MAKALAH HUKUM JAMINAN
Dosen: Prof. Dr. Farida
Patittingi, S.H., M.Hum.
KETENTUAN PENDAFTARAN HAK
TANGGUNGAN
Oleh:
SAFRI AWAL
(P3600215005)
Program Studi
Kenotariatan
FAKULTAS HUKUM
Universitas
Hasanuddin
MAKASSAR
2015
KATA
PENGANTAR
Puji
syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat
tersusun hingga selesai sebagai tanggung jawab saya sebagai mahasiswa yang
turut serta mengikuti mata kuliah Hukum Jaminan yang dibimbing oleh dosen kami
tercinta Prof.Dr. Farida Patittingi, S.H.,
M.Hum, dan tak lupa pula saya mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan
dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik berupa
atau masukan.
Dan
harapan saya semoga makalah ini dapat sedikit memberikan sumbangsih pengetahuan
dan pengalaman bagi orang-orang yang sempat membacanya, dan kiranya untuk ke
depan dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih
baik lagi.
Karena
keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya tentu sadar bahwa masih
banyak kekurangan yang terdapat dalam
makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang
membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.
Makassar, 27 Desember
2015
Safri Awal
BAB
1
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Dengan
bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi,
dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak
jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang
berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam
pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur
berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara keseimbangan pembangunan
tersebut yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai
orang perseorangan dan badan hukum sangat diperlukan dana dalam jumlah besar
maka penyediaan dana untuk pengembangan usaha tentu sangat dibutuhkan sehingga
ketergantungan terhadap pinjaman kredit modal usaha menjadi sangat besar .
Untuk memperoleh
kredit dari bank, hal
yang perlu diperhatikan
adalah jaminan, karena jaminan merupakan syarat yang harus dipenuhi dalam pemberian kredit. Ada
beberapa macam jaminan
kebendaan yang dikenal
dalam hukum, antara lain Hak
Tanggungan. Pada tanggal 9
April Tahun 1996
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah
beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) diundangkan sebagai
realisasi dari Pasal 51
Undang-Undang Pokok Agraria
Nomor 5 Tahun
1960 (UUPA).
Hak
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya
disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah
yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang
Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda
lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang
tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap
kreditor-kreditor lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hak
Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Selain Hak
Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, hak atas tanah berupa Hak Pakai
atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Pemberian
Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai
jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian dan
merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang
bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak
tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut
dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta
Pemberian Hak Tanggungan. Namun pada prakteknya di masyarakat, sering kali
terjadi ketidaksesuaian antara peraturan perundang- undangan dengan
pelaksanaanya. Hak Tanggungan ada yang tidak didaftarkan di Kantor Pertanahan. Hal ini menimbulkan permasalahan
terhadap hak tanggungan tersebut. Selain itu juga sering kali pendaftaran Hak
Tanggungan dilakukan terlambat dari jangka waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang
Hak Tanggungan.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan
pemaparan latar belakang diatas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai
berikut:
1. Apa
akibat hukum jika hak tanggungan terlambat didaftarkan?
2. Apa
akibat hukum jika hak tanggungan tidak didaftarkan?
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Hak Tanggungan
Pengertian Hak
Tanggungan diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUHT yang berbunyi: “Hak Tanggungan
atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut
Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana
dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5
Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak
berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk
pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada
kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”
B. Subyek Hak Tanggungan
Adapun
yang menjadi subek hak tanggungan pada praktek pelaksanaannya dalam masyarakat
yaitu:
1. Pemberi
Hak Tanggungan
Berdasarkan pasal 8
Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan “pemberi Hak
Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan
untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan”.
