hak Tanggungan baru akan lahir
setelah tujuh hari APHT didaftarkan secara lengkap beserta warkah-warkah yang
dibutuhkan untuk pendaftaran, dibuktikan dengan terbitnya sertifikat Hak
Tanggungan. Keterlambatan pendaftaran
hanya akan menunda lahirnya Hak Tanggungan, namun tidak
berpengaruh terhadap keabsahan APHT untuk
proses pendaftaran Hak Tanggungan. Akibat hukum lewatnya batas waktu kewajiban
mendaftarkan APHT oleh PPAT, dapat menimbulkan gugatan beserta sanksi terhadap
PPAT itu sendiri, baik secara perdata maupun administratif, dan dapat menimbulkan
kerugian bagi para pihak yang
melakukan perjanjian khususnya
pihak kreditor.
Kata kunci: Keterlambatan, APHT,
PPAT
Abstract
Obligations Vesting
do with the
making of Vesting
Act Liability (APHT) by Record Office
Land Act (PPAT) is
then registered in
the Lands Office. APHT must
register at the Lands Office no later than 7 days after the signing of the
APHT, but in practical this day, there’s PPAT late to register APHT to Lands Office. The purpose of this study to
know, understand and analyze the delay
affect the validity of APHT
registration rights obligations and to
know, understand and analyze what caused the latest legal obligation
deadline to register APHT by PPAT. Having conducted research with the approach
of legislation and the opinion of the scholars be concluded that late registration
APHT has no effect on the validity of the APHT, the APHT until after registration
does not affect the validity of the birth of Rights Obligations and Liabilities
Rights, Rights of the new obligations will be born after 7(seven) day registered
APHT and attach the letter required for registration, as evidenced by a
certificate issued rights obligations. Late registration will only delay the
birth of rights obligations, but did not affect the validity of the APHT for
the registration rights obligations. Due to the latest legal obligation
deadline to register APHT by PPAT, can give rise to a lawsuit along with
sanctions against PPAT itself, either civil or administrative, and cancause damage
to the party who commits the agreement
particularly the creditors.
Keywords:
Tardiness, APHT, PPAT
PENDAHULUAN
Pembangunan
ekonomi sebagai bagian dari Pembangunan Nasional yang merupakan salah satu
upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil, makmur dan merata,
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara
keseimbangan pembangunan tersebut yang para pelakunya meliputi baik pemerintah
maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan Badan Hukum sangat diperlukan
dana dalam jumlah besar. Perkembangan
dalam sektor perekonommian masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan
perkembangan yang sangat baik, diantaranya
kemudahan dalam memperoleh kredit juga menjadi
faktor pendukung kemajuan ekonomi. Masyarakat
baik secara perorangan atau korporasi
berusaha meningkatkan usahanya, dalam upaya mencukupi kebutuhannya ini dibutuhkan
sumber dana yang antara lain dalam bentuk perkreditan agar dapat mendukung
kebutuhan modal kerja yang semakin meningkat.
Masyarakat
dapat mengajukan pinjaman uang kepada bank dengan memberikan jaminan kepada
Bank, dalam hal ini pihak yang memberikan pinjaman uang disebut sebagai kreditor
dan pihak yang menerima pinjaman
uang disebut sebagai Debitor.
Hubungan ini disebut sebagai perjanjian
Kredit; kredit juga
dapat membantu menjaga kestabilan
perekonomian Negara, karena dengan adanya kredit akan sangat membantu
masyarakat untuk mengembangkan usahanya, melancarkan produksi
dan perdagangan sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan taraf
hidup masyarakat.
Untuk memperoleh
kredit dari bank, hal
yang perlu diperhatikan
adalah jaminan, karena jaminan merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam pemberian kredit. Ada
beberapa macam jaminan
kebendaan yang dikenal
dalam hukum, antara lain Hak
Tanggungan. Pada tanggal 9
April Tahun 1996
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) diundangkan sebagai
realisasi dari Pasal 51
Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun
1960 (UUPA).
