Dosen: Dr. Muh. Hasrul,
S.H., M.H.
POLITIK HUKUM DALAM
PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL
Oleh:
SAFRI AWAL
(P3600215005)
Program Studi
Kenotariatan
FAKULTAS HUKUM
Universitas
Hasanuddin
MAKASSAR
2015
Pancasila sebagai sumber dari segala
sumber hukum harus dijadikan dasar dan pedoman untuk menentukan politik hukum
dalam pembangunan hukum nasional Indonesia. Namun demikian, harus diakui bahwa
dari dahulu sampai sekarang banyak pihak-pihak yang mencoba mempengaruhi dan
mengarahkan kebijakan politik (political
will) dan politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional
Indonesia agar tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai pedoman. Berdasarkan
kenyataan tersebut, diharapkan agar kerangka pemikiran dalam makalah ini dapat
dijadikan refleksi yang bertujuan untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi
Pancasila dalam rangka menyikapi peranan politik hukum dalam pembangunan hukum
nasional Indonesia.
Membahas mengenai politik hukum
Indonesia tentu sangat erat kaitannya dengan realita sosial dan tradisional
yang terdapat di dalam negara Indonesia sebagai faktor internal serta politik
hukum internasional sebagai faktor
eksternal. Faktor internal antara lain
meliputi latar belakang sejarah, kebudayaan dan adat-istiadat, serta cita-cita
masyarakat bangsa Indonesia. Perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di
Indonesia sejak orde lama, orde baru sampai dengan orde reformasi sekarang ini
mengalami perubahan yang sangat besar terutama dalam rangka mewujudkan tujuan gerakan reformasi di
bidang hukum yang diimplementasikan melalui beberapa kebijakan hukum
diantaranya dengan melakukan perubahan (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar
1945.
Meskipun terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah
dilakukan amandemen beberapa kali, orientasi pembangunan hukum harus tetap mencerminkan
kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat
Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan
penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan
Undang – Undang Dasar 1945. Pancasila merupakan dasar filsafat dan sumber dari
segala sumber hukum negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh
Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 dan
dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Negara Republik
Indonesia bersama-sama dengan batang
tubuh UUD 1945.
Dalam perjalanan sejarah, sebagai
dasar filsafat negara Republik Indonesia mengalami berbagai interpretasi dan
manipulasi politik sesuai dengan kepentingan dan arah politik hukum penguasa
untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan perkataan lain, Pancasila tidak
diposisikan sebagai pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia, melainkan
dimanipulasi oleh para pemangku jabatan demi kepentingan politik mereka yang
berkuasa.
Saat ini bangsa Indonesia ada di
persimpangan jalan (crossroad) yang
sangat menentukan masa depan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik
Indonesia (NKRI). Dalam pengertian ini, apakah
pemerintah dapat menjalankan peranan politik hukumnya sebagai suatu
political will untuk membangun hukum
nasional yang berwawasan nusantara dan kebangsaan yang dapat dijadikan sebagai
perekat untuk mempertahankan keutuhan rakyat Indonesia. Oleh karena pada masa
sekarang ini, faktanya masih terdapat
produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang yang bertolak
belakang dengan cita-cita bangsa tetapi sengaja dipertahankan oleh pemerintah
meskipun keberlakuannya bersifat inkonstitusional. Termasuk adanya pola-pola
kebijakan pemerintah dalam melaksanakan peranan politik hukumnya, yang dianggap
mencederai rasa keadilan masyarakat Indonesia dan bertentangan dengan nilai-nilai
hukum.
Berdasarkan latar belakang diatas, adapun
pokok permasalahan yang dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai
berikut:
1. Apa yang menjadi tujuan politik
hukum nasional yang dicita-citakan bangsa Indonesia?
2. Sejauh mana peranan politik hukum
dalam pembangunan hukum nasional?
