Jumat, 08 Januari 2016

MAKALAH POLITIK MEMPENGARUHI PRODUK HUKUM INDONESIA



 
 MAKALAH POLITIK MEMPENGARUHI PRODUK HUKUM INDONESIA




Membicarakan korelasi antara hukum dan politik merupakan kajian yang menarik di kalangan ahli hukum dan politik. Kajian ini menarik karena dua topik ini memiliki ranah yang berbeda. Hukum merupakan ranah yang nyata yang melihat sesuatu itu berdasarkan  norma hukum yang mempunyai sifat pemaksaan. Hukum adalah wilayah “hitam  putih” yang salah harus dihukum, yang benar harus dibebaskan bahkan mendapat penghargaan (rewards). Sedangkan politik adalah ranah kepentingan sebagai, “politic is a goal attainment” politik adalah alat untuk mencapai tujuan.
Politik menggunakan segala cara untuk mencapai tujuan, tak peduli legal atau illegal sepanjang cara itu bisa mewujudkan tujuannya maka cara itulah yang ditempuh. Yang menarik justru antara kedua topik yang berbeda itu ternyata mempunyai sifat yang saling mempengaruhi. Pada tataran realitas kedua topik tersebut kadang-kadang menunjukkan bahwa hukum dapat mempengaruhi politik atau sebaliknya  politik dapat mempengaruhi hukum. Moh Mahfud MD mengemukakan tentang hal tersebut bahwa terdapat tiga macam jawaban untuk melihat hubungan antara hukum dan politik. Pertama, hukum merupakan determinan politik, kegiatan politik harus tunduk pada hukum, Kedua,  pandangan yang melihat bahwa politik determinan atas hukum karena sesungguhnya hukum adalah produk politik yang sarat dengan kepentingan dan konfigurasi politik, dan ketiga pandangan yang melihat bahwa hukum dan politik merupakan dua elemen subsistem kemasyarakatan yang seimbang, karena walaupun hukum merupakan  produk politik maka ketika ada hukum yang mengatur aktivitas politik maka  politikpun harus tunduk pada hukum. Ketiga macam jawaban di atas adalah bangunan teori yang dibangun  berdasarkan realitas relasi antara dua sistem tersebut. Pada kesimpulan akhir tulisanya Mahfud MD menyimpulkan bahwa sesungguhnya politik determinan atas hukum, hukum yang lahir merupakan cerminan konfigurasi politik.


PEMBAHASAN

Istilah sistem politik pertama kali dikenalkan oleh David Easton, seorang ilmuan  politik Amerika, dalam bukunya yang berjudul The Political System. Sistem politik dapat diartikan sebagai suatu mekanisme dari seperangkat fungsi atau peranan dalam struktur. Struktur politik itu meliputi infrastruktur politik dan suprastruktur politik. Infrastruktur politik terdiri dari partai  politik, golongan kepentingan, golongan penekan, alat komunikasi politik dan tokoh  politik. Sedangkan suprastruktur politik terdiri dari lembaga  lembaga Negara. Ada tiga sistem politik yang berkembang yaitu komunisme, fasisme dan liberalisme.

 Istilah “ hukum” di Indonesia berasal dari bahasa arab qonun atau ahkam atau hukUm yang mempunyai arti hukum. Secara etimologis hukum (Indonesia) disebut law (Inggris) dan recht  (Belanda dan Jerman) atau droit  (Prancis). Istilah recht berasal dari bahasa Latin rectum berarti tuntutan atau bimbingan, perintah atau pemerintahan. Istilah law (Inggris) dari bahasa Latin lex atau dari kata lesere yang berarti mengumpulkan atau mengundang orang-orang untuk diberi perintah. Menurut Paul Scholten dalam bukunya Algemeen Deel menyatakan bahwa hukum itu suatu petunjuk tentang apa yang layak dikerjakan dan apa yang tidak, jadi hukum itu bersifat suatu perintah.

Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita maksudkan sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah di atur dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan politik, dapat dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstestasi agar kepentingan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang.
Demikian pula hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu dalam wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum.