Jaminan
kebendaan merupakan penjaminan yang dilakukan oleh kreditor terhadap debitor,
atau antara kreditor dengan seorang pihak ketiga guna menjamin dipenuhinya
kewajiban-kewajiban dari debitor. Jaminan benda tidak bergerak berupa hak atas
tanah “yaitu barang milik dalam hal ini hak atas tanah milik debitor yang
diikat sebagai jaminan, yang oleh Bank digunakan sebagai pelunasan melalui
menjual lelang jika debitor tidak mampu mengembalikan pinjaman” dijaminkan
dalam bentuk Hak Tanggungan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan
Dengan Tanah.
Pemberian Hak
Tanggungan dilakukan dengan tahap pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan
(APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang kemudian
didaftarkan di Kantor Pertanahan,
tetapi sebelum dibuatnya APHT, dapat
juga terlebih dahulu
dibuat Surat Kuasa Membebankan
Hak Tanggungan (SKMHT) di
hadapan Notaris atau
PPAT yang mencantumkan secara
jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama identitas kreditornya, serta
nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan.
Setelah ditandatanganinya APHT tersebut PPAT wajib
mendaftarkan APHT pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya Tujuh hari kerja
setelah penandatanganan APHT, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 13 ayat (2) UU
Hak Tanggungan. Namun pada prakteknya,
terdapat PPAT yang
terlambat mendaftarkan APHT ke Kantor Pertanahan, hal ini tentu saja
tidak sesuai dengan tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, terutama jika hal
ini menimbulkan akibat buruk bagi
kreditor.
METODE PENELITIAN
Tipe dan
Pendekatan Penelitian
Tipe
penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif,yaitu penelitian
yang didasarkan pada penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan
terhadap masalah-masalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan
perundang-undangan yang berlaku dan bahan hukum lainnya. Sebagai penelitian
hukumnormatif, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan
perundang-undangan (statute approach),
dan pendekatan konseptual (conceptual
approach)
Bahan
hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer yang
terdiri dari peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah Undang-undang Nomor
7 tahun 1992
tentang Perbankan (LN
RI Tahun 1992 Nomor 53, TLN RI Nomor 3481), Sebagaimana
diubah dengan Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (LN RI Tahun 1998
Nomor 182, TLN RI Nomor 3790), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (LN RI Tahun 1996
Nomor 42, TLN RI Nomor 3632) dan Peraturan
Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
PPAT (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52). Data
sekunder, yaitu data yang sudah tersedia ditempat penelitian yang diperoleh
melalui penelitian kepustakaan (library
research) dengan mempelajari, buku-buku literatur, peraturan
perundang-undangan, jurnalilmiah dan lain-lain yang berhubungan dengan objek
penelitian.
Teknik Pengumpulan
Data
Teknik pengumpulan
data dalam penelitian ini yaitu melalui
pengumpulan data atas kasus
yang terjadi dalam praktik
praktisi di lapangan
dan melalui studi kepustakaan, yaitu menginventarisir peraturan
perundang-undangan, buku-buku, majalah-majalah,
bahan-bahan kuliah, dan tulisan-tulisan lainnya
untuk memperoleh bahan hukum yang sesuai dengan objek penelitian yang dikaji
untuk selanjutnya disusun secara
sistematis berdasarkan pokok
bahasan dalam penelitian.
Analisis Data
Data
yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode
kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh berupa data primer
dan data sekunder kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan.
HASIL
Adapun
manfaat dari pendaftaran APHT yakni unuk memenuhi asas publisitas, pendaftaran tersebut
dilakukan untuk memberitahukan masyarakat atau pihak lain bahwa obyek hak atas
tanah tersebut telah dijadikan jaminan untuk pelunasan utang dari pemiliknya,
dengan kata lain pemenuhan asas publisitas ini untuk turut serta mengikat pihak
ketiga, hal ini juga diungkapkan oleh Habib
Adjie “Dengan dicantumkannya janji-janji tersebut dalam APHT, yang kemudian
diikuti dengan pendaftaran Hak-Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan, maka
terpenuhi Asas Publisitas, dengan demikian janji-janji tersebut mempunyai
kedudukan yang mengikat terhadap pihak ketiga”, apabila APHT tidak didaftarkan
atau tidak terpenuhinya asas publisitas, maka pihak ketiga tidak terikat atas
perjanjian dan janji-janji yang telah dibuat
oleh kreditor dan
pemberi obyek jaminan, perjanjian tersebut
hanya mengikat para pihak yang melakukan perjanjian.