Secara etimologis, istilah politik
hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan
dari dua kata recht dan politiek. Istilah ini seyogyanya tidak
dirancukan dengan istilah yang muncul belakang, politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence van Maarseveen karena keduanya
memiliki konotasi yang berbeda. Istilah yang disebutkan terakhir berkaitan
dengan istilah lain ditawarkan Hence van
Maarseveen untuk mengganti istilah hukum tata Negara. Untuk kepentingan itu
dia menulis sebuah karangan yang berjudul “Politiekrecht,
als Opvolger van het Staatrecht”.[1]
Menurut Padmo Wahjono, Pengertian Politik Hukum adalah kebijakan
penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk
maupun isi daripada hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan
kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, Pengertian Politik Hukum
menurut Padmo Wahjono berkaitan
dengan hukum yang berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum).[2]
Pengertian Politik hukum menurut Teuku Mohammad Radhie ialah sebagai
suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di
wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.[3]
Adapun pendapat dari Soedarto (Ketua Perancang Kitab
Undang-undang Hukum Pidana), Pengertian politik Hukum adalah kebijakan dari
negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan
peraturan-peraturan yang dikehendaki dan juga diperkirakan akan digunakan untuk
mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa
yang dicita-citakan. Pada bukunya yang lain "Hukum dan Hukum Pidana",
Pengertian politik hukum merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan
yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[4]
Satjipto
Rahardjo
memberikan definisi Politik Hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang
hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam
masyarakat.[5]
Politik hukum nasional diartikan
sebagai kebijakan dasar penyelanggara Negara dalam bidang hukum yang akan ,
sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di
masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.
Adapun kata nasional sendiri
diartikan sebagai wilayah berlakunya politik hukum itu. Dalam hal ini yang
dimaksud adalah wilayah yang tercakup dalam kekuasaan Negara Republik
Indonesia. Dari pengertian tersebut, yang dimaksud dengan politik hukum
nasional disini adalah kebijakan dasar penyelenggaraan Negara (Republik
Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang
bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan
Negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan. Dari pengertian tersebut ada
lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu:
1. Masalah kebijakan dasar yang
meliputi konsep dan letak
2. Penyelenggara Negara pembentuk
kebijakan dasar tersebut
3. Materi hukum yang meliputi hukum
yang akan, sedang dan telah berlaku
4. Proses pembentukan hukum
Bila merujuk pada kalimat terkhir
pengertian politik hukum nasional di atas, jelas bahwa politik hukum nasional
dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal Negara Republik
Indonesia. Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan, yaitu:
1. Sebagai suatu alat (tool) atau
sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu
sistem hukum nasional yang dikehendaki
Hubungan antara hukum dan politik
tergantung pada persepsi tentang apa yang kita maksudkan sebagai hukum dan apa
yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik dan
memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik maka
tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan
positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik maka
rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan
kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan
politik tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan
politik telah di atur dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah
dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip Indonesia
adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat)
dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok
negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara hukum tanpa pengakuan dan
perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum
merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan
politik, dapat dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik
diletakan sebagai independent variable
(variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas
politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan
melihat realitas, bahwa kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang
abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari
kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang
parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum
pada hakikatnya merupakan adegan konstestasi agar kepentingan aspirasi semua
kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi
undang-undang.[8]
Demikian pula hukum harus dapat
membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan
kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi
hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu dalam wujud sanksi hukum.
Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam
pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik
melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi, penuntut
umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan politik
hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu
saja sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar
hukum.
Hukum adalah sebuah entitas yang
sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai
banyak aspek, dimensi, dan fase. Bila diibaratkan benda ia bagaikan
permata, yang tiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi
setiap orang yang melihat atau memandangnya. Bernard Arief Sidharta menyebutkan
bahwa, hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan
(politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan, dan sebagainya)
dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, bentuknya ditentukan oleh
masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan sifat
masyarakat itu sendiri.[9]
Hukum merupakan produk politik
sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh
pertimbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini
berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik
sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang
saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen”
ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut
“das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi
politik yang melahirkannya.
Pada era Soekarno, politik adalah
panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah
panglima pada zaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism) telah
menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan
rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari negara
untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa. Pada sisi lain, hukum diproduk
dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan
dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan
pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum,
minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum.
Dalam paradigma baru, hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang
berdiri sendiri, melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan
pokok untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat.
Untuk itu, tidaklah heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik.
Hukum yang demikian ini akan lebih mampu
memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi
di masyarakat. Dengan demikian, didalam hukum yang responsif terbuka lebar
ruang dialog untuk memberikan wacana dan adanya pluralistik gagasan sebagai
sebuah realitas.
Moh. Mahfud dalam disertasinya yang
berjudul ”Perkembangan Politik Studi tentang Pengaruh Politik terhadap Produk
Hukum di Indonesia, menunjukkan bahwa ada pengaruh cukup signifikan antara
konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia. Karena itu, kata
Mahfud, kebanyakan produk hukum sudah terkooptasi kekuasaan.
