Jumat, 08 Januari 2016

IMPLIKASI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN APHT OLEH PPAT





IMPLIKASI KETERLAMBATAN PENDAFTARAN APHT OLEH PPAT


IMPLICATIONS DELAY APHT REGISTRATION BY PPAT



Safri Awal (P3600215005)
Program Studi Kenotariatan, Universitas Hasanuddin









Alamat Koresponden:

Safri Awal
Alamat: Jl. Perintis Kermerdekaan Km. 11 Kompleks Budidaya Permai Blok 1 No.11, Makassar
Hp. 085230853898
Email: syafwal@gmail.com






Abstrak

Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan tahap pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang  kemudian  didaftarkan di Kantor Pertanahan. PPAT  wajib  mendaftarkan APHT  pada  Kantor  Pertanahan  selambat-lambatnya  tujuh  hari  kerja  setelah penandatanganan APHT, namun dalam praktik sehari-hari, terdapat PPAT yang terlambat mendaftarkan APHT  ke Kantor Pertanahan. Tujuan penelitian ini untuk mengetahui,  memahami  dan  menganalisis  apakah  keterlambatan  pendaftaran APHT  mempengaruhi  keabsahan  Hak  Tanggungan dan untuk  mengetahui, memahami dan menganalisis apa akibat hukum lewatnya batas waktu kewajiban mendaftarkan APHT oleh PPAT. Setelah diadakan penelitian dengan pendekatan peraturan  perundang-undangan diambil  kesimpulan bahwa keterlambatan pendaftaran APHT tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT, sehingga setelah APHT tersebut didaftarkan tidak mempengaruhi proses lahirnya  Hak  Tanggungan  dan  keabsahan  Hak  Tanggungan,  Hak  Tanggungan baru akan lahir setelah tujuh hari APHT didaftarkan secara lengkap beserta warkah-warkah yang dibutuhkan untuk pendaftaran, dibuktikan dengan terbitnya sertifikat  Hak  Tanggungan.  Keterlambatan  pendaftaran  hanya  akan  menunda lahirnya Hak Tanggungan, namun tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT  untuk proses pendaftaran Hak Tanggungan. Akibat hukum lewatnya batas waktu kewajiban mendaftarkan APHT oleh PPAT, dapat menimbulkan gugatan beserta sanksi terhadap PPAT itu sendiri, baik secara perdata maupun administratif, dan dapat  menimbulkan  kerugian  bagi  para  pihak  yang  melakukan  perjanjian khususnya pihak kreditor.

Kata kunci: Keterlambatan, APHT, PPAT



Abstract

Obligations  Vesting  do  with  the  making  of  Vesting  Act  Liability (APHT)  by  Record  Office  Land  Act  (PPAT) is  then  registered  in  the  Lands Office. APHT must register at the Lands Office no later than 7 days after the signing of the APHT, but in practical this day, there’s PPAT late to register APHT  to Lands Office. The purpose of this study to know, understand and analyze the delay  affect  the validity  of APHT  registration  rights  obligations and  to  know, understand and analyze what caused the latest legal obligation deadline to register APHT by PPAT. Having conducted research with the approach of legislation and the opinion of the scholars be concluded that late registration APHT has no effect on the validity of the APHT, the APHT until after registration does not affect the validity of the birth of Rights Obligations and Liabilities Rights, Rights of the new obligations will be born after 7(seven) day registered APHT and attach the letter required for registration, as evidenced by a certificate issued rights obligations. Late registration will only delay the birth of rights obligations, but did not affect the validity of the APHT for the registration rights obligations. Due to the latest legal obligation deadline to register APHT by PPAT, can give rise to a lawsuit along with sanctions against PPAT itself, either civil or administrative, and cancause damage to the party who commits the agreement  particularly the creditors.