Bank hanya
memberikan kredit jika
mempunyai keyakinan atas kemampuan dan kesanggupan debitor dalam
mengembalikan pinjamannya, salah satu aspek yang digunakan sebagai pertimbangan
bank adalah menganjurkan debitor menyerahkan barang miliknya yang diikat
sebagai jaminan kredit. Jaminan yang dimaksud adalah itikad dan kemampuan serta
kesanggupan debitor dalam mengembalikan pinjamannya, jika pihak kreditor
ragu-ragu terhadap itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor dalam
mengembalikan pinjamannya, berarti bank selaku kreditor meragukan itikad dan
kemampuan serta kesanggupan debitor.
J. Satrio menyampaikan bahwa “Maksud asas publisitas pada
pendaftaran tanah adalah, bahwa dengan membayar sejumlah uang tertentu, orang
bisa melihat buku tanah dan dari buku tanah bisa diketahui ciri-ciri dari pada
tanah yang bersangkutan, baik
mengenai subyek maupun obyek haknya”,
hal yang disampaikan oleh J. Satrio
adalah mengenai fungsi pendaftaran, pendaftaran bertujuan agar pihak ketiga
dapat secara langsung mengetahui
kondisi dari tanah
yang bersangkutan, apakah sedang
dalam pembebanan hak tanggungan
atau tidak, dengan diketahuinya kondisi obyek dapat
menjadi informasi yang
berguna bagi pihak
ketiga, dan apabila terjadi perbuatan hukum yang melibatkan pihak
ketiga, maka pihak ketiga terikat dalam janji-janji yang dibuat oleh kreditor
dan pemberi obyek jaminan. Sedangkan di
dalam UU Hak Tanggungan tidak ditentukan akibat hukum keterlambatan pendaftaran APHT. Jika ditelusuri dalam
UU Hak Tanggungan, maka dapat
kita ketahui bahwa APHT
dibuat berdasarkan SKMHT, di
mana SKMHT diatur dalam Pasal 15 yaitu:
Pasal 15
(1)
Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan
wajib dibuat dengan
akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.
tidak memuat
kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
b.
tidak memuat
kuasa substitusi;
c.
mencantumkan secara jelas obyek Hak
Tanggungan, jumlah utang dan nama
serta identitas kreditornya,
nama dan identitas
debitor apabila debitor bukan
pemberi Hak Tanggungan.
(2)
Kuasa Untuk
Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat berakhir oleh sebab apapun
juga kecuali karena
kuasa tersebut telah dilaksanakan atau
karena telah habis
jangka waktunya sebagaimana
dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3)
Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan
mengenai hak atas tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti
dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu)
bulan sesudah diberikan.
(4)
Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan
mengenai hak atas
tanah yang belum terdaftar wajib
diikuti dengan pembuatan
Akta Pemberian Hak Tanggungan
selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
(5)
Ketentuan
sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu yang
ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan yang berlaku.
(6)
Surat Kuasa
Membebankan Hak Tanggungan yang tidak
diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan dalam
waktu yang ditentukan sebagaimana
yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu yang
ditentukan menurut ketentuan
sebagaimana yang dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.
Di dalam
Pasal 15 ayat
(3) dan ayat
(4) terdapat batas
waktu kewajiban pembuatan APHT
setelah SKMHT diberikan yaitu 1 (satu) bulan untuk hak atas tanah yang sudah
terdaftar dan 3 (tiga) bulan untuk hak atas tanah yang belum terdaftar. Lewatnya
batas waktu pembuatan APHT ini dalam ketentuan Pasal 15 ayat (6) berakibat
SKMHT batal demi hukum. SKMHT menurut Pasal 15 ayat (2) tidak dapat ditarik
kembali karena sebab apapun juga kecuali karena kuasa sudah dilaksanakan atau
karena habisnya jangka waktu pembuatan APHT.