Berdasarkan Pasal 8
tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau
debitor. Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin
pelunasan utang debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai
kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
Kewenangan untuk
melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan tersebut harus ada pada
pemberi hak tanggungan pada saat
pendaftaran hak tanggungan dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan adalah
pada saat didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan untuk melakukan
perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak
tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan.[1]
Dengan demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus
orang yang berutang atau debitor, akan tetapi bisa subyek hukum lain yang
mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak
tanggungannya. Misalnya pemegang hak atas tanah yang dijadikan jaminan, pemilik
bangunan, tanaman dan/hasil karya yang ikut dibebani hak tanggungan.
2. Penerima
Hak Tanggungan
Menurut pasal 9 Ayat
(1) Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan “Pemegang Hak
Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai
pihak yang berpiutang”.
Sebagai pihak yang
berpiutang di sini dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan
bukan bank, badan hukum lainnya atau perseorangan.
Oleh karena hak tanggungan sebagai lembaga jaminan
hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan
menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam
penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam
Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak Tanggungan. Maka pemegang hak
tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum
Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.
C. Obyek Hak Tanggungan
Adapun
yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan yakni adalah terhadap benda-benda
(tanah), maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1. Dapat
dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang.
2. Termasuk
hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas.
3. Mempunyai
sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cidera janji, benda yang
dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum.
4. Perlu
ditunjuk oleh Undang-undang sebagai hak yang dapat dibebani dengan Hak
Tanggungan.[2]
Berkaitan
dengan hal tersebut, Pasal 4 UUHT telah menentukan hak atas tanah yang dapat
dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu meliputi:
1. Hak
Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha sebagaimana dimaksud dalam UUPA (Pasal 4 ayat (1) UUHT).
2. Hak
Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan
menurut sifatnya dapat dipindah tangankan. Terhadap hak pakai atas tanah
negara, yang walaupun wajib didaftarkan, tetapi karena sifatnya tidak dapat
dipindah tangankan, maka hak pakai tersebut tidak termasuk dalam objek Hak
Tanggungan.
3. Hak
atas tanah berikut bangunan (baik yang berada di atas maupun di bawah tanah),
tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada, yamg merupakan satu
kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas
tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya
tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak
Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut diatas harus
dinyatakan dengan tegas di dalam APHT (Pasal 4 ayat (4) UUHT). Apabila
bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana disebut diatas tidak dimiliki
oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda
tersebut hanya dilakukan dengan penandatanganan serta (bersama) pada APHT yang
bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa oleh pemilik benda-benda
tersebut untuk menandatangani serta (bersama) APHT dengan akta otentik. Yang
dimaksud akta otentik di sini adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan
(SKMHT) atas benda-benda di atas tanah tersebut yang dibebani Hak Tanggungan
(Pasal 4 ayat (5) UUHT).[3]
D. Asas-Asas Hak Tanggungan
Hak
Tanggungan sebagi satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan
utang tertentu mempunyai empat asas, yaitu sebagai berikut :
1. Memberikan
kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada krediturnya atau Droit de
preference. Hal ini berarti bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai
hak untuk didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada
kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani Hak
Tanggungan tersebut .
2. Selalu
mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada atau Droit de suite, Artinya benda-benda yang
dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbeban Hak Tanggungan walau di
tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi
objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang
lain, namun Hak Tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap
mempunyai kekuatan mengikat .
3. Memenuhi
asas spesialitas dan publisitas, artinya Asas spesialitas maksudnya benda yang
dibebani Hak Tanggungan itu harus ditunjuk secara khusus. Dalam Akta Pembebanan
Hak Tanggungan harus disebutkan secara jelas mengenai benda yang dibebani itu
berupa apa, di mana letaknya, berapa luasnya, apa batas-batasnya, dan apa bukti
pemiliknya. Adapun asas publisitas artinya, hal pembebanan Hak Tanggungan
tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap Akta Pembebanan
hak Tanggungan harus didaftarkan.
4. Mudah
dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti putusan
hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.
5. Tidak
dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan di dalam Akta Pembebanan Hak
Tanggungan. Artinya, bahwa suatu Hak Tanggungan membebani secara utuh benda
yang menjadi objeknya dan setiap bagian daripadanya. Oleh karena itu, apabila
sebagian dari utang dibayar, pembayaran tersebut tidak lantas melunasi utang
seluruhnya.