Pengaruh politik dalam pembentukan
hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tiap tahapan
pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dapat terelakkan dari pengaruh
politik, yang akhirnya berdampak pada substansi peraturan perundang-undangan
yang dibentuk oleh pemerintah. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No.12 Tahun 2011,
pembentukan peraturan perundang-undangan adalah Pembuatan peraturan
perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan,
pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
Peraturan Perundang-undangan
merupakan bagian dari hukum dan memiliki nilai yang urgen bagi perkembangan
sistem hukum Indonesia kedepannya. Adapun yang dimaksud dengan peraturan
perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang
mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau
pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan
perundang-undangan.
Penegakan hukum di Indonesia dinilai
masih belum lepas dari intervensi politik. Intervensi tersebut tidak hanya pada
proses pembentukan produk hukum, namun juga pada proses-proses pelaksanaannya
di lembaga peradilan. Menurut Ikrar Nusa Bakti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan
Indonesia (LIPI) dan Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency
International Indonesia, diungkapkan dalam Diskusi Intervensi Politik Terhadap
Penegakan Hukum dan HAM di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Rabu (25/2).
Menurut Ikrar, meski Indonesia sudah lepas dari era pemerintahan otoriter,
namun adanya intervensi poiltik masih belum dapat dilepaskan. Hal ini
bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Sementara Todung menjelaskan, Indepedensi peradilan itu hanya mitos yang
tidak pernah ada dalam kenyataan. Todung mencontohkan, dalam pemilihan hakim
agung. Calon hakim yang diseleksi Komisi Yudisial pada akhirnya diserahkan ke
Dewan Perwakilan Rakyat. "Di sinilah transaksi politik terjadi.
orang-orang yang dikirimkan ke Mahkamah Agung merupakan hasil kompromi politik.
Memang ada hakim karir, tapi bahkan mereka pun tidak bebas dari transaksi
politik. Menurut Todung, indepedensi
peradilan ini akhirnya akan bermuara pada lembaga-lembaga peradilan. Kata dia,
lembaga-lembaga tersebut perlu ditata ulang lagi. Selain lembaga peradilan,
reposisi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat juga harus dilakukan.
Produk hukum yang dihasilkan masih
lebih mementingkan kepentingan dan kompromi politik dibandingkan rakyat. Hal
ini dapat terlihat banyak produk hukum yang dihasilkan di DPR justru kemudian
diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, menurut Wahyudi Jafar dari
Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), proses pembentukan UU memang tidak
dapat dilepaskan dari adanya transaksi poltik. Namun yang terpenting juga
adalah bagaimana agar proses pelaksaan penegakan hukum oleh lembaga peradilan
menjadi mandiri.
Adanya diskriminasi penegakan hukum.
Harus diakui bahwa proses hukum kasus korupsi, khususnya yang berhubungan
dengan korupsi DPRD dan Kepala Daerah kental dengan nuansa diskriminasi. Namun
diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, yakni
ketika para koruptor diberikan kekhususan penanganan dibandingkan dengan
kejahatan lainnya. Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan
bersalah dan mendapatkan putusan tetap (in krahct) merupakan kebijakan
diskriminatif. Tidak memproses secara adil semua pelaku korupsi APBD juga
diskriminatif.
Akan tetapi, penyikapan politik
dengan meminta pembersihan nama baik anggota DPRD/Kepala Daerah akibat dari
perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan agenda yang telah keluar
dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik demikian tak
lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan
berlindung dibalik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota
DPR RI. Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten
mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak
justru sebaliknya, meneriakkan adanya diskriminasi, akan tetapi membuat
rekomendasi yang diskriminatif pula.
Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang memberikan kontribusi
pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu
pertama, faktor hukum (subtance)
atau peraturan perundang-undangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya,
yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya,
yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas
yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni
lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, yang
merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil
karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan
hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam
proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatannya pada proses, yakni
yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut,
maka Satjipto Rahardjo membedakan
tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pembuatan
undang-undang cq. lembaga legislatif.
Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga,
unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.