Ketentuan ini menunjukan bahwa pembuatan SKMHT saja belum mengikat obyek
jaminan, namun hanya sebatas
pemberian kuasa membebankan
Hak Tanggungan oleh pemilik kepada penerima kuasa. Dengan
dibuatnya APHT maka obyek jaminan sudah terikat dan pemilik berkewajiban untuk
menyerahkan obyek jaminan untuk pelunasan
utang. Pemberian SKMHT
tersebut harus diberikan
langsung oleh pemberi Hak Tanggungan
dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan dalam
UU Hak Tanggungan. Tidak dipenuhinya syarat-syarat tersebut mengakibatkan SKMHT
yang bersangkutan batal
demi hukum, yang berarti bahwa
surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar pembuatan
APHT. PPAT wajib
menolak permohonan untuk
membuat APHT, apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak
Tanggungan.
Akibat
hukum lewatnya batas waktu pendaftaran APHT, tidak mengurangi ataupun
mempengaruhi keabsahan Hak Tanggungan, belum terdaftarnya APHT hanya menyebabkan
tidak terikatnya pihak ketiga terhadap janji-janji yang diperjanjikan
oleh kreditor dan pemilik obyek Hak Tanggungan, janji-janji tersebut hanya
mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Dalam praktik apabila PPAT
terlambat mendaftarkan APHT, PPAT tetap
dapat mendaftarkan APHT disertai surat keterlambatan dan tidak mengurangi
keabsahan Hak Tanggungan. “Dengan demikian apabila agunan yang diterima oleh
Bank telah diikat secara sempurna sesuai Undang-undang Hak Tanggungan tersebut,
Bank mempunyai kedudukan yang diutamakan dibandingkan dengan kreditor lainnya” Hanya
saja apabila APHT tidak segera
didaftarkan akan dapat menimbulkan permasalahan apabila pemilik obyek
kehilangan kewenangannya terhadap obyek tersebut sehingga APHT tidak dapat
didaftarkan, serta apabila hak milik obyek tersebut telah berpindah pada
pihak ketiga dan
pihak ketiga tidak mengetahui apabila obyek tersebut telah
dijaminkan, hal ini dapat menimbulkan permasalahan dikemudian hari,
sebab dengan tidak
didaftarkanya APHT maka
pihak ketiga tidak terikat pada
janji yang ada di dalam APHT.
PEMBAHASAN
Jika
dikaitkan dengan teori hukum murni yang dianut oleh Hanz Kelsen yakni “hukum adalah sebuah sistem norma, norma adalah
pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das solen”, Pendaftaran APHT
bertujuan agar setipikat Hak Tanggungan dapat lahir dan kreditor sebagai pihak
yang berkepentingan dilindungi hak-haknya oleh UU Hak Tanggungan.
Namun dengan terlambatnya pendaftaran
APHT pasti juga mempengaruhi waktu
lahirnya Hak Tanggungan, di
mana dalam massa
waktu tersebut bisa saja
muncul gugatan dari
pihak ketiga, sita pengadilan,
maupun dijatuhkannya pailit kepada pemberi Hak Tanggungan, dimana kreditor
maupun PPAT tidak selalu mengetahui keadaan ekonomi debitor. Tentu saja hal ini
akan menimbulkan kerugian bagi pihak kreditor selaku pemberi piutang.
Menurut
J.B.J.M ten Berge yang dikutip oleh Habib Adjie dalam buku Hukum Notaris Indonesia secara garis
besar sanksi Administratif
dapat dibedakan menjadi
3 (tiga) macam, yaitu :
1.
Sanksi Refaratif
Sanksi
ini ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum. Dapat berupa penghentian
perbuatan terlarang, kewajiban
perubahan sikap/tindakan sehingga
tercapai keadaan semula
yang ditentukan, tindakan
memperbaiki sesuatu yang berlawanan dengan aturan. Contohnya paksaan untuk
berbuat sesuatu untuk pemerintah dan
pembayaran uang paksa yang
ditentukan sebagai hukuman.
2.
Sanksi Punitif
Sanksi yang
bersifat menghukum, merupakan
beban tambahan, Sanksi hukuman tergolong
dalam pembalasan, dan
tindakan preventif yang menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang
sama atau mungkin untuk pelanggar-pelanggar
lainnya. Contohnya pembayaran
denda kepada pemerintah, teguran keras.