E. Syarat Sahnya Pemberian Hak
Tanggungan
Adapun
ketentuan mengenai persyaratan untuk pemberian hak tanggungan yakni sebagai
berikut:
1. Menenuhi
Asas Spesialitas
Salah
satu syarat sahnya pemberian Hak Tanggungan adalah wajib mencantumkan hal-hal
yang disebut dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT seperti telah disinggung sebelumnya
agar asas spesialitas terpenuhi, yaitu:
a. Nama,
dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
b. Domisili
para pihak, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia,
maka harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan Indonesia, dan dalam hal
domisili pilihan tersebut tidak di cantumkan, maka kantor PPAT tempat pembuatan
APHT dianggap sebagai yang dipilih.
c. Penunjukkan
secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam
Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1).
d. Nilai
tanggungan.
e. Uraian
yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.[4]
2. Memenuhi
asas Publisitas
Disamping
asas spesialitas, juga wajib memenuhi syarat asas publisitas yang menurut
ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUHT, pemberian Hak Tanggungan wajib di daftarkn
pada Kantor Pertanahan. kemudian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah penandatanganan APHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT
wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada
Kantor Pertanahan (Pasal 13 (2)). Selanjutnya pendaftaran Hak Tanggungan
sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UUHT dilakukan oleh Kantor
Pertanahan dengan cara (ayat 3):
f. Membuatkan
buku tanah Hak Tanggungan.
g. Mencatatnya
dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan.
h. Menyalin
catatan tersebut pada sertifikat ha katas tanah yang bersangkutan.
Tanggal
buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut
adalahtanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang
diperlukan bagi pendaftarannya dan jika di hari ketujuh itu jatuh pada hari
libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal harikerja berikutnya.
Pendaftaran pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan merupakan saat lahirnya Hak
Tanggungan.
Sebagai
tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak
Tanggungan yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA
ESA”. Artinya sertifikat Hak Tanggungan tersebut mempunyai kekuatan ekskutorial
yang sama dengan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap
memperoleh keekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti “grosse akta” Hypotheek sepanjang mengenai ha katas
tanah (Pasal 14 UUHT).
Pada
dasarnya, pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak
Tanggungan dihadapan Notaris atau PPAT. Jika pemberi Hak Tanggungan berhalangan
atau tidak dapat hadir sendiri, maka ia dapat mempergunakan jasa seorang kuasa.
Untuk keperluan tersebut agar sifatnya otentik, dibuatkanlah sebuah “Surat
Kuasa Membebankan Hak Tanggungan” (SKMHT) dihadapan Notaris atau PPAT.[5]
F.
Eksekusi
Hak Tanggungan
Salah
satu ciri dari Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam pelaksanaan eksekusinya apabila dikemudian
hari debitur wanprestasi. Eksekusi Hak Tanggungan yaitu terjadi apabila debitur
cidera janji sehingga objek Hak Tanggungan kemudian dijual melalui pelelangan
umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang
berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari
hasilnya untuk pelunasan piutangnya dengan hak mendahului daripada
kreditur-kreditur lain.[6]
Sedangkan
Menurut Pasal 20 ayat (1) UUHT, eksekusi Hak Tanggungan dilakukan berdasarkan:
1. Hak
pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas dasar
kewenangan dan janji yang disebut dalam Pasal 6 UUHT;
2. Titel
eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud
dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT.
Berdasarkan
Pasal 6 UUHT disebutkan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak
Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas
kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya
dari hasil penjualan tersebut. Penjualan objek Hak Tanggungan dapat juga
dilakukan di bawah tangan asalkan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak
Tanggungan.
Penjualan
barang secara prosedural ini dimungkinkan dapat diperoleh harga yang tertinggi
sehingga menguntungkan semua pihak. Hal ini dilakukan setelah lewat 1 (satu)
bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi atau pemegang Hak
Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam 2 (dua)
surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media masa setempat,
serta tidak ada pernyataan keberatan (Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUHT).
Eksekusi
Hak Tanggungan dengan titel eksekutorial dapat dilakukan karena berdasarkan
Pasal 14 ayat (2) UUHT, sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda atau alat bukti
adanya Hak Tanggungan yang memuat irah-irah yang berbunyi “DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan irah-irah tersebut, sertifikat Hak
Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dari
uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan eksekusi objek Hak
Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
1. Parate
Eksekusi (Pasal 14 ayat (2) UUHT)
Dalam hal ini kreditur
pemegang Hak Tanggungan harus menunjukkan bukti bahwa debitur ingkar janji
dalam memenuhi kewajibannya dan dengan menyerahkan sertifikat Hak Tanggungan
yang bersangkutan sebagai dasarnya. Permohonan eksekusi ini diajukan kepada
Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi kemudian dilakukan atas dasar perintah dan
dengan Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, melalui pelelangan umum yang
dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.
2. Pelelangan
Umum (Pasal 6 UUHT)
Pelaksanaan pelelangan
umum berdasarkan pada Pasal 6 UUHT ini lebih mudah daripada “Parate Eksekusi”,
karena dalam pelelangan ini tidak diperlukan perintah Ketua Pengadilan Negeri
untuk melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan.
Pelelangan ini langsung dapat dilakukan karena dimilikinya kekuatan
eksekutorial yang termuat pada irah-irah sertfikat Hak Tanggungan tersebut,
sehingga dalam hal ini kreditur pemegang Hak Tanggungan langsung dapat
mengajukan permintaan penjualan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan kepada
Kantor Lelang Negara.
3. Penjualan
di Bawah Tangan (Pasal 6 UUHT)
Dalam keadaan tertentu
apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga
tertinggi, maka atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan,
dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan di bawah tangan, jika dengan
cara demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua
pihak. Penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan ini wajib
dilakukan menurut ketentuan PP No. 14 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah,
yaitu harus dilakukan dihadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan
pendaftarannya di Kantor Pertanah
G. Proses Pemberian Hak Tanggungan
Secara
umum prosedur pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang diajukan
calon debitur kepada kreditur, yang dalam hal ini adalah pihak bank yaitu
dengan melalui tahap sebagai berikut:
1. Calon
debitur mengajukan permohonan kredit dan menyerahkan berkas-berkas yang
diperlukan dan telah ditentukan pihak
bank dalam pengajuan kredit.
2. Calon
debitur mengisi formulir permohonan kredit yang telah disediakan oleh pihak
bank. Setelah formulir diisi dengan lengkap dan benar, formulir tersebut
kemudian diserahkan kembali kepada bank.
3. Pihak
bank kemudian melakukan analisis dan evaluasi kredit atas dasar data yang
tercantum dalam formulir permohonan kredit tersebut. Tujuan analisis ini adalah
untuk memastikan kebenaran data dan informasi yang diberikan dalam permohonan
kredit. Selain itu, hasil analisis dan evaluasi kredit ini digunakan sebagai
dasar pertimbangan akan diterima atau ditolaknya permohonan kredit tersebut..
4. Apabila
terhadap hasil analisis dan evaluasi kredit calon debitur dinyatakan layak oleh
pihak bank untuk memperoleh kredit, maka kemudian dilakukan negosiasi antara
kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan calon debitur. Negosiasi kredit ini
antara lain mengenai maksimal kredit yang akan diberikan, keperluan kredit,
jangka waktu kredit, biaya administrasi, denda, bunga dan sebagainya.