Konfigurasi politik diartikan sebagai susunan atau konstelasi kekuatan politik yang secara dikotomis dibagi atas dua konsep yang bertentangan secara diametral, yaitu konfigurasi politik demokratis dan konfigurasi politik otoriter. Istilah demokrasi merupakan istilah ambigu, sehingga berbagai negara yang mengklaim diri sendiri sebagai negara demokrasi telah menempuh rute-rute yang  berbeda. Amerika Serikat yang liberal dan bekas negara Uni Soviet yang totaliter sama-sama mengklaim diri sebagai negara demokrasi. Kerapkali terjadi manipulasi terhadap konsep demokrasi sehingga pemaksaan, penyiksaan, pelanggaran hak asasi manusia yang dilakukan di negara komunis dapat dianggap dosa kecil dan menurut mereka tetap harus dianggap demokratis karena ditujukan untuk menyelamatkan rakyat dalam menyongsong masa depannya. Jadi setiap tindakan yang dapat diberi alasan untuk menyelamatkan rakyat secara kolektif di negara komunis dianggap demokratis, sesuatu yang sangat berlawanan dengan negara-negara yang menganut  paham liberalisme.
Carter dan Herz mencirikan kedua sistem tersebut dalam gambaran yang kotradiktif. Dikatakannya, demokrasi secara institusional ditandai oleh adanya pembatasan-pembatasan terhadap tindakan pemerintah untuk memberikan perlindungan bagi individu dan kelompok-kelompok dengan menyusun pergantian pimpinan secara berkala, tertib, dan damai melalui alat-alat perwakilan rakyat yang bekerja efektif. Demokrasi juga memberikan toleransi terhadap sikap yang berlawanan, menuntut keluwesan, dan kesediaan untuk bereksperimen. Pembatasan terhadap wewenang pemerintah menyebabkan pemerintah tidak boleh turut campur dalam segi tertentu kehidupan warganya yang berarti pula bahwa pegawai pemerintah harus tunduk pada rule of law sebagai tindakan orang biasa dan hanya melaksanakan wewenangnya sesuai dengan yang diberikan oleh undang-undang. Selain itu demokrasi juga memberikan kebebasan berpartisipasi dan beroposisi bagi partai politik, organisasi kemasyarakatan, masyarakat dan perseorangan serta prasarana pendapat umum semacam pers dan media massa. Sebaliknya totaliterisme, menurut Carter dan Herz, dintandai oleh dorongan dengan untuk memaksakan persatuan, usaha menghapus oposisi terbuka dengan suatu  pimpinan yang merasa dirinya paling tahu mengenai cara-cara menjalankan kebijaksanaan pemerintah, dan pimpinan tersebut menjalankan kekuasaan melalui suatu elite yang kekal.
Di balik tindakan yang membenarkan konsentrasi, mencakup pembatasan atas kekuasaan individu dan kelompok, sebagai alat yang dipergunakan untuk mencapai tujuan terakhir yang pasti atau tujuan tertentu yang menurut mereka sudah ditakdirkan oleh sejarah. Ciri menonjol totaliterisme modern adalah tumpang tindihnya pola-pola dan struktur sosial yang harus dilenyapkan, satu masyarakat yang homogeny dan seragam adalah keadaan dari kejadian-kejadian yang sangat diinginkan. Ide semacam ini berbahaya karena mengandung premis-premis sosiologis yang keliru. Dari gambaran teoretis yang abstrak tentang kedua ujung spectrum politik tersebut sebenarnya secara empiris tidak ada satu negara pun yang mengikuti bentuk teoretisnya secara penuh, artinya di dalamnya sering banyak variasi.
Di dalam negara demokrasi misalnya sering timbul gejala-gejala otoriterisme berkenaan dengan seringnya pemerintah melakukan tindakan yang sepenuhnya ekonomis. Pemerintah tidak bersifat mewakili secara sama dalam proses politiknya atau bertindak intervensif  bagi kehidupan rakyatnya dengan pembatasan-pembatasan tertentu secara aktif memainkan berbagai peran dalam kehidupan ekonomi, budaya, dan sosial. Apalagi banyak asumsi bahwa kecepatan laju pembangunan sering diperlambat oleh sistem politik yang pluralistik (demokratis). Begitu juga negara-negara yang diidentifikasi sebagai negara dengan rezim otoritarian, tidaklah dapat diidentifikasi secara tunggal karena tidak dapat disamakan antara yang satu dengan yang lain. Yang jelas tidak ada rezim otoritarian yang dianggap monolitik seperti tiadanya kekuatan-kekuatan yang memperjuangkan demokrasi dapat dianggap seperti itu.
Dengan demikian, tampilan konfigurasi politik di dalam suatu negara dapat bergerak sepanjang garis kontinum yang menghubungkan dua kutub dalam spectrum politik, yaitu kutub demokrasi dan kutub otoriter. Ini berarti tidak ada negara yang memiliki konfigurasi yang betul-betul demokratis atau otoriter, tetapi setiap negara dapat diidentifikasi berdasarkan kedekatannya pada salah satu ujung itu. Perjalanan konfigurasi politik melalui garis kontinum dari satu ujung ke ujung lainnya sama dengan perjalanan peran negara dalam proses ekonomi yang serba campuran. Artinya, tidak ada satu negara pun yang sepenuhnya bersifat laizzes-faire atau sepenuhnya bersifat “hegemonik”.
Dapat disimpulkan, konfigurasi politik suatu negara tidak dapat dipandang secara “hitam-putih” untuk disebut demokrasi atau otoriter. Tidak mungkinnya penyebutan mutlak itu akan terasa jika pilihan suatu negara atas suatu konfigurasi politik dikaitkan dengan tujuan atau keperluan pragmatisnya. Adakalanya otoriterisme yang dianut oleh suatu negara didasarkan pada alasan untuk menjamin kesejahteraan rakyatnya sehingga kepentingan rakyat menjadi perhatian yang utama. Tujuan negara otoriter seperti ini sebenarnya sama dengan tujuan negara demokrasi dalam melindungi kepentingan rakyatnya. Di negara-negara yang menganut wawasan welfare state misalnya, sangat jelas tujuan utamanya adalah membangun kesejahteraan masyarakat, namun dengan pilihan strategi yang dari standar konvensional tidaklah demokratis.
Betapapun, untuk keperluan metodologis, studi ini memilih dua ujung konfigurasi  politk yang dikotomis tersebut sebagai salah satu kerangka teorinya, bahwa  pemberian kualifikasi suatu konfigurasi politik pada dasarnya netral. Artinya dilepaskan dari penilaian tentang baik dan jelek yang memang sulit ditempatkan secara konsisten di dalam suatu konfigurasi politik. Konfigurasi politik terhadap hukum dapat diartikan bahwa politik determinan atas hukum sehingga hukum merupakan produk politik. Karena lebih kuatnya konsentrasi politik, maka menjadi beralasan adanya konstatasi bahwa kerap kali hukum di Indonesia ini diintervensi oleh politik, bukan hanya dalam proses pembuatanya tapi implementasinya. Prinsip yang menyatakan politik dan hukum harus bekerja sama dan saling menguatkan melalui ungkapan “ hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan dan kekuasaan tanpa hukum adalah kelaliman” menjadi semacam utopi belaka. Hal ini terjadi karena kerap kali hukum menjadi cermin dari kehendak pemegang kekuasaan, sehingga tidak sedikit yang memandang hukum adalah kekuasaan. Seperti yang telah dijelaskan bahwa konfigurasi politik ada yang demokratis dan otoriter yang mana kaitanya dengan produk hukum adalah karakteristiknya. Konfigurasi politik demokratis menghasilkan produk hukum yang bersifat responsive/populistik.
Pada hukum responsif, peranan besar terletak pada lembaga peradilan yang disertai partisipasi luas kelompok sosial atau individu-individu di dalam masyarakat. Sedangkan konfigurasi politik otoriter menghasilkan produk hukum yang bersifat ortodoks/konservatif. Pada strategi pembangunan hukum ortodoks, peranan lembaga-lebaga negara (pemerintah dan parlemen) sangat dominan dalam menentukan arah perkembangan hukum.

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik. Walaupun kemudian proses hukum tidak di identikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum.
Pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata process dan kata institutions, dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan pemegang kekuasaan.
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa di isi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan-kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara seperti Presiden, DPR dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem checks and balances, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing
Dalam Negara demokrasi, partai politik merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara, sebab melalui partai politik inilah rakyat menentukan kebijakan untuk memilih presiden dan wakil presiden dan pejabat negara lainnya. Partai politik merupakan alat yang pernah didesain oleh kelompok masyarakat dalam suatu negara untuk mencapai tujuan politiknya, dan partai politik ini merupakan senjata yang paling ampuh dalam menekan kesewenangan pihak penyelenggara negara. Sedemikian pentingnya keberadaan partai politik dalam sebuah negara, sampai pada munculnya pemeo dalam masyarakat yaitu negara modern tanpa partai politik, sama saja dengan kolam yang tidak ada ikannya.
Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan pihak yang berkuasa. Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh masyarakat yang melahirkan partai politik itu. Partai politik selalu dianggap sebagai salah satu atribut dari negara moderen, sebab partai politik itu sangat diperlukan kehadirannya bagi negara yang berdaulat. Bagi negara yang berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana penyalur aspirasi rakyat, juga merupakan penentu dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat.
Partai politik sering kali di asosiasikan orang sebagai organisasi perjuangan yaitu tempatnya seseorang atau sekelompok orang memperjuangkan hak-hak politik dalam sebuah negara. Menurut Huzhuszar dan Stevensoon dalam bukunya political science, sebagaimana yang dikutip oleh Bakti Ritonga mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir dan berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar dapat melaksanakan program-program dan menempatkan anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah.
Partai politik berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara, yaitu pertama ikut serta dalam pelaksanaan pemerintaahn secara sah melalui pemilihan umum dengan merebut suara terbanyak (mayoritas), kedua dengan cara tidak sah (subversive) untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara itu dengan cara revolusi. Lebih lanjut dikatakan bahwa persaingan antar partai politik merupakan bagian integral dalam proses guna memperoleh kemenangan dalam proses pemilihan umum. Partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan umum, akan memperkuat posisi elite dalam menjalankan kekuasaan dan merealisir tujuan lebih lanjut yakni mengawasi kebijakan umum pemerintah.
Dalam konteks Indonesia, peran partai politik sebagai aspek pengubah hukum terlebih dahulu harus merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama DPR. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa peran Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif mempunyai peran seimbang dalam membuat dan mengadakan perubahan undang-undang. Berdasarkan ketentuan itu pula ditentukan bahwa anggota DPR adalah orang-orang yang mewakili atau diusulkan oleh Partai Politik yang ada.
Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa tugas dan wewenang DPR yaitu bersama-sama dengan Presiden membentuk undang-undang, bersama-sama Presiden menetapkan APBN, melaksanakan pengawasan dalam pelaksanaan undang-undang yang berhubungan dengan pelaksanaan APBN dan Pengelolaan Keuangan Negara serta kebijaksaan Negara dan pengelolaan keuangan negara serta kebijaksanaan pemerintah, membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang/damai dan hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK dan melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan-ketetapan MPR kepada DPR.
Dari tugas dan wewenang DPR sebagaimana tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa tugas dan wewenang itu seimbang dengan tugas dan wewenang Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam melakukan perubahan hukum. Selain itu, di luar DPR, anggota partai politik juga berperan dalam mengubah hukum dengan memberikan masukan (kalau perlu dengan tekanan) kepada DPR terhadap sesuatu hal yang merugikan rakyat.   

Tidak semua aspirasi yang ada dalam masyarakat dapat tertampung dalam partai politik yang telah ada dalam satu negara. Aspirasi masyarakat yang tidak tertampung itu biasanya diwujudkan dalam berbagai organisasi yang dibentuk diluar pemerintah, seperti organisasi profesi, kelompok Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM), kelompok penekan (pressure group), dan kelompok kepentingan (interest group). Disamping itu juga terdapat kelompok dari lembaga-lembaga internasional seperti Internasional Monetary Fund (IMF), World Bank, dan berbagai lembaga internasional lainnya yang dapat mempengaruhi produk-produk hukum dalam suatu negara.
Di luar kekuatan-kekuatan politik yang duduk dalam institusi-instusi politik, terdapat kekuatan-kekuatan lainnya yang memberikan kontribusi dan mempengaruhi produk hukum yang dilahirkan oleh institusi-institusi politik. Kekuatan tersebut berbagai kelompok kepentingan yang dijamin dan diakui keberadaan dan perannya menurut ketentuan hukum sebagai negara yang menganut sistem demokrasi. Bahkan dalam Undang-Undang Nomor 10 tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Per-Undang-Undangan, dalam Bab. X menegaskan adanya partisipasi masyarakat yaitu yang di atur dalam Pasal 53 yang berbunyai masyarakat berhak memberikan masukan secara lisan atau tertulis dalam rangka penyiapan atau pembahasan Rancangan Undang Undang dan Rancangan Peraturan Daerah.
Kenyataan di atas menunjukan bahwa pengaruh masyarakat dalam mempengaruhi pembentukan hukum, mendapat tempat dan apresiasi yang begitu luas. Apalagi sejak tuntutan masyarakat dalam mendesakkan reformasi di segala bidang berhasil di menangkan, dengan ditandai jatuhnya orde baru yang otoriter, maka era reformasi telah membawa perubahan besar di segala bidang ditandai dengan lahirnya sejumlah undang-undang yang memberi apresiasi yang begitu besar dan luas.
Kenyataan yang perlu di sadari, bahwa intensnya pengaruh tuntutan masyarakat terhadap pembentukan hukum dan lahirnya keputusan-keputusan hukum dapat terjadi jika tuntutan rasa keadilan dan ketertiban masyarakat tidak terpenuhi atau terganggu Karena rasa ketidakadilan dan terganggunya ketertiban umum akan memicu efek opini yang bergulir seperti bola salju yang semakin besar dan membahayakan jika tidak mendapat salurannya melalui suatu kebijakan produk hukum atau keputusan yang memadai untuk memenuhi tuntutan masyarakat tersebut. Satu catatan penting yang perlu menjadi perhatian para lawmaker seperti yang dikemukakan oleh Walter Lippmann, yaitu  jika opini umum sampai mendomonasi pemerintah, maka disanalah terdapat suatu penyelewengan yang mematikan, penyelewengan ini menimbulkan kelemahan, yang hampir menyerupai kelumpuhan, dan bukan kemampuan untuk memerintah.
Karena itu perlu menjadi catatan bagi para pembentuk hukum adalah penting memperhatikan suara dari kelompok masyarakat yang mayoritas yang tidak punya akses untuk mempengaruhi opini publik, tidak punya akses untuk mempengaruhi kebijakan politik. Disnilah peranan para wakil rakyat yang terpilih melalui mekanisme demokrasi yang ada dalam struktur maupun infrastruktur politik untuk menjaga kepentingan mayoritas rakyat, dan memahami betul norma-norma, kaidah-kaidah, kepentingan dan kebutuhan rakyat agar nilai-nilai itu menjadi hukum positif.
Sehubungan dengan organisasi kemasyarakatan terdapat ciri penting yaitu kesukarelaan dalam pembentukan dan keanggotaannya. Anggota masyarakat bebas membentuk, memiliki dan bergabung dalam organisasi kemasyarakatan yang dikehendaki dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara atas dasar kesamaan kegiatan, profesi, fungsi, agama dan kepentingan. Organisasi kemasyarakatan dibentuk atas dasar sifat kekhususannya masing-masing, maka sudah semestinya apabila organisasi kemasyarakatan berusaha melakukan kegiatan sesuai dengan kepentingan anggotanya. Oleh karena itu, keberadaan organisasi kemasyarakatan, termasuk Lembaga Swadaya Masyarakat merupakan kebutuhan yang tidak dapat terelakkan.
Syaiful Hakim mengemukakan bahwa Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM) adalah organisasi non pemerintah yang didirikan oleh masyarakat untuk tujuan tertentu, terutama untuk ikut memberikan andil dalam pembangunan. LSM yang di dirikan itu mempunyai perhatian dan fokus garapan yang berbeda dan biasanya disesuaikan dengan kepentingan masyarakat yang menghendaki lahirnya LSM itu. Adapun bentuk LSM berbagai spesifikasi misalnya dalam bidang lingkungan hidup dan pelestarian alam, perlindungan anak-anak, penegakan hukum dan keadilan, kekayaan pejabat dan mantan pejabat negara, kemandirian peradilan, tentang dugaan korupsi dan pemberantasan KKN, tentang hak-hak asasi manusia dan kesetaraan gender dan lembaga yang memerhatikan pelaksanaan demokrasi dan supremasi hukum.
Dalam melaksanakan kegiatan dan program kerja sesuai dengan bidang yang menjadi sorotan masing-masing LSM, kebanyakan dari mereka terlebih dahulu memgumpul data yang diperlukan dengan mengadakan penelitian lapangan untuk mendapatkan dan mengetahui kondisi objektif tentang persoalan yang menjadi bidang garapannya. Data-data yang terkumpul itu dioleh sedemikian rupa sehingga di dapat data yang akurat yang selanjutnya disusun langkah-langkah strategis selanjutnya untuk mengupayakan perbaikan kondisi yang diinginkan oleh LSM tersebut. Dari hasil penelitian ini, mereka mengadakan kajian lebih lanjut dengan mengadakan seminar-seminar guna mendapatkan solusi terbaik terhadap persoalan yang dihadapinya. Hasil dari penelitian dan kajian yang telah diseminarkan itu diserahkan kepada pembuat kebijakan, baik pihak eksekutif, legislatif, dan yudikatif yang pada gilirannya kalau hasil kajian itu bermanfaat untuk kepentingan masyarakat, maka akan ditindaklanjuti dengan membuat kebijakan baru dalam bidang hukum.
Sejak reformasi bergulir pada tahun 1998 kegiatan dari LSM semakin marak. Lembaga yang tumbuh di dalam masyarkat itu telah berfungsi sebagai penegak peraturan yang berlaku di dalam masyarakat, dan juga telah berfungsi sebagai alat untuk mendidik anggota masyarakat, supaya mereka itu memiliki kesadaran untuk mematuhi segala peraturan, dengan demikian dalam masyarakat akan terdapat ketertiban dan kedamaian.
Jadi dalam kehidupan masyarakat diperlukan LSM untuk mengontrol penyelenggara negara agar segala sesuatu dapat berjalan sebagaimana yang telah ditentukan. Misalnya WALHI, LSM dalam Pemantauan dan Pelestarian Lingkungan Hidup dan Ekosistem, lebih mengarahkan kegiatannya pada upaya bagaimana agar kelestarian lingkungan tetap terjaga dengan cara mengurangi penebangan hutan secara ilegal agar bangsa Indonesia terhindar dari ancaman banjir dan bencana alam lainnya.
LSM yang bergerak dalam bidang masing-masing telah memberikan berbagai masukan kepada pembuat kebijakan baik dalam bidang eksekutif, legislatif dan yudikatif baik dalam rangka membuat aturan hukum maupun dalam bidang penerapan hukum menuju kepada hal yang lebih baik daripada sebelumnya. Pada era reformasi ini banyak aturan hukum (undang-undang) yang dibuat oleh DPR bersama pemerintah terlebih dahulu diminta masukan-masukan dari berbagai pihak, termasuk LSM dalam bidang masing-masing. Sehingga tampak bahwa peranan pengaruh dari LSM dalam mengubah suatu hukum yang akan diberlakukan kepada masyarakat cukup dominan.

Penegakan hukum di Indonesia dinilai masih belum lepas dari intervensi politik. Intervensi tersebut tidak hanya pada proses pembentukan produk hukum, namun juga pada proses-proses pelaksanaannya di lembaga peradilan. Menurut Ikrar Nusa Bakti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, diungkapkan dalam Diskusi Intervensi Politik Terhadap Penegakan Hukum dan HAM di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Rabu (25/2).
Menurut Ikrar, meski Indonesia sudah lepas dari era pemerintahan otoriter, namun adanya intervensi poiltik masih belum dapat dilepaskan. Hal ini bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Sementara Todung menjelaskan, Indepedensi peradilan itu hanya mitos yang tidak pernah ada dalam kenyataan. Todung mencontohkan, dalam pemilihan hakim agung. Calon hakim yang diseleksi Komisi Yudisial pada akhirnya diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. "Di sinilah transaksi politik terjadi. orang-orang yang dikirimkan ke Mahkamah Agung merupakan hasil kompromi politik. Memang ada hakim karir, tapi bahkan mereka pun tidak bebas dari transaksi politik. Menurut Todung, indepedensi peradilan ini akhirnya akan bermuara pada lembaga-lembaga peradilan. Kata dia, lembaga-lembaga tersebut perlu ditata ulang lagi. Selain lembaga peradilan, reposisi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat juga harus dilakukan.
Produk hukum yang dihasilkan masih lebih mementingkan kepentingan dan kompromi politik dibandingkan rakyat. Hal ini dapat terlihat banyak produk hukum yang dihasilkan di DPR justru kemudian diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, menurut Wahyudi Jafar dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), proses pembentukan UU memang tidak dapat dilepaskan dari adanya transaksi poltik. Namun yang terpenting juga adalah bagaimana agar proses pelaksaan penegakan hukum oleh lembaga peradilan menjadi mandiri.
Adanya diskriminasi penegakan hukum. Harus diakui bahwa proses hukum kasus korupsi, khususnya yang berhubungan dengan korupsi DPRD dan Kepala Daerah kental dengan nuansa diskriminasi. Namun diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, yakni ketika para koruptor diberikan kekhususan penanganan dibandingkan dengan kejahatan lainnya. Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan tetap (in krahct) merupakan kebijakan diskriminatif. Tidak memproses secara adil semua pelaku korupsi APBD juga diskriminatif.
Akan tetapi, penyikapan politik dengan meminta pembersihan nama baik anggota DPRD/Kepala Daerah akibat dari perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan agenda yang telah keluar dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik demikian tak lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan berlindung dibalik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota DPR RI. Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak justru sebaliknya, meneriakkan adanya diskriminasi, akan tetapi membuat rekomendasi yang diskriminatif pula.
Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang memberikan kontribusi pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu  pertama, faktor hukum (subtance) atau peraturan perundang-un­dangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatan­nya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pem­buatan undang-undang cq. lembaga legislatif.  Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.
Kedua pandangan di atas tampaknya saling berkesesuaian. Kelima unsur sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan menjadi tiga unsur sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dapat pula dirinci lebih lanjut menjadi lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya sebagai undang-undang merupakan produk politik, artinya ialah bahwa undang-undang dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai kekuatan sosial dan kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepenting­an-kepentingan yang ada. Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi ­tersebut meliputi kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD mengatakan dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum, bahwa dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan subsistem politik hukum, politik ternyata memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah
Kondisi demikian mengeksplisitkan bahwa perjala­nan politik di Indonesia tidak ubahnya seperti perjalanan kereta api di luar relnya, artinya banyak sekali praktik politik yang secara substantif bertentangan aturan-aturan hukum.
Statemen-statemen di atas memberikan penegasan, bahwa di dalam realitas empirisnya  politik sangat menentukan bekerjanya hukum, mulai  sejak proses pembentukan sampai dengan tahap implementasinya. Menurut Moh Mahfud MD, pengaruh politik akan berpengaruh pada karakteristik produk-produk dan proses pem­buatannya. Hubungan kausalitas antara hukum dan politik, khususnya dalam bidang hukum publik tampak dengan jelas bahwa sistem politik yang demokratis senantiasa mela­hirkan produk hukum yang berkarakter responsif atau populistik sedangkan sistem politik yang otoriter senantiasa melahirkan hukum yang berkarakter ortodoks atau koservatif.


Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dapat terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi produk hukum yang dibentuk oleh pemerintah yang cenderung memihak kepentingan kalangan tertentu.

            Seharusnya produk hukum yang dihasilkan oleh pemerintah bisa memihak semua kalangan termasuk juga memihak kepentingan Negara, tanpa ada diskriminasi ataupun tumpang tindih antara produk hukum yang timbul akibat dari kepentingan-kepentingan golongan tertentu.


DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta.
Daniel S. Lev, 1990, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Soerjono Soekanto, 1994,  Pokok-Pokok Sosiologi Hukum, Raja Grafindo Persada, Jakarta.
Said Umar, 2012, Pengantar Hukum Indonesia, Sinar Grafika, Malang.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Trending Template

Pengikut