3.
Sanksi Regresif
Sanksi
sebagai reaksi atau suatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan
menurut hukum, seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum yang sebenarnya
sebelum keputusan diambil. Contohnya pencabutan, perubahan atau penangguhan
suatu keputusan.
Di
dalam UU Hak Tanggungan diatur sanksi bagi PPAT yang terlambat atau lalai memenuhi Pasal
13 ayat (2)
mengenai waktu pendaftaran
APHT, yaitu terdapat dalam Pasal
23 ayat (1) UU Hak Tanggungan :
Pasal 23
(1)
Pejabat yang
melanggar atau lalai
dalam memenuhi ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11
ayat (1), Pasal 13 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang ini dan/atau
peraturan pelaksanaannya dapat dikenai sanksi administratif, berupa:
a.
Teguran lisan.
b.
Teguran tertulis
c.
Pemberhentian
sementara dari jabatan
d.
Pemberhentian
dari jabatan.
Sanksi
yang dikenakan bagi PPAT apabila melanggar atau lalai memenuhi kewajiban pendaftaran APHT
dalam waktu selambat-lambatnya 7 (tujuh)
hari setelah APHT ditandatangani dapat berupa
teguran lisan untuk
sanksi teringan dan sampai
pemberhentian dari jabatan untuk
sanksi terberat. Namun
di dalam praktiknya, PPAT
apabila terlambat mendaftarkan APHT, dapat
mengirimkan surat
keterlambatan akta yang
ditujukan kepada Kepala
Kantor Pertanahan, dimana hampir
tidak pernah ada sanksi yang diberikan kepada PPAT tersebut dan pendaftaran APHT
tersebut dapat diproses
kembali. Padahal ketentuan
wajib mendaftarkan dalam waktu Tujuh hari memiliki maksud dan tujuan
serta sanksi untuk terciptanya kepastian dalam hukum dan mencegah hal-hal yang
dapat merugikan para pihak yang berkepentingan. “Tiada gunanya memberlakukan
kaidah-kaidah hukum manakala kaidah-kaidah
itu tidak dapat dipaksakan melalui
sanksi dan menegakkan
kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara)” kaidah hukum yang
terdapat dalam sebuah
peraturan apabila tidak
adanya sanksi dan penerapan nyata
dari sanksi tersebut
akan menjadikan kaidah
atau peraturan-peraturan tersebut
tidak berguna, karena tanpa adanya sanksi dan penerapan nyata, tidak akan menimbulkan efek
jera bagi orang
yang melanggarnya dan
tidak menimbulkan ketertiban dalam hukum itu sendiri.
Apa yang
terjadi apabila pada
saat telah lewatnya
batas waktu tujuh hari pendaftaran APHT belum didaftarkan
dan pemberi Hak Tanggungan dijatuhkan sita oleh pengadilan atau pailit?. Pendaftaran
merupakan syarat untuk lahirnya Hak Tanggungan, sehingga apabila Hak Tanggungan
belum lahir, semua hak-hak yang diberikan dalam UU Hak Tanggungan juga belum
lahir, kreditor hanya akan menjadi kreditor konkuren yang pelunasan piutangnya
sama dengan kreditor lain, sehingga
dapat menimbulkan kerugian
pada kreditor, yang
dapat mengajukan gugatan pada
PPAT.
Dasarkan
Pasal 23 ayat (1) UU Hak Tanggungan, PPAT yang terlambat mendaftarkan dapat
dikenakan sanksi administratif pemberhentian sementara dari jabatan, atau pemberhentian dari
jabatan. Namun yang terjadi
dalam praktik, PPAT tidak pernah
dijatuhi sanksi atas keterlambatan pendaftaran APHT tersebut. Dalam ketentuan
Pasal 23 ayat (3) UU Hak Tanggungan yaitu “pemberian sanksi sebagaimana
dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi sanksi yang dapat dikenakan
menurut peraturan perundang-undangan lain
yang berlaku” menentukan bahwa
pemberian sanksi pada ayat (1) tidak mengurangi sanksi yang dapat dikenakan
menurut peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, dalam hal ini dapat
didasarkan pada Pasal 1365 B.W. dan PP Nomor 37 tahun 1998.