5. Apabila
telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maka dilakukan
penandatanganan perjanjian kredit yang berupa surat pengakuan hutang dengan
pengikatan jaminan, dalam hal ini berupa jaminan Hak Tanggungan, dihadapan PPAT
dan pejabat bank;
6. Setelah
dilakukan pengikatan jaminan Hak Tanggungan dan PPAT telah memberikan
keterangan bahwa calon debitur dinyatakan telah memenuhi persyaratan, baru
kemudian bank merealisasikan kredit kepada calon debitur.[7]
BAB 3
PEMBAHASAN
A. Akibat Hukum Hak Tanggungan Yang Terlambat
Didaftarkan
Pasal
13 Undang-Undang Hak Tanggungan menegaskan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja
setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib mengirimkan
Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan
kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor
Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam
buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin
catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Tanggal
buku-tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara
lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh
itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari
kerja berikutnya. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak
Tanggungan. Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan
menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan per- undang-undangan
yang berlaku.
Undang-Undang
Hak Tanggungan memberi batasan pendaftaran Hak Tanggungan yaitu selama 7 hari
setelah penandatangan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pendaftaran ini wajib
dilaksanakan oleh PPAT. Setelah didaftarkan maka akan keluar Sertifikat Hak
Tanggungan. Namun pada kenyataannya sering kali pendaftaran Hak Tanggungan
dilakukan melebihi waktu yang ditentukan, yaitu melewati jangka waktu 7 hari
yang ditentukan undang – undang. Seharusnya pendaftaran hak tanggungan tersebut
ditolak oleh petugas Kantor Pertanahan. Namun dari sumber yang kami temukan,
keterlambatan pendaftaran Hak Tanggungan tidak selalu menjadi penghalang dalam
melakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Dalam Tesis yang dibuat oleh Mahasiswa
Program Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro, keterlambatan
pendaftaran Hak Tanggungan yang terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Tegal
tidak menjadi persoalan. Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak
Tanggungan. Bagi pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya
diberikan sanksi administratif berupa teguran lisan atau teguran tertulis.
Begitu pula pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor. Berdasarkan skripsi dari
mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia, ditemukan bahwa keterlambatan
pendaftaran hak tanggungan ke Kantor Pertanahan di Kabupaten Bogor tidak
menjadi penghalang bagi proses pendaftaran suatu hak tanggungan. Sanksi yang
diberikan oleh Kantor Pertanahan terhadap pihak yang terlambat mendaftarkan hak
tanggungan hanyalah berupa sanksi administratif yaitu berupa teguran lisan atau
tertulis.
Sehingga
dapat disimpulkan meskipun peraturan perundang – undangan memberi batasan bahwa
pendaftaran hak tanggungan hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 7 hari,
namun terdapat perbedaan dalam prakteknya. Pendaftaran hak tanggungan tetap
diproses oleh Kantor Pertanahan meskipun terjadi keterlambatan
pendaftaran.
B. Akibat Hukum Hak Tanggungan Yang
Tidak Didaftarkan
Tahap
pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan.
Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib
dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian
utang piutang. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap
kegiatan, yaitu:
1. Tahap
Pemberian Hak Tanggungan
Menurut
Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian
Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang
berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang
membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan
hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang
terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.
2. Tahap
Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut
Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib
didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja
setelah penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan
warkah lain yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti
yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang
bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau
surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan
hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan
ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan
PPAT.
Pendaftaran
hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak
tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek
hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah
yang bersangkutan.
Dalam
Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti
adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan.
Hal ini berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak
tanggungan. Oleh karena itu maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu
yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi
patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah
hak tanggungan.
Sertifikat
Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN
BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak
tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan
lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
Apabila
diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan
pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang
bersangkutan dan untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak
tanggungan.
Dari
penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hak tanggungan haruslah didaftarkan
kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 hari.
Pendaftaran Hak Tanggung kepada Kantor Pertanahan merupakan saat lahirnya suatu
hak tanggungan dan merupakan salah satu asas dari Hak Tanggungan. Dengan tidak
didaftarkan hak tanggungan maka perjanjian yang dibuat para pihak tetaplah
berlaku. Namun tidak memenuhi unsur dari hak tanggungan. Sehingga kreditur dari
hak tanggungan tidak memiliki hak sebagai kreditur preferen sebagaimana
kreditur hak tanggungan.
Jika
tidak didaftarkan maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak
tanggungan. Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan
Nasional. Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang-Undang Hak
Tanggungan merupakan bukti dari adanya hak tanggungan. Sertifikat hak
tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial karena memuat irah-irah “Demi
Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat yang memiliki irah-irah
ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang
memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sehingga dengan tidak didaftarkannya hak
tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka hak tanggungan tidak memiliki sertifikat
hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak-hak kepada kreditur seperti
sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, dan
kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki
kekuatan hukum yang tetap.
Sehingga
suatu hak tanggungan yang tidak didaftarkan tidak memenuhi syarat dan asas dari
hak tanggungan. Kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki kedudukan sebagai
kreditur yang preferen melainkan sama seperti kedudukan kreditur konkuren.
Selain itu dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan maka tidak terdapat
sertifikat hak tanggungan yang memberikan hak parate executie dan dapat menjadi
bukti di pengadilan.
BAB 4
PENUTUP
A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan
makalah ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Hak Tanggungan wajib
didaftarkan ke Kantor Pertanahan, hal ini diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang
Hak Tanggungan, bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor
Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan akta
pemeberian hak tanggungan, PPAT wajib mengirimkan akta tersebut dan warkah lain
yang diperlukan. Sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan
menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Apabila hak tanggungan tersebut
terlambat didaftarkan, bukan suatu persoalan penting karena Kantor Pertanahan
tetap memproses pendaftaran Hak Tanggungan. Bagi pihak yang terlambat
mendaftarkan hak tanggungan hanya diberikan sanksi administratif berupa teguran
lisan atau teguran tertulis sebagai akibat dari keterlambatan tersebut.
Namun berbeda apabila
hak tanggungan tersebut tidak didaftarkan. Jika hak tanggungan tidak
didaftarkan, maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak
tanggungan. Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan
Nasional. Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang-Undang Hak
Tanggungan merupakan bukti dari adanya hak tanggungan. Dengan tidak
didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka hak tanggungan
tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak-hak
kepada kreditur seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti
di pengadilan, dan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan
yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap sehingga dapat dilakukan parate
eksekusi.
B. Saran
Adapun saran yang
dapat diberikan dari makalah ini yakni bahwa sebaiknya pendaftaran hak
tanggungan seharusnya dilakukan tepat waktu, yakni paling lambat 7 (Tujuh) hari
kerja setelah penandatanganan akta pemberian hak tanggungan.
DAFTAR PUSTAKA
Buku
Boedi
Harsono, (1999), Hukum Agraria Indonesia,
Sejarah Pembenukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Habib
Ajie, (2000), Hak Tanggungan Sebagai
Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung.
Purwahid
Patrik, (1986), Asas-asas Itikad Baik dan
Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang.
Satrio,
(2002), Hukum Jaminan, Hak Jaminan
Kebendaan, Hak Tanggungan. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Subekti,
(1996), Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian
Kredit, Termasuk Hak Tanggungan, Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya
Bakti, Bandung.
Thomas
Suyatno, (1993), Dasar-Dasar Hukum
Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.
Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang
Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan
[1] Purwahid
Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan
Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1986, Hal. 62
[2]
Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia,
Sejarah Pembenukan UUPA, Isi dan
Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 1999, Hal. 40
[3]Subekti,
Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit,
Termasuk Hak Tanggungan, Menurut Hukum Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti,
1996, Hal. 39
[4]
Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Bandung:
Citra Aditya Bakti, 2002. Hal. 43
[5]
Ibid
[6]
Habib Ajie, Hak Tanggungan Sebagai
Lembaga Jaminan Atas Tanah, Bandung, Mandar Maju, 2000, Hal. 22
[7]
Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Hukum
Perkreditan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993, Hal. 32
Tidak ada komentar:
Posting Komentar