Keywords: Tardiness, APHT, PPAT







PENDAHULUAN
Pembangunan ekonomi sebagai bagian dari Pembangunan Nasional yang merupakan salah satu upaya untuk mewujudkan kesejahteraan rakyat yang adil, makmur dan merata, berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara keseimbangan pembangunan tersebut yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan Badan Hukum sangat diperlukan dana dalam jumlah besar.  Perkembangan dalam sektor perekonommian masyarakat Indonesia saat ini menunjukkan perkembangan yang sangat baik,  diantaranya kemudahan  dalam  memperoleh kredit  juga menjadi  faktor  pendukung  kemajuan ekonomi.  Masyarakat  baik  secara perorangan  atau  korporasi berusaha meningkatkan usahanya, dalam upaya mencukupi kebutuhannya ini dibutuhkan sumber dana yang antara lain dalam bentuk perkreditan agar dapat mendukung kebutuhan modal kerja yang semakin meningkat.
Masyarakat dapat mengajukan pinjaman uang kepada bank dengan memberikan jaminan kepada Bank, dalam hal ini pihak yang memberikan pinjaman uang disebut sebagai kreditor dan pihak yang  menerima  pinjaman  uang  disebut sebagai Debitor. Hubungan ini  disebut sebagai  perjanjian  Kredit;  kredit  juga  dapat membantu  menjaga kestabilan perekonomian Negara, karena dengan adanya kredit akan sangat membantu masyarakat untuk mengembangkan usahanya, melancarkan  produksi  dan perdagangan sehingga secara tidak langsung akan meningkatkan taraf hidup masyarakat.
Untuk  memperoleh  kredit  dari  bank, hal  yang  perlu  diperhatikan  adalah jaminan, karena jaminan merupakan syarat yang harus dipenuhi  dalam pemberian kredit.  Ada  beberapa  macam  jaminan  kebendaan  yang  dikenal  dalam hukum, antara  lain  Hak  Tanggungan. Pada  tanggal  9  April  Tahun  1996  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) diundangkan sebagai realisasi dari Pasal 51  Undang-Undang  Pokok  Agraria  Nomor  5  Tahun  1960  (UUPA).
Jaminan kebendaan merupakan penjaminan yang dilakukan oleh kreditor terhadap debitor, atau antara kreditor dengan seorang pihak ketiga guna menjamin dipenuhinya kewajiban-kewajiban dari debitor. Jaminan benda tidak bergerak berupa hak atas tanah “yaitu barang milik dalam hal ini hak atas tanah milik debitor yang diikat sebagai jaminan, yang oleh Bank digunakan sebagai pelunasan melalui menjual lelang jika debitor tidak mampu mengembalikan pinjaman” dijaminkan dalam bentuk Hak Tanggungan, sebagaimana diatur dalam ketentuan Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah.
Pemberian Hak Tanggungan dilakukan dengan tahap pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) yang  kemudian  didaftarkan  di Kantor  Pertanahan,  tetapi  sebelum  dibuatnya APHT,  dapat  juga  terlebih  dahulu  dibuat Surat  Kuasa  Membebankan  Hak Tanggungan  (SKMHT)  di  hadapan  Notaris  atau  PPAT yang  mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama identitas kreditornya, serta nama dan identitas debitor apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan. Ketentuan ini terdapat dalam Pasal 15 ayat (1) UU Hak Tanggungan.
Setelah  ditandatanganinya APHT tersebut PPAT wajib mendaftarkan APHT pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya Tujuh hari kerja setelah penandatanganan APHT, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 13 ayat (2) UU Hak Tanggungan. Namun pada prakteknya,  terdapat  PPAT  yang  terlambat mendaftarkan APHT ke Kantor Pertanahan, hal ini tentu saja tidak sesuai dengan tujuan hukum, yaitu kepastian hukum, terutama jika hal ini  menimbulkan akibat buruk bagi kreditor.

METODE PENELITIAN
Tipe dan Pendekatan Penelitian
Tipe penelitian yang digunakan adalah tipe penelitian yuridis normatif,yaitu penelitian yang didasarkan pada penelitian kepustakaan dengan menggunakan pendekatan terhadap masalah-masalah yang diteliti dengan cara meninjau dari segi peraturan perundang-undangan yang berlaku dan bahan hukum lainnya. Sebagai penelitian hukumnormatif, metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan perundang-undangan (statute approach), dan pendekatan konseptual (conceptual approach)
Bahan hukum yang digunakan dalam penelitian ini adalah bahan hukum primer yang terdiri dari peraturan perundang-undangan, diantaranya adalah Undang-undang  Nomor  7  tahun  1992  tentang  Perbankan  (LN  RI  Tahun  1992 Nomor 53, TLN RI Nomor 3481), Sebagaimana diubah dengan Undang-undang  Nomor  10  Tahun  1998 tentang  Perubahan  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (LN RI Tahun 1998 Nomor 182, TLN RI Nomor 3790), Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (LN RI Tahun 1996 Nomor 42, TLN RI Nomor 3632) dan Peraturan  Pemerintah  Nomor  37  Tahun  1998  tentang Peraturan  Jabatan  PPAT (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52). Data sekunder, yaitu data yang sudah tersedia ditempat penelitian yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan mempelajari, buku-buku literatur, peraturan perundang-undangan, jurnalilmiah dan lain-lain yang berhubungan dengan objek penelitian.

Teknik Pengumpulan Data
Teknik  pengumpulan  data dalam penelitian ini yaitu melalui  pengumpulan  data  atas kasus  yang  terjadi dalam  praktik  praktisi  di  lapangan  dan  melalui  studi kepustakaan, yaitu menginventarisir peraturan perundang-undangan, buku-buku, majalah-majalah,  bahan-bahan  kuliah,  dan tulisan-tulisan  lainnya  untuk memperoleh bahan hukum yang sesuai dengan objek penelitian yang dikaji untuk selanjutnya  disusun  secara  sistematis  berdasarkan  pokok  bahasan  dalam penelitian.

Analisis Data
Data yang diperoleh dalam penelitian kemudian dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif yaitu dengan mendeskripsikan data yang diperoleh berupa data primer dan data sekunder kemudian dilakukan penafsiran dan kesimpulan.

HASIL
Adapun manfaat dari pendaftaran APHT yakni unuk memenuhi asas publisitas, pendaftaran tersebut dilakukan untuk memberitahukan masyarakat atau pihak lain bahwa obyek hak atas tanah tersebut telah dijadikan jaminan untuk pelunasan utang dari pemiliknya, dengan kata lain pemenuhan asas publisitas ini untuk turut serta mengikat pihak ketiga, hal ini juga diungkapkan oleh Habib Adjie “Dengan dicantumkannya janji-janji tersebut dalam APHT, yang kemudian diikuti dengan pendaftaran Hak-Hak Tanggungan di Kantor Pertanahan, maka terpenuhi Asas Publisitas, dengan demikian janji-janji tersebut mempunyai kedudukan yang mengikat terhadap pihak ketiga”, apabila APHT tidak didaftarkan atau tidak terpenuhinya asas publisitas, maka pihak ketiga tidak terikat atas perjanjian dan janji-janji yang telah dibuat  oleh  kreditor  dan  pemberi  obyek  jaminan, perjanjian  tersebut  hanya mengikat para pihak yang melakukan perjanjian.
Bank   hanya   memberikan   kredit   jika   mempunyai   keyakinan   atas kemampuan dan kesanggupan debitor dalam mengembalikan pinjamannya, salah satu aspek yang digunakan sebagai pertimbangan bank adalah menganjurkan debitor menyerahkan barang miliknya yang diikat sebagai jaminan kredit. Jaminan yang dimaksud adalah itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor dalam mengembalikan pinjamannya, jika pihak kreditor ragu-ragu terhadap itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor dalam mengembalikan pinjamannya, berarti bank selaku kreditor meragukan itikad dan kemampuan serta kesanggupan debitor.
J. Satrio menyampaikan bahwa “Maksud asas publisitas pada pendaftaran tanah adalah, bahwa dengan membayar sejumlah uang tertentu, orang bisa melihat buku tanah dan dari buku tanah bisa diketahui ciri-ciri dari pada tanah yang bersangkutan, baik  mengenai  subyek maupun obyek haknya”, hal yang disampaikan oleh J. Satrio adalah mengenai fungsi pendaftaran, pendaftaran bertujuan agar pihak ketiga dapat secara langsung mengetahui  kondisi  dari  tanah  yang bersangkutan,  apakah  sedang  dalam pembebanan  hak  tanggungan  atau  tidak,  dengan diketahuinya kondisi  obyek dapat  menjadi  informasi  yang  berguna  bagi  pihak  ketiga,  dan apabila  terjadi perbuatan hukum yang melibatkan pihak ketiga, maka pihak ketiga terikat dalam janji-janji yang dibuat oleh kreditor dan pemberi obyek jaminan.  Sedangkan di dalam UU Hak Tanggungan tidak ditentukan akibat hukum keterlambatan pendaftaran  APHT. Jika ditelusuri  dalam  UU  Hak  Tanggungan, maka  dapat  kita  ketahui bahwa  APHT  dibuat  berdasarkan  SKMHT, di  mana SKMHT diatur dalam Pasal 15 yaitu:
Pasal 15
(1)   Surat  Kuasa  Membebankan  Hak  Tanggungan  wajib  dibuat  dengan  akta notaris atau akta PPAT dan memenuhi persyaratan sebagai berikut:
a.       tidak memuat kuasa untuk melakukan perbuatan hukum lain daripada membebankan Hak Tanggungan;
b.      tidak memuat kuasa substitusi;
c.        mencantumkan secara jelas obyek Hak Tanggungan, jumlah utang dan nama  serta  identitas  kreditornya,  nama  dan  identitas  debitor  apabila debitor bukan pemberi Hak Tanggungan.
(2)   Kuasa Untuk Membebankan Hak Tanggungan tidak dapat ditarik kembali atau tidak dapat  berakhir oleh sebab  apapun  juga  kecuali  karena  kuasa tersebut  telah dilaksanakan  atau  karena  telah  habis  jangka  waktunya sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4).
(3)   Surat  Kuasa  Membebankan  Hak  Tanggungan  mengenai  hak  atas  tanah yang sudah terdaftar wajib diikuti dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 1 (satu) bulan sesudah diberikan.
(4)   Surat  Kuasa  Membebankan  Hak  Tanggungan  mengenai  hak  atas  tanah yang belum  terdaftar  wajib  diikuti  dengan  pembuatan  Akta  Pemberian Hak Tanggungan selambat-lambatnya 3 (tiga) bulan sesudah diberikan.
(5)   Ketentuan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) dan ayat (4) tidak berlaku dalam hal Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan diberikan untuk menjamin kredit tertentu  yang  ditetapkan  dalam  peraturan  perundang-undangan yang berlaku.
(6)   Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan  yang tidak diikuti dengan pembuatan  Akta  Pemberian  Hak  Tanggungan  dalam  waktu  yang ditentukan sebagaimana yang dimaksud pada ayat (3) atau ayat (4), atau waktu  yang  ditentukan  menurut  ketentuan  sebagaimana  yang  dimaksud pada ayat (5) batal demi hukum.
Di  dalam  Pasal  15  ayat  (3)  dan  ayat  (4)  terdapat  batas  waktu  kewajiban pembuatan APHT setelah SKMHT diberikan yaitu 1 (satu) bulan untuk hak atas tanah yang sudah terdaftar dan 3 (tiga) bulan untuk hak atas tanah yang belum terdaftar. Lewatnya batas waktu pembuatan APHT ini dalam ketentuan Pasal 15 ayat (6) berakibat SKMHT batal demi hukum. SKMHT menurut Pasal 15 ayat (2) tidak dapat ditarik kembali karena sebab apapun juga kecuali karena kuasa sudah dilaksanakan atau karena habisnya jangka waktu pembuatan APHT.  Ketentuan ini menunjukan bahwa pembuatan SKMHT saja belum mengikat obyek jaminan, namun  hanya  sebatas  pemberian  kuasa  membebankan  Hak  Tanggungan  oleh pemilik kepada penerima kuasa. Dengan dibuatnya APHT maka obyek jaminan sudah terikat dan pemilik berkewajiban untuk menyerahkan obyek jaminan untuk pelunasan  utang.  Pemberian  SKMHT  tersebut  harus  diberikan  langsung  oleh pemberi Hak Tanggungan dan harus memenuhi persyaratan mengenai muatannya sebagaimana ditetapkan dalam UU Hak Tanggungan. Tidak dipenuhinya syarat-syarat  tersebut mengakibatkan  SKMHT  yang  bersangkutan  batal  demi  hukum, yang berarti bahwa surat kuasa yang bersangkutan tidak dapat digunakan sebagai dasar  pembuatan  APHT.  PPAT  wajib  menolak  permohonan  untuk  membuat APHT, apabila SKMHT tidak dibuat sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan.
Akibat hukum lewatnya batas waktu pendaftaran APHT, tidak mengurangi ataupun mempengaruhi keabsahan Hak Tanggungan, belum terdaftarnya APHT hanya  menyebabkan  tidak terikatnya pihak ketiga terhadap janji-janji yang diperjanjikan oleh kreditor dan pemilik obyek Hak Tanggungan, janji-janji tersebut hanya mengikat para pihak yang melakukan perjanjian. Dalam praktik apabila PPAT terlambat mendaftarkan APHT,  PPAT tetap dapat mendaftarkan APHT disertai surat keterlambatan dan tidak mengurangi keabsahan Hak Tanggungan. “Dengan demikian apabila agunan yang diterima oleh Bank telah diikat secara sempurna sesuai Undang-undang Hak Tanggungan tersebut, Bank mempunyai kedudukan yang diutamakan dibandingkan dengan kreditor lainnya” Hanya saja apabila APHT tidak segera  didaftarkan akan dapat menimbulkan permasalahan apabila pemilik obyek kehilangan kewenangannya terhadap obyek tersebut sehingga APHT tidak dapat didaftarkan, serta apabila hak milik obyek tersebut telah berpindah pada pihak  ketiga  dan  pihak  ketiga  tidak mengetahui apabila obyek tersebut telah dijaminkan, hal ini dapat menimbulkan permasalahan dikemudian  hari,  sebab  dengan  tidak  didaftarkanya  APHT  maka  pihak  ketiga tidak terikat pada janji yang ada di dalam APHT.

PEMBAHASAN
Jika dikaitkan dengan teori hukum murni yang dianut oleh Hanz Kelsen yakni “hukum adalah sebuah sistem norma, norma adalah pernyataan yang menekankan aspek seharusnya atau das solen”, Pendaftaran APHT bertujuan agar setipikat Hak Tanggungan dapat lahir dan kreditor sebagai pihak yang berkepentingan dilindungi hak-haknya oleh UU Hak  Tanggungan.  Namun dengan  terlambatnya  pendaftaran  APHT  pasti  juga mempengaruhi  waktu  lahirnya  Hak Tanggungan,  di  mana  dalam  massa  waktu tersebut  bisa  saja  muncul  gugatan  dari  pihak ketiga,  sita  pengadilan,  maupun dijatuhkannya pailit kepada pemberi Hak Tanggungan, dimana kreditor maupun PPAT tidak selalu mengetahui keadaan ekonomi debitor. Tentu saja hal ini akan menimbulkan kerugian bagi pihak kreditor selaku pemberi piutang.  
Menurut J.B.J.M ten Berge  yang dikutip oleh Habib Adjie dalam buku Hukum Notaris Indonesia secara  garis  besar  sanksi  Administratif  dapat  dibedakan  menjadi  3  (tiga) macam, yaitu :
1.      Sanksi Refaratif
Sanksi ini ditujukan untuk perbaikan atas pelanggaran tata tertib hukum. Dapat berupa  penghentian  perbuatan  terlarang,  kewajiban  perubahan sikap/tindakan sehingga  tercapai  keadaan  semula  yang  ditentukan, tindakan memperbaiki sesuatu yang berlawanan dengan aturan. Contohnya paksaan  untuk  berbuat  sesuatu  untuk pemerintah  dan  pembayaran  uang paksa yang ditentukan sebagai hukuman.
2.      Sanksi Punitif
Sanksi  yang  bersifat  menghukum,  merupakan  beban  tambahan,  Sanksi hukuman  tergolong  dalam  pembalasan,  dan  tindakan  preventif  yang menimbulkan ketakutan kepada pelanggar yang sama atau mungkin untuk pelanggar-pelanggar  lainnya.  Contohnya  pembayaran  denda kepada pemerintah, teguran keras.
3.      Sanksi Regresif
Sanksi sebagai reaksi atau suatu ketidaktaatan, dicabutnya hak atas sesuatu yang diputuskan menurut hukum, seolah-olah dikembalikan kepada keadaan hukum yang sebenarnya sebelum keputusan diambil. Contohnya pencabutan, perubahan atau penangguhan suatu keputusan.
Di dalam UU Hak Tanggungan diatur sanksi bagi PPAT yang terlambat atau lalai memenuhi  Pasal  13  ayat  (2)  mengenai  waktu  pendaftaran  APHT,  yaitu terdapat dalam Pasal 23 ayat (1) UU Hak Tanggungan : 
Pasal 23
(1)   Pejabat  yang  melanggar  atau  lalai  dalam  memenuhi  ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 11 ayat (1), Pasal 13 ayat (2), dan Pasal 15 ayat (1) Undang-undang ini dan/atau peraturan pelaksanaannya dapat dikenai sanksi administratif, berupa:
a.       Teguran lisan.
b.      Teguran tertulis
c.       Pemberhentian sementara dari jabatan
d.      Pemberhentian dari jabatan.
Sanksi yang dikenakan bagi PPAT apabila melanggar atau lalai memenuhi kewajiban pendaftaran  APHT  dalam  waktu  selambat-lambatnya  7 (tujuh)  hari  setelah APHT  ditandatangani dapat  berupa  teguran  lisan  untuk  sanksi  teringan  dan sampai  pemberhentian  dari  jabatan untuk  sanksi  terberat.  Namun  di  dalam praktiknya,  PPAT  apabila  terlambat  mendaftarkan APHT,  dapat  mengirimkan surat  keterlambatan  akta  yang  ditujukan  kepada  Kepala  Kantor Pertanahan,  dimana hampir tidak pernah ada sanksi yang diberikan kepada PPAT tersebut dan pendaftaran  APHT  tersebut  dapat  diproses  kembali.  Padahal  ketentuan  wajib mendaftarkan dalam waktu Tujuh hari memiliki maksud dan tujuan serta sanksi untuk terciptanya kepastian dalam hukum dan mencegah hal-hal yang dapat merugikan para pihak yang berkepentingan. “Tiada gunanya memberlakukan kaidah-kaidah hukum  manakala  kaidah-kaidah  itu  tidak  dapat dipaksakan  melalui  sanksi  dan menegakkan kaidah-kaidah dimaksud secara prosedural (hukum acara)” kaidah hukum  yang  terdapat  dalam  sebuah  peraturan  apabila  tidak  adanya  sanksi dan penerapan  nyata  dari  sanksi  tersebut  akan  menjadikan  kaidah  atau  peraturan-peraturan tersebut tidak berguna, karena tanpa adanya sanksi dan penerapan nyata, tidak  akan menimbulkan  efek  jera  bagi  orang  yang  melanggarnya  dan  tidak menimbulkan ketertiban dalam hukum itu sendiri.
Apa  yang  terjadi  apabila  pada  saat  telah  lewatnya  batas  waktu  tujuh hari pendaftaran APHT belum didaftarkan dan pemberi Hak Tanggungan dijatuhkan sita oleh pengadilan atau pailit?. Pendaftaran merupakan syarat untuk lahirnya Hak Tanggungan, sehingga apabila Hak Tanggungan belum lahir, semua hak-hak yang diberikan dalam UU Hak Tanggungan juga belum lahir, kreditor hanya akan menjadi kreditor konkuren yang pelunasan piutangnya sama dengan kreditor lain, sehingga  dapat  menimbulkan  kerugian  pada  kreditor,  yang  dapat  mengajukan gugatan pada PPAT.
Dasarkan Pasal 23 ayat (1) UU Hak Tanggungan, PPAT yang terlambat mendaftarkan dapat dikenakan sanksi administratif pemberhentian sementara dari jabatan,  atau  pemberhentian  dari  jabatan. Namun  yang  terjadi  dalam  praktik, PPAT tidak pernah dijatuhi sanksi atas keterlambatan pendaftaran APHT tersebut. Dalam ketentuan Pasal 23 ayat (3) UU Hak Tanggungan yaitu “pemberian sanksi sebagaimana dimaksud pada ayat (1) dan ayat (2) tidak mengurangi sanksi yang dapat  dikenakan  menurut  peraturan  perundang-undangan  lain  yang  berlaku” menentukan bahwa pemberian sanksi pada ayat (1) tidak mengurangi sanksi yang dapat dikenakan menurut peraturan perundang-undangan lain yang berlaku, dalam hal ini dapat didasarkan pada Pasal 1365 B.W. dan PP Nomor 37 tahun 1998.
Bagi para pihak yang mengalami kerugian atas keterlambatan pendaftaran APHT, dapat menggugat secara perdata berdasarkan kesalahan PPAT “Menurut Kitab Undang-undang hukum perdata, unsur kesalahan merupakan syarat mutlak di mana pembuat perbuatan melanggar hukum tersebut harus mengganti segala kerugian, dengan tidak memperdulikan pada nilai berat ringannya kesalahan si pembuat tersebut” sehingga keterlambatan pendaftaran APHT yang ditentukan dalam UU Hak Tanggungan yaitu tujuh hari setelah ditandatanganinya APHT dapat menjadi salah satu unsur kesalahan bagi PPAT, tanpa melihat pada nilai berat ringannya kesalahan tersebut. 
Apabila  keterlambatan  pendaftaran  APHT  ini  menimbulkan  suatu kerugian kepada para pihak, maka berdasarkan Pasal 1365 B.W. “Tiap perbuatan yang melanggar hukum dan membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang menimbulkan kerugian itu karena kesalahannya untuk menggantikan kerugian  tersebut”  ketentuan  ini  mewajibkan  setiap  orang  yang  menimbulkan kerugian bagi orang lain untuk mengganti kerugian sesuai dengan kerugian yang diakibatkan oleh dirinya. “Kerugian yang dimaksud disini adalah kerugian harta kekayaan  pada  umumnya  yang  meliputi  : 
a.       kerugian  yang  diderita  oleh sipenderita,
b.      keuntungan  yang seharusnya diperoleh.
Apabila perbuatan PPAT  menimbulkan  kerugian  atau  tidak  diperolehnya  keuntungan yang seharusnya  diperoleh,  PPAT  sebagai  pejabat  publik  dapat  dimintakan pertanggungjawaban secara perdata berdasarkan ketentuan ini, di mana apabila PPAT dalam melaksanakan jabatannya menimbulkan kerugian bagi orang lain, maka PPAT tersebut juga wajib mengganti kerugian yang diakibatkan olehnya.
Kesalahan   atau   kelalaian   yang   menyebabkan   PPAT   terlambat mendaftarkan APHT, apakah termasuk kedalam wanprestasi? menurut M. Yahya Harahap,  “wanprestasi adalah  pelaksanaan  kewajiban  yang  tidak  tepat  pada waktunya, atau dilakukan tidak menurut selayaknya” pelaksaan sesuatu hal yang sudah seharusnya mejadi kewajiban seseorang yang tidak dilakukan sepenuhnya atau hanya sebagian saja, atau jika tidak tepat waktunya maka hal tersebut sudah termasuk kedalam wanprestasi, begitu pula jika kewajiban itu tidak dilakukan menurut  selayaknya,  yaitu  tidak  sesuai  dengan  apa  yang  telah  menjadi kewajibannya,  jika kita  melihat  dalam  Pasal  13  ayat  (1)  dan  (2)  pendaftaran merupakan  kewajiban  dari  PPAT  yang  dibatasi  oleh  waktu  yakni  selambat-lambatnya 7 hari, dan pendaftaran ini telah dipercayakan oleh undang-undang dan para  pihak  kepada  PPAT  yang  telah  ditunjuk  khusus untuk  melakukan pendaftaran APHT. Sehingga apabila PPAT terlambat mendaftarkan APHT atau bahkan tidak mendaftarkan APHT sesuai dengan yang ditentukan oleh UU Hak Tanggungan,  PPAT  tersebut  dapat  dikatakan  sudah  memenuhi  unsur  dari wanprestasi.

Sanksi  bagi  PPAT  juga  terdapat  dalam  PP  Nomor  37  tahun  1998, ketentuan ini terdapat dalam Pasal 10 ayat (1) dan ayat (2), yaitu :
Pasal 10
(2)   PPAT diberhentikan dengan hormat dari jabatannya karena :
a.       permintaan sendiri
b.      tidak lagi mampu menjalankan tugasnya karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan yang berwenang atas permintaan Menteri atau pejabat yang ditunjuk
c.       melakukan  pelanggaran  ringan  terhadap  larangan  atau  kewajiban sebagai PPAT
d.      diangkat sebagai pegawai negeri sipil atau ABRI;
(3)   PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya, karena :
a.       melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT
b.      dijatuhi hukuman kurungan/penjara karena melakukan kejahatan perbuatan pidana yang diancam dengan hukuman kurungan atau penjara selama-lamanya 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah memperoleh kekuatan hukum tetap.
Dalam ketentuan Pasal 10  ayat (1) huruf c, PPAT yang melakukan pelanggaran ringan  terhadap larangan  atau  kewajiban  sebagai  PPAT  dapat  diberhentikan dengan hormat, dan dalam ayat (2) huruf a, PPAT yang melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT dapat diberhentikan dengan tidak  hormat.  Ketentuan  sanksi  ini  dijatuhkan  kepada PPAT  oleh  Menteri, ketentuan ini diatur dalam pasal 5 PP Nomor 37 tahun 1998, diatur lebih lanjut mengenai  sanksi  dalam  peraturan  kepala  badan  pertanahan  nasional  Republik Indonesia  nomor  1  tahun  2006  tentang  ketentuan  pelaksanaan  peraturan pemerintah nomor 37 tahun 1998 tentang peraturan jabatan pejabat pembuat akta tanah Pasal 28 :
Pasal 28
(1)   PPAT  diberhentikan  dengan  hormat  dari  jabatannya  oleh  Kepala  Badan karena:
a.       permintaan sendiri
b.      tidak lagi mampu menjalankan tugas karena keadaan kesehatan badan atau kesehatan jiwanya, setelah dinyatakan oleh tim pemeriksa kesehatan berwenang atas permintaan Kepala Badan atau pejabat yang ditunjuk
c.       melakukan pelanggaran ringan terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT
d.      diangkat sebagai PNS atau anggota TNI/POLRI.
(2)   PPAT diberhentikan dengan tidak hormat dari jabatannya oleh Kepala Badan, karena:
a.        melakukan pelanggaran berat terhadap larangan atau kewajiban sebagai PPAT
b.      dijatuhi  hukuman  kurungan/penjara  karena  melakukan  kejahatan perbuatan pidana yang diancam hikuman kurungan atau penjara paling lama 5 (lima) tahun atau lebih berat berdasarkan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap
c.        melanggar kode etik profesi.
Kepala Badan adalah Kepala Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia, dimana pada saat PPAT melakukan pelanggaran baik lalai maupun disengaja, baik ringan  maupun berat, serta  pelanggaran  kode  etik  PPAT,  kepala  badan  yang menjatuhkan sanksi terhadap PPAT, ketentuan ini berbeda dengan Notaris ketika melakukan  pelanggaran,  Notaris  apabila melakukan  pelanggaran  maka  sanksi akan diberikan oleh Majelis Pengawas Wilayah,  Majelis Pengawas pusat, dan Menteri  tergantung  dari  sanksi  yang  dijatuhkan.  ketentuan  ini  terdapat dalam ketentuan pasal 73 dan 76 UUJN.
Lewatnya  batas  waktu  pendaftaran  APHT  dapat  berakibat  kerugian munculnya gugatan  terhadap  PPAT,  dan  apabila  terjadi  gugatan  yang mengakibatkan disitanya obyek jaminan maka kreditor berisiko kehilangan hak preferennya karena Hak Tanggungan belum lahir.

KESIMPULAN DAN SARAN
Keterlambatan pendaftaran APHT tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT, sehingga setelah APHT tersebut didaftarkan tidak mempengaruhi proses lahirnya Hak Tanggungan dan keabsahan Hak Tanggungan, Hak Tanggungan  baru  akan  lahir  setelah  tujuh  hari  APHT  didaftarkan secara  lengkap  beserta  warkah-warkah  yang  dibutuhkan untuk pendaftaran, dibuktikan dengan terbitnya sertifikat Hak Tanggungan. Keterlambatan  pendaftaran  hanya  akan  menunda  lahirnya  Hak Tanggungan, namun tidak berpengaruh terhadap keabsahan APHT untuk proses pendaftaran Hak Tanggungan.
Walaupun hukum merupakan sistem yang teratur dan memiliki mekanisme mengatasi inkonsistensi, terdapat pula aspek ketidak teraturan hukum itu. Dengan demikian ketidak teraturan dapat terjadi pada sikap tindak yang tidak sesuai dengan hukum atau mereka merasa bertindak menurut hak dan kewajiban menurut presepsinya masing-masing seperti akibat hukum lewatnya batas waktu kewajiban mendaftarkan APHT oleh PPAT, dapat menimbulkan gugatan beserta sanksi terhadap PPAT itu sendiri, baik secara perdata maupun administratif, dan dapat menimbulkan kerugian bagi para pihak yang melakukan perjanjian khususnya pihak kreditor.

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Adjie, Habib, (2000), Hak  Tanggungan  Sebagai  Lembaga  Jaminan  Atas  Tanah, Mandar Maju, Bandung.
__________, (2000), Hukum Notaris Indonesia (Tafsir Tematik Terhadap UU No.30 Tahun  2004  Tentang  Jabatan  Notaris),  Refika  Aditama,  Bandung.
Badrulzaman dan Mariam Darus, (2004), Kompilasi Hukum Jaminan, Mandar Maju, Bandung.
Budiono,  Herlien, (2011), Ajaran  Umum  Hukum  Perjanjian  dan  Penerapannya  di Bidang Kenotariatan, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Chalik  dan  Marhainis  Abdulhay, (1982), Beberapa    Segi    Hukum    di    Bidang Perkreditan, Yayasan Pembinaan Keluarga, UPN Veteran, Jakarta.
Hadisoeprapto,  Hartono, (1984), Pokok-pokok    Hukum    Perikatan    dan    Hukum Jaminan, Liberty, Yogyakarta.
Hadjon,  M,  Philipus, (1996), Akta  PPAT  Bukan  Keputusan  Tata  Usaha  Negara, Media Notariat. Jakarta.
__________, (1997), Hukum Agraria Indonesia-Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria Isi dan Pelaksanaannya Jilid I Hukum Tanah Nasional, Djambatan, Jakarta.
Harahap, M. Yahya, (1982), Segi-segi Hukum Perjanjian, Alumni, Bandung.
Hermansyah, (2005), Hukum  Perbankan  Nasional  Indonesia, Prenada Media, Jakarta.
Mulyadi,  Kartini,  Gunawan  Widjaja, (2005), Seri   Hukum   Harta   Kekayaan,   Hak Tanggungan, Prenada Media, Jakarta.
Poesoko, Herowati, (2007), Parate  Executie  Obyek  Hak  Tanggungan  (Inkonsistensi, Konflik  Norma  dan  Kesesatan  Penalaran  Dalam  Uuht),   LaksBang PRESSindo, Yogyakarta.
Prodjodikoro,  Wirjono,  R., (1984), Perbuatan  Melanggar  Hukum,  Sumur  Bandung, Jakarta.
Rahman,  Hasanuddin, (1995), Aspek-aspek  Hukum  Pemberian  Kredit  Perbankan Indonesia   (Panduan   Dasar   :   Legal   Officer), Citra  Aditya  Bakti, Bandung.
Setiawan, Rachmat, (1982), Tinjauan Elementer Perbuatan melawan Hukum, Alumni Bandung, Bandung.
Sjahdeini, Remy, Sutan, (1996), Hak  Tanggungan: Asas-asas,  Ketentuan-ketentuan Pokok   dan Masalah-masalah   yang   Dihadapi   Oleh   Perbankan, Airlangga University Press, Surabaya.
Sutedi dan Adrian, (2010), Hukum Hak Tanggungan, Sinar Grafika, Jakarta.
__________, (1993), Kebebasan  Berkontrak  dan  Perlindungan  yang  Seimbang  Bagi Para  Pihak  dalam  Perjanjian  Kredit  Bank  Di  Indonesia, Institute Bankir Indonesia, Jakarta.
__________, (1999), Hak  Tanggungan,  Asas-asas,  Ketentuan-ketentuan  pokok  dan Masalah  yang Dihadapi oleh Perbankan (suatu Kajian Mengenai Undang-undang Hak Tanggungan), Alumni, Bandung.
Satrio,  J., (1997), Hukum Jaminan,  Hak  Jaminan  Kebendaan,  Hak  Tanggungan  : Buku I, Citra Aditya Bakti, Bandung.
__________, (1995), Hukum Perikatan, Perikatan yang lahir dari perjanjian, buku II, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Simatupang,  Burton,  Richard, (2007), Aspek  Hukum  Dalam  Bisinis,  Rineka  Cipta, Jakarta.

Jurnal
Amir Syarifuddin dan Indah Febriani, (2015), Sistem Hukum dan Teori Hukum Chaos, Hasanuddin Law Review, Vol 1: Hal 300.
Dian Pertiwi, (2013), Perlindungan Hukum Pemegang Hak Tanggungan Yang Obyeknya Dikuasai Pihak Ketiga Berdasarkan Perjanjian Sewa Menyewa, Calyptra: Jurnal Ilmiah Mahasiswa Universitas Surabaya, Vol 2: Hal 5
Peraturan Perundang-Undangan
Undang-undang  Nomor  7  tahun  1992  tentang  Perbankan  (LN  RI  Tahun  1992 Nomor 53, TLN RI Nomor 3481), Sebagaimana diubah dengan Undang-undang  Nomor  10  Tahun  1998 tentang  Perubahan  Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 Tentang Perbankan (LN RI Tahun 1998 Nomor 182, TLN RI Nomor 3790).
Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Beserta Benda-Benda yang Berkaitan Dengan Tanah (LN RI Tahun 1996 Nomor 42, TLN RI Nomor 3632).
Peraturan  Pemerintah  Nomor  37  Tahun  1998  tentang Peraturan  Jabatan  PPAT (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1998 Nomor 52).

Online
Wikipedia, (2014), Teori Hukum Murni, (online) https://id.wikipedia.org/wiki/Teori_Hukum_Murni, diakses 20 Desember 2015.

Recent Post

Trending Template

Pengikut