Bagi
para pihak yang mengalami kerugian atas keterlambatan pendaftaran APHT, dapat
menggugat secara perdata berdasarkan kesalahan PPAT “Menurut Kitab
Undang-undang hukum perdata, unsur kesalahan merupakan syarat mutlak di mana
pembuat perbuatan melanggar hukum tersebut harus mengganti segala kerugian,
dengan tidak memperdulikan pada nilai berat ringannya kesalahan si pembuat
tersebut” sehingga keterlambatan pendaftaran APHT yang ditentukan dalam UU Hak
Tanggungan yaitu tujuh hari setelah ditandatanganinya APHT dapat menjadi salah
satu unsur kesalahan bagi PPAT, tanpa melihat pada nilai berat ringannya
kesalahan tersebut.
Apabila keterlambatan
pendaftaran APHT ini
menimbulkan suatu kerugian kepada
para pihak, maka berdasarkan Pasal 1365 B.W. “Tiap perbuatan yang melanggar
hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan
kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian tersebut”
ketentuan ini mewajibkan
setiap orang yang
menimbulkan kerugian bagi orang lain untuk mengganti kerugian sesuai
dengan kerugian yang diakibatkan oleh dirinya. “Kerugian yang dimaksud disini
adalah kerugian harta kekayaan pada umumnya
yang meliputi :
a.
kerugian yang
diderita oleh sipenderita,
b.
keuntungan yang seharusnya diperoleh.
Apabila
perbuatan PPAT menimbulkan kerugian
atau tidak diperolehnya
keuntungan yang seharusnya
diperoleh, PPAT sebagai
pejabat publik dapat
dimintakan pertanggungjawaban secara perdata berdasarkan ketentuan ini,
di mana apabila PPAT dalam melaksanakan jabatannya menimbulkan kerugian bagi
orang lain, maka PPAT tersebut juga wajib mengganti kerugian yang diakibatkan
olehnya.
Kesalahan atau
kelalaian yang menyebabkan
PPAT terlambat mendaftarkan APHT,
apakah termasuk kedalam wanprestasi? menurut M. Yahya Harahap, “wanprestasi adalah pelaksanaan
kewajiban yang tidak
tepat pada waktunya, atau
dilakukan tidak menurut selayaknya” pelaksaan sesuatu hal yang sudah seharusnya
mejadi kewajiban seseorang yang tidak dilakukan sepenuhnya atau hanya sebagian
saja, atau jika tidak tepat waktunya maka hal tersebut sudah termasuk kedalam wanprestasi,
begitu pula jika kewajiban itu tidak dilakukan menurut selayaknya,
yaitu tidak sesuai
dengan apa yang
telah menjadi kewajibannya, jika kita
melihat dalam Pasal
13 ayat (1)
dan (2) pendaftaran merupakan kewajiban
dari PPAT yang
dibatasi oleh waktu
yakni selambat-lambatnya 7 hari,
dan pendaftaran ini telah dipercayakan oleh undang-undang dan para pihak
kepada PPAT yang
telah ditunjuk khusus untuk
melakukan pendaftaran APHT. Sehingga apabila PPAT terlambat mendaftarkan
APHT atau bahkan tidak mendaftarkan APHT sesuai dengan yang ditentukan oleh UU
Hak Tanggungan, PPAT tersebut
dapat dikatakan sudah
memenuhi unsur dari wanprestasi.
Sanksi bagi
PPAT juga terdapat
dalam PP Nomor
37 tahun 1998, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 10
ayat (1) dan ayat (2), yaitu :
Pasal 10
(2)
PPAT
diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a.
permintaan
sendiri
b.
tidak lagi mampu
menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya,
setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan
Menteri atau pejabat yang ditunjuk
c.
melakukan pelanggaran
ringan terhadap larangan
atau kewajiban sebagai PPAT
d.
diangkat sebagai
pegawai negeri sipil atau ABRI;
(3)
PPAT
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :
a.
melakukan
pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT
b.
dijatuhi hukuman
kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam
dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih
berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum
tetap.