Kedua pandangan di atas tampaknya
saling berkesesuaian. Kelima unsur sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan
menjadi tiga unsur sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dapat pula dirinci
lebih lanjut menjadi lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum
khususnya dalam bentuknya sebagai undang-undang merupakan produk politik,
artinya ialah bahwa undang-undang dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai
kekuatan sosial dan kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk
merealisasikan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepentingan-kepentingan
yang ada. Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi tersebut
meliputi kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD mengatakan dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum, bahwa
dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari
konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat
yang ada di dalam hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari
kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto
Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan
subsistem politik hukum, politik ternyata memiliki konsentrasi energi yang
lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah.[10]
Menurut John Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan bahwa Law
is a command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam
arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang
kedaulatan. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah
panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum
seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan.[11]
Dengan demikian kita dapat
mengatakan negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan
politik yang ada di dalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian
pembentukan keputusan yang di ambil dengan cara yang tidak langsung oleh
penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk
mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit.
Pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik yang
dituangkan ke dalam aturan-aturan yang secara formal di undangkan. sehingga
dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adalah hasil resmi pembentukan
keputusan politik penguasa.[12]
Pemerintah pada intinya merupakan
pelaksana kehendak negara yang tidak lain merupakan manifestasi dari sistem
politik. Pemerintah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan anggota
masyarakat dalam suatu negara yang diberi tugas untuk menyelenggarakan
kekuasaan negara. Hukum itu merupakan satu sistem yang tetap, logis dan
tertutup, oleh karena itu hukum dibedakan dalam dua jenis yaitu hukum dari
tuhan untuk manusia (the divine law)
dan hukum yang dibuat oleh manusia. Dalam diri hukum itu sendiri sebenarnya
terdapat empat unsur yaitu perintah (command),
sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereignty).
Pandangan realisme hukum,
menjelaskan bahwa hukum itu tidak selalu sebagai perintah dari penguasa negara,
sebab hukum dalam perkembangannya selalu dipengaruhi oleh berbagai hal.
Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam kehidupan
bersama dalam suatu negara. Hukum pada dasarnya tidak steril dari subsistem kemasyarakatannya.
Politk sering kali melakukan intervensi atas perbuatan dan pelaksanaan hukum
sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politk yang
lebih suprematif. Pertanyaan ini muncul disebabkan karena banyaknya peraturan
hukum yang tumpul dalam memotong kesewenang-wenangan, hukum tak mampu
menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai masalah yang
seharusnya menjadi tugas hukum untuk menyelesaikannya. Bahkan dewasa ini banyak
produk hukum lebih banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik
pemegang kekuasaan.
Masalah kekuasaan (authority) merupakan unsur penting
dalam kehidupan manusia, bahkan sering dijadikan ajang konflik untuk
mendapatkannya. Dalam kaitan ini Mochtar
Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan,
kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Lili
Rasjidi menjelaskan bahwa hukum dalam pelaksanaannya memerlukan kekuasaan
untuk mendukungnnya. Kekuasaan itu diperlukan karena hukum itu bersifat
memaksa, tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum akan menjadi terhambat.
Semakin tertib dan teratur masyarakat, semakin berkurang pula dukungan
kekuasaan yang diperlukan.
Jika hal yang terakhir ini ada dalam
masyarakat, berarti dalam masyarakat itu sudah ada kesadaran hukum masyarakat
untuk taat dan patuh pada hukum tanpa ada paksaan dari pemegang kekuasaan.
Unsur pemegang kekuasaan merupakan suatu hal yang penting digunakannya
kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak rakyat. Oleh karena itu
disamping keharusan adanya hukum sebagai pembatas, juga diperlukan unsur lain
yang harus dimiliki oleh pemegang kekuasaan seperti watak yang jujur dan rasa
pengabdian terhadap kepentingan masyarakat yang tinggi.
Dalam pandangan Van Apeldoorn hukum itu sendiri sebenarnya merupakan kekuasaan.
Hukum juga merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, disamping
sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan
(rohaniah, inteligensia, dan moral). Selain itu hukum juga merupakan pembatas
bagi kekuasaan, oleh karena biasanya kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk
yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang
melebihi apa yang dimilikinya.
Sehubungan dengan hal ini Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa
baik buruknya sesuatu kekuasaan sangat tergantung dan bagaimana kekuasaan
tersebut digunakan. Artinya baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur
dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau
disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak
bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi
yang teratur.
Moh.
Mahfud MD dengan
mengutip pendapat Dahrendorf mencatat
ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik yaitu
pertama jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai, kedua
memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa
kekayaan material, intelektual, dan kehormatan moral, ketiga dalam pertentangan
selalu terorganisir lebih baik daripada kelompok yang ditundukkan, keempat
kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan
dalam bidang politik sehingga elite penguasa diartikan sebagai elite penguasa
dalam bidang politik, kelima kelas penguasa selalu berupaya monopoli dan
mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas / kelompoknya sendiri, keenam ada
reduksi perubahasan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.
Dari uraian di atas dapat diketahui
bahwa konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karatkter produk hukum
tertentu di negara tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politik berciri
demokratis maka produk politiknya berkarakter responsif (populistik), sedangkan
di negara yang konfigurasi politiknya bercorak ortoriter, maka produk hukumnya
berkarakter ortodoks (konservatif / elitis). Perubahan konfigurasi politik dari
ortoriter akan melahirkan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis
akan melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang
ortoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif.
Dalam era reformasi saat ini,
konfigurasi politik demokratis, dengan ditandai banyaknya produk-produk politik
penguasa melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam mengambil keputusan. Dalam
pelaksanaan konfigurasi politik demokratis yang sedang maraknya saat ini, agar
tidak kebablasan maka perlu di ingat tentang tujuan politik nasional Indonesia
yang di dasarkan pada perjuangan bangsa Indonesia yang telah berhasil merebut
kemerdekaannya, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk mengisi kemerdekaan
tersebut guna mencapai masyarakat adil dan makmur.
Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah
konsepsi dan struktur kekuasaan politik yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu
merupakan alat politik dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada
keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik. Walaupun
kemudian proses hukum tidak di identikan dengan maksud pembentukan hukum, namun
dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal
yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di
tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Dari
kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu
proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk
hukum.[13]
Pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni
mencakup kata process dan kata institutions, dalam mewujudkan suatu peraturan
perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak
pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat
dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik.
Sehubungan dengan masalah ini, Miriam
Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan
untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun
akibat-akibatnya sesuai dengan pemegang kekuasaan.[14]
Dalam proses pembentukan peraturan
hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam
institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi
diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum
tanpa di isi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi
politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik.
Kekuatan-kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang
dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang
tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara seperti Presiden, DPR dan
lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur
politik adalah seperti partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi
kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah
disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan
politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas
untuk itu.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik
dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem
konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut
Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih
dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara
adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara,
mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya
berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem
yang demikian disebut sistem checks and balances, yaitu pembatasan kekuasaan
setiap lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tertinggi dan
tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi
masing-masing
Dalam Negara demokrasi, partai
politik merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara, sebab
melalui partai politik inilah rakyat menentukan kebijakan untuk memilih
presiden dan wakil presiden dan pejabat negara lainnya. Partai politik
merupakan alat yang pernah didesain oleh kelompok masyarakat dalam suatu negara
untuk mencapai tujuan politiknya, dan partai politik ini merupakan senjata yang
paling ampuh dalam menekan kesewenangan pihak penyelenggara negara. Sedemikian
pentingnya keberadaan partai politik dalam sebuah negara, sampai pada munculnya
pemeo dalam masyarakat yaitu negara modern tanpa partai politik, sama saja
dengan kolam yang tidak ada ikannya.
Partai politik sebagai institusi
mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan
kekuasaan pihak yang berkuasa. Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh masyarakat
yang melahirkan partai politik itu. Partai politik selalu dianggap sebagai
salah satu atribut dari negara moderen, sebab partai politik itu sangat
diperlukan kehadirannya bagi negara yang berdaulat. Bagi negara yang berdaulat
eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana penyalur
aspirasi rakyat, juga merupakan penentu dalam proses penyelenggaraan negara
melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat.
Partai politik sering kali di
asosiasikan orang sebagai organisasi perjuangan yaitu tempatnya seseorang atau
sekelompok orang memperjuangkan hak-hak politik dalam sebuah negara. Menurut
Huzhuszar dan Stevensoon dalam bukunya political science, sebagaimana yang
dikutip oleh Bakti Ritonga mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok
orang yang terorganisir dan berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar
dapat melaksanakan program-program dan menempatkan anggota-anggotanya dalam jabatan
pemerintah.
Partai politik berusaha untuk
memperoleh kekuasaan dengan dua cara, yaitu pertama ikut serta dalam
pelaksanaan pemerintaahn secara sah melalui pemilihan umum dengan merebut suara
terbanyak (mayoritas), kedua dengan cara tidak sah (subversive) untuk
memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara itu dengan cara revolusi. Lebih
lanjut dikatakan bahwa persaingan antar partai politik merupakan bagian
integral dalam proses guna memperoleh kemenangan dalam proses pemilihan umum.
Partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan umum, akan
memperkuat posisi elite dalam menjalankan kekuasaan dan merealisir tujuan lebih
lanjut yakni mengawasi kebijakan umum pemerintah.
Dalam konteks Indonesia, peran
partai politik sebagai aspek pengubah hukum terlebih dahulu harus merujuk
kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang
menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama
DPR. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi
tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan
tersebut dapat diketahui bahwa peran Presiden sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif mempunyai peran
seimbang dalam membuat dan mengadakan perubahan undang-undang. Berdasarkan
ketentuan itu pula ditentukan bahwa anggota DPR adalah orang-orang yang
mewakili atau diusulkan oleh Partai Politik yang ada.
Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa
tugas dan wewenang DPR yaitu bersama-sama dengan Presiden membentuk
undang-undang, bersama-sama Presiden menetapkan APBN, melaksanakan pengawasan
dalam pelaksanaan undang-undang yang berhubungan dengan pelaksanaan APBN dan
Pengelolaan Keuangan Negara serta kebijaksaan Negara dan pengelolaan keuangan
negara serta kebijaksanaan pemerintah, membahas untuk meratifikasi dan atau
memberikan persetujuan atas pernyataan perang/damai dan hasil pemeriksaan atas
pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK dan melaksanakan
hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan-ketetapan MPR kepada DPR.
Dari tugas dan wewenang DPR
sebagaimana tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa tugas dan wewenang itu
seimbang dengan tugas dan wewenang Presiden sebagai pemegang kekuasaan
eksekutif dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara. Dengan demikian dapat
dikatakan bahwa partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam
melakukan perubahan hukum. Selain itu, di luar DPR, anggota partai politik juga
berperan dalam mengubah hukum dengan memberikan masukan (kalau perlu dengan
tekanan) kepada DPR terhadap sesuatu hal yang merugikan rakyat.[15]
BAB 3
Penelitian ini
menggunakan pendekatan yuridis
normatif Pendekatan yuridis
normatif dilakukan dengan
cara menelaah dan
meng-interpretasikan hal-hal yang
bersifat teoritis yang
menyangkut asas, konsepsi,
doktrin dan norma
hukum. Pendekatan yuridis normatif
adalah pendekatan yang
dilakukan berdasarkan bahan hukum
utama dengan cara
menelaah teori-teori, konsep-konsep, asas-asas
hukum serta peraturan
perundang-undangan yang berhubungan dengan
penelitian ini. Pendekatan
ini dikenal pula dengan
pendekatan kepustakaan, yakni
dengan mempelajari buku-buku, peraturan perundang-undangan dan
dokumen lain yang
berhubungan dengan penelitian ini.
Jenis dan sumber data yang digunakan
dalam makalah ini adalah data sekunder yakni data yang diambil berdasarkan keterangan-keterangan
atau pengetahuan-pengetahuan yang secara tidak langsung , diperoleh melalui
studi kepustakaan, bahan-bahan documenter, buku, tulisan-tulisan ilmiah dan
sumber-sumber tertulis lainnya.
DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta.
Achamad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta.
Daniel S. Lev, 1990, Hukum Dan
Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari,
2015, Dasar-Dasar Politik Hukum,
RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik
Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Berdasarkan Atas Hukum, Gahlia
Indonesia, Jakarta.
Satjipto Rahardjo,1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar
Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Sinar Baru, Bandung.
_______, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.
[1] Imam
Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar
Politik Hukum, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2015, Halaman 19
[2]
Padmo Wahjono, Indonesia Berdasarkan Atas
Hukum, Jakarta, Gahlia Indonesia, 1986, Halaman 160
[3] Imam
Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.cit, Halaman 27
[4]
Loc.cit.
[5]
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum,
Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991, Halaman 191
[6]
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. 2010. Dasar-Dasar Politik Hukum.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, halaman 58
[7]
Ibid, halaman 59
[8]
Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, halaman
10
[9]
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. 2010. Dasar-Dasar Politik Hukum.
Jakarta: RajaGrafindo Persada, halaman 2.
[10] Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang
Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru,
1985, halaman 71.
[11]
Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan
Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta, 2002, halaman 56
[12]
Achmad Ali, Op.cit, Halaman 57
[13]
Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan
dan Perubahan, LP3S, Jakarta, 1990. halaman 18.
[14] Ibid,
Halaman 19
[15]
Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Kencana, 2005, Halaman 25
bagus banget artikelnya
BalasHapus