Dalam
ketentuan Pasal 10 ayat (1) huruf c, PPAT
yang melakukan pelanggaran ringan
terhadap larangan atau kewajiban
sebagai PPAT dapat
diberhentikan dengan hormat, dan dalam ayat (2) huruf a, PPAT yang
melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT dapat
diberhentikan dengan tidak hormat. Ketentuan
sanksi ini dijatuhkan
kepada PPAT oleh Menteri, ketentuan ini diatur dalam pasal 5
PP Nomor 37 tahun 1998, diatur lebih lanjut mengenai sanksi
dalam peraturan kepala
badan pertanahan nasional
Republik Indonesia nomor 1
tahun 2006 tentang
ketentuan pelaksanaan peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998
tentang peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah Pasal 28 :
Pasal 28
(1)
PPAT diberhentikan
dengan hormat dari
jabatannya oleh Kepala
Badan karena:
a.
permintaan
sendiri
b.
tidak lagi mampu
menjalankan tugas karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya,
setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan berwenang atas permintaan
Kepala Badan atau pejabat yang ditunjuk
c.
melakukan
pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT
d.
diangkat sebagai
PNS atau anggota TNI/POLRI.
(2)
PPAT
diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan, karena:
a.
melakukan pelanggaran berat terhadap larangan
atau kewajiban sebagai PPAT
b.
dijatuhi hukuman
kurungan/penjara karena melakukan
kejahatan perbuatan pidana yang diancam hikuman kurungan atau penjara
paling lama 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang
sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
c.
melanggar kode etik profesi.
Kepala
Badan adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dimana pada
saat PPAT melakukan pelanggaran baik lalai maupun disengaja, baik ringan maupun berat, serta pelanggaran
kode etik PPAT,
kepala badan yang menjatuhkan sanksi terhadap PPAT, ketentuan
ini berbeda dengan Notaris ketika melakukan
pelanggaran, Notaris apabila melakukan pelanggaran
maka sanksi akan diberikan oleh
Majelis Pengawas Wilayah, Majelis Pengawas
pusat, dan Menteri tergantung dari
sanksi yang dijatuhkan.
ketentuan ini terdapat dalam ketentuan pasal 73 dan 76
UUJN.
Lewatnya batas
waktu pendaftaran APHT
dapat berakibat kerugian munculnya gugatan terhadap
PPAT, dan apabila
terjadi gugatan yang mengakibatkan disitanya obyek jaminan
maka kreditor berisiko kehilangan hak preferennya karena Hak Tanggungan belum
lahir.
KESIMPULAN DAN SARAN
Keterlambatan
pendaftaran APHT tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT, sehingga setelah
APHT tersebut didaftarkan tidak mempengaruhi proses lahirnya Hak Tanggungan dan
keabsahan Hak Tanggungan, Hak Tanggungan
baru akan lahir
setelah tujuh hari
APHT didaftarkan secara lengkap
beserta warkah-warkah yang
dibutuhkan untuk pendaftaran, dibuktikan dengan terbitnya sertifikat Hak
Tanggungan. Keterlambatan
pendaftaran hanya akan
menunda lahirnya Hak Tanggungan, namun tidak berpengaruh terhadap
keabsahan APHT untuk proses pendaftaran Hak Tanggungan.
Walaupun
hukum merupakan sistem yang teratur dan memiliki mekanisme mengatasi
inkonsistensi, terdapat pula aspek ketidak teraturan hukum itu. Dengan demikian
ketidak teraturan dapat terjadi pada sikap tindak yang tidak sesuai dengan
hukum atau mereka merasa bertindak menurut hak dan kewajiban menurut
presepsinya masing-masing seperti akibat hukum lewatnya batas waktu kewajiban
mendaftarkan APHT oleh PPAT, dapat menimbulkan gugatan beserta sanksi terhadap
PPAT itu sendiri, baik secara perdata maupun administratif, dan dapat
menimbulkan kerugian bagi para pihak yang melakukan perjanjian khususnya pihak
kreditor.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adjie, Habib, (2000), Hak Tanggungan Sebagai
Lembaga Jaminan Atas
Tanah, Mandar Maju, Bandung.
__________, (2000), Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun 2004
Tentang Jabatan Notaris),
Refika Aditama, Bandung.
Badrulzaman dan Mariam Darus, (2004), Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju,
Bandung.
Budiono,
Herlien, (2011), Ajaran Umum
Hukum Perjanjian dan
Penerapannya di Bidang
Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Chalik
dan Marhainis Abdulhay, (1982), Beberapa Segi Hukum
di Bidang Perkreditan, Yayasan
Pembinaan Keluarga, UPN Veteran, Jakarta.
Hadisoeprapto,
Hartono, (1984), Pokok-pokok Hukum
Perikatan dan Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta.
Hadjon,
M, Philipus, (1996), Akta PPAT Bukan
Keputusan Tata Usaha
Negara, Media Notariat. Jakarta.
__________, (1997), Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria
Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, (1982), Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
Hermansyah, (2005), Hukum Perbankan Nasional
Indonesia, Prenada Media, Jakarta.
Mulyadi,
Kartini, Gunawan Widjaja, (2005), Seri Hukum Harta
Kekayaan, Hak Tanggungan,
Prenada Media, Jakarta.
Poesoko, Herowati, (2007), Parate Executie Obyek
Hak Tanggungan (Inkonsistensi, Konflik Norma
dan Kesesatan Penalaran
Dalam Uuht), LaksBang PRESSindo, Yogyakarta.
Prodjodikoro,
Wirjono, R., (1984),
Perbuatan Melanggar Hukum, Sumur
Bandung, Jakarta.
Rahman,
Hasanuddin, (1995), Aspek-aspek Hukum
Pemberian Kredit Perbankan Indonesia (Panduan
Dasar : Legal
Officer), Citra Aditya Bakti, Bandung.
Setiawan, Rachmat, (1982), Tinjauan Elementer
Perbuatan melawan Hukum, Alumni Bandung, Bandung.
Sjahdeini, Remy, Sutan, (1996), Hak Tanggungan: Asas-asas, Ketentuan-ketentuan Pokok dan Masalah-masalah yang
Dihadapi Oleh Perbankan, Airlangga University Press, Surabaya.
Sutedi dan Adrian, (2010), Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta.
__________, (1993), Kebebasan Berkontrak dan
Perlindungan yang Seimbang
Bagi Para Pihak dalam
Perjanjian Kredit Bank
Di Indonesia, Institute
Bankir Indonesia, Jakarta.
__________, (1999), Hak Tanggungan, Asas-asas,
Ketentuan-ketentuan pokok dan Masalah
yang Dihadapi oleh Perbankan (suatu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan),
Alumni, Bandung.
Satrio, J.,
(1997), Hukum Jaminan, Hak
Jaminan Kebendaan, Hak
Tanggungan : Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
__________, (1995),
Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari perjanjian, buku II, Citra
Aditya Bakti, Bandung.
Simatupang,
Burton, Richard, (2007), Aspek
Hukum Dalam Bisinis,
Rineka Cipta, Jakarta.
Jurnal
Amir Syarifuddin dan Indah Febriani, (2015), Sistem
Hukum dan Teori Hukum Chaos, Hasanuddin
Law Review, Vol 1: Hal 300.
Dian Pertiwi, (2013), Perlindungan Hukum Pemegang
Hak Tanggungan Yang Obyeknya Dikuasai Pihak Ketiga Berdasarkan Perjanjian Sewa
Menyewa, Calyptra: Jurnal Ilmiah
Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol 2: Hal 5
Peraturan
Perundang-Undangan
Undang-undang
Nomor 7 tahun
1992 tentang Perbankan
(LN RI Tahun
1992 Nomor 53, TLN RI Nomor 3481), Sebagaimana diubah dengan
Undang-undang Nomor 10
Tahun 1998 tentang Perubahan
Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (LN RI Tahun 1998
Nomor 182, TLN RI Nomor 3790).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak
Tanggungan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (LN RI Tahun 1996
Nomor 42, TLN RI Nomor 3632).
Peraturan
Pemerintah Nomor 37
Tahun 1998 tentang Peraturan Jabatan
PPAT (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52).
Online
Wikipedia, (2014), Teori Hukum Murni, (online) https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Hukum_Murni, diakses 20 Desember 2015.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar