Jumat, 08 Januari 2016

MAKALAH KETENTUAN PENDAFTARAN HAK TANGGUNGAN



MAKALAH HUKUM JAMINAN
Dosen: Prof. Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum.

KETENTUAN PENDAFTARAN HAK TANGGUNGAN




Oleh:
SAFRI AWAL
(P3600215005)


Program Studi Kenotariatan
FAKULTAS HUKUM
Universitas Hasanuddin
MAKASSAR
2015
 


KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT atas segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai sebagai tanggung jawab saya sebagai mahasiswa yang turut serta mengikuti mata kuliah Hukum Jaminan yang dibimbing oleh dosen kami tercinta Prof.Dr. Farida Patittingi, S.H., M.Hum, dan tak lupa pula saya mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik berupa atau masukan.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat sedikit memberikan sumbangsih pengetahuan dan pengalaman bagi orang-orang yang sempat membacanya, dan kiranya untuk ke depan dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya tentu sadar bahwa masih banyak kekurangan  yang terdapat dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                                               Makassar, 27 Desember 2015



                                                                                                            Safri Awal
  

BAB 1
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Dengan bertambah meningkatnya pembangunan nasional yang bertitik berat pada bidang ekonomi, dibutuhkan penyediaan dana yang cukup besar, sehingga memerlukan lembaga hak jaminan yang kuat dan mampu memberi kepastian hukum bagi pihak-pihak yang berkepentingan, yang dapat mendorong peningkatan partisipasi masyarakat dalam pembangunan untuk mewujudkan masyarakat yang sejahtera, adil, dan makmur berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam rangka memelihara keseimbangan pembangunan tersebut yang para pelakunya meliputi baik pemerintah maupun masyarakat sebagai orang perseorangan dan badan hukum sangat diperlukan dana dalam jumlah besar maka penyediaan dana untuk pengembangan usaha tentu sangat dibutuhkan sehingga ketergantungan terhadap pinjaman kredit modal usaha menjadi sangat besar . 
Untuk  memperoleh  kredit  dari  bank, hal  yang  perlu  diperhatikan  adalah jaminan, karena jaminan merupakan syarat yang harus dipenuhi  dalam pemberian kredit.  Ada  beberapa  macam  jaminan  kebendaan  yang  dikenal  dalam hukum, antara  lain  Hak  Tanggungan. Pada  tanggal  9  April  Tahun  1996  Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah beserta Benda-Benda Yang Berkaitan Dengan Tanah (UUHT) diundangkan sebagai realisasi dari Pasal 51  Undang-Undang  Pokok  Agraria  Nomor  5  Tahun  1960  (UUPA).
Hak atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah yang sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok- Pokok Agraria berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah-tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan diutamakan kreditor lertentu terhadap kreditor-kreditor lainnya. Hak-hak atas tanah yang dapat dibebani Hak Tanggungan adalah Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan. Selain Hak Milik, Hak Guna Usaha, dan Hak Guna Bangunan, hak atas tanah berupa Hak Pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga dibebani Hak Tanggungan.
Pemberian Hak Tanggungan didahului dengan janji untuk memberikan Hak Tanggungan sebagai jaminan pelunasan utang tertentu, yang dituangkan di dalam perjanjian dan merupakan bagian tidak terpisahkan dari perjanjian utang-piutang yang bersangkutan atau perjanjian lainnya yang menimbulkan utang tersebut. Hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan. Pendaftaran tersebut dilakukan selambat-lambatnya 7 hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Namun pada prakteknya di masyarakat, sering kali terjadi ketidaksesuaian antara peraturan perundang- undangan dengan pelaksanaanya. Hak Tanggungan ada yang tidak didaftarkan di Kantor  Pertanahan. Hal ini menimbulkan permasalahan terhadap hak tanggungan tersebut. Selain itu juga sering kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan terlambat dari jangka waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang Hak Tanggungan.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.    Apa akibat hukum jika hak tanggungan terlambat didaftarkan?
2.    Apa akibat hukum jika hak tanggungan tidak didaftarkan?



BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA


A.  Pengertian Hak Tanggungan
Pengertian Hak Tanggungan diatur dalam Pasal 1 angka 1 UUHT yang berbunyi: “Hak Tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana  dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain”
B.  Subyek Hak Tanggungan
Adapun yang menjadi subek hak tanggungan pada praktek pelaksanaannya dalam masyarakat yaitu:
1.      Pemberi Hak Tanggungan
Berdasarkan pasal 8 Ayat (1) Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan “pemberi Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan”.
Berdasarkan Pasal 8 tersebut, maka Pemberi Hak Tanggungan di sini adalah pihak yang berutang atau debitor. Namun, subyek hukum lain dapat pula dimungkinkan untuk menjamin pelunasan utang debitor dengan syarat Pemberi Hak Tanggungan mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek Hak Tanggungan.
Kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan tersebut harus ada pada pemberi hak tanggungan  pada saat pendaftaran hak tanggungan dilakukan, karena lahirnya hak tanggungan adalah pada saat didaftarkannya hak tanggungan, maka kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungan diharuskan ada pada pemberi hak tanggungan pada saat pembuatan buku tanah hak tanggungan.[1]
Dengan demikian, pemberi hak tanggungan tidak harus orang yang berutang atau debitor, akan tetapi bisa subyek hukum lain yang mempunyai kewenangan untuk melakukan perbuatan hukum terhadap obyek hak tanggungannya. Misalnya pemegang hak atas tanah yang dijadikan jaminan, pemilik bangunan, tanaman dan/hasil karya yang ikut dibebani hak tanggungan.
2.      Penerima Hak Tanggungan
Menurut pasal 9 Ayat (1) Undang-Undang No 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan “Pemegang Hak Tanggungan adalah orang perseorangan atau badan hukum yang berkedudukan sebagai pihak yang berpiutang”.
Sebagai pihak yang berpiutang di sini dapat berupa lembaga keuangan berupa bank, lembaga keuangan bukan bank, badan hukum lainnya atau perseorangan.
Oleh karena hak tanggungan sebagai lembaga jaminan hak atas tanah tidak mengandung kewenangan untuk menguasai secara fisik dan menggunakan tanah yang dijadikan jaminan, maka tanah tetap berada dalam penguasaan pemberi hak tanggungan. Kecuali dalam keadaan yang disebut dalam Pasal 11 ayat (2) huruf c Undang-undang Hak Tanggungan. Maka pemegang hak tanggungan dapat dilakukan oleh Warga Negara Indonesia atau badan hukum Indonesia dan dapat juga oleh warga negara asing atau badan hukum asing.

C.  Obyek Hak Tanggungan
Adapun yang dapat dijadikan obyek hak tanggungan yakni adalah terhadap benda-benda (tanah), maka harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
1.      Dapat dinilai dengan uang, karena hutang yang dijamin berupa uang.
2.      Termasuk hak yang didaftar dalam daftar umum, karena harus memenuhi syarat publisitas.
3.      Mempunyai sifat dapat dipindah tangankan, karena apabila debitur cidera janji, benda yang dijadikan jaminan akan dapat dijual di muka umum.
4.      Perlu ditunjuk oleh Undang-undang sebagai hak yang dapat dibebani dengan Hak Tanggungan.[2]
Berkaitan dengan hal tersebut, Pasal 4 UUHT telah menentukan hak atas tanah yang dapat dijadikan objek Hak Tanggungan, yaitu meliputi:
1.      Hak Milik, Hak Guna Bangunan, dan Hak Guna Usaha sebagaimana  dimaksud dalam UUPA (Pasal 4 ayat (1) UUHT).
2.      Hak Pakai atas Tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindah tangankan. Terhadap hak pakai atas tanah negara, yang walaupun wajib didaftarkan, tetapi karena sifatnya tidak dapat dipindah tangankan, maka hak pakai tersebut tidak termasuk dalam objek Hak Tanggungan.
3.      Hak atas tanah berikut bangunan (baik yang berada di atas maupun di bawah tanah), tanaman dan hasil karya yang telah ada atau akan ada, yamg merupakan satu kesatuan dengan tanah tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut, dan yang merupakan milik pemegang hak atas tanah. Pembebanan Hak Tanggungan atas bangunan, tanaman dan hasil karya tersebut diatas harus dinyatakan dengan tegas di dalam APHT (Pasal 4 ayat (4) UUHT). Apabila bangunan, tanaman, dan hasil karya sebagaimana disebut diatas tidak dimiliki oleh pemegang hak atas tanah, pembebanan Hak Tanggungan atas benda-benda tersebut hanya dilakukan dengan penandatanganan serta (bersama) pada APHT yang bersangkutan oleh pemiliknya atau yang diberi kuasa oleh pemilik benda-benda tersebut untuk menandatangani serta (bersama) APHT dengan akta otentik. Yang dimaksud akta otentik di sini adalah Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan (SKMHT) atas benda-benda di atas tanah tersebut yang dibebani Hak Tanggungan (Pasal 4 ayat (5) UUHT).[3]

D.  Asas-Asas Hak Tanggungan
Hak Tanggungan sebagi satu-satunya lembaga hak jaminan atas tanah untuk pelunasan utang tertentu mempunyai empat asas, yaitu sebagai berikut :
1.    Memberikan kedudukan yang diutamakan (preferent) kepada krediturnya atau Droit de preference. Hal ini berarti bahwa kreditur pemegang Hak Tanggungan mempunyai hak untuk didahulukan di dalam mendapatkan pelunasan atas piutangnya daripada kreditur-kreditur lainnya atas hasil penjualan benda yang dibebani Hak Tanggungan tersebut .
2.    Selalu mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada atau Droit de suite, Artinya benda-benda yang dijadikan objek Hak Tanggungan itu tetap terbeban Hak Tanggungan walau di tangan siapapun benda itu berada. Jadi meskipun hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan tersebut telah beralih atau berpindah-pindah kepada orang lain, namun Hak Tanggungan yang ada tetap melekat pada objek tersebut dan tetap mempunyai kekuatan mengikat .
3.    Memenuhi asas spesialitas dan publisitas, artinya Asas spesialitas maksudnya benda yang dibebani Hak Tanggungan itu harus ditunjuk secara khusus. Dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan harus disebutkan secara jelas mengenai benda yang dibebani itu berupa apa, di mana letaknya, berapa luasnya, apa batas-batasnya, dan apa bukti pemiliknya. Adapun asas publisitas artinya, hal pembebanan Hak Tanggungan tersebut harus dapat diketahui oleh umum, untuk itu terhadap Akta Pembebanan hak Tanggungan harus didaftarkan.
4.    Mudah dan pasti pelaksanaan eksekusinya, artinya dapat dieksekusi seperti putusan hakim yang telah berkekuatan hukum tetap dan pasti.
5.    Tidak dapat dibagi-bagi, kecuali jika diperjanjikan di dalam Akta Pembebanan Hak Tanggungan. Artinya, bahwa suatu Hak Tanggungan membebani secara utuh benda yang menjadi objeknya dan setiap bagian daripadanya. Oleh karena itu, apabila sebagian dari utang dibayar, pembayaran tersebut tidak lantas melunasi utang seluruhnya. 
E.  Syarat Sahnya Pemberian Hak Tanggungan
Adapun ketentuan mengenai persyaratan untuk pemberian hak tanggungan yakni sebagai berikut:
1.      Menenuhi Asas Spesialitas
Salah satu syarat sahnya pemberian Hak Tanggungan adalah wajib mencantumkan hal-hal yang disebut dalam Pasal 11 ayat (1) UUHT seperti telah disinggung sebelumnya agar asas spesialitas terpenuhi, yaitu:
a.    Nama, dan identitas pemegang dan pemberi Hak Tanggungan.
b.    Domisili para pihak, dan apabila diantara mereka ada yang berdomisili di luar Indonesia, maka harus pula dicantumkan suatu domisili pilihan Indonesia, dan dalam hal domisili pilihan tersebut tidak di cantumkan, maka kantor PPAT tempat pembuatan APHT dianggap sebagai yang dipilih.
c.    Penunjukkan secara jelas hutang atau hutang-hutang yang dijamin sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 dan Pasal 10 ayat (1).
d.   Nilai tanggungan.
e.    Uraian yang jelas mengenai objek Hak Tanggungan.[4]
2.    Memenuhi asas Publisitas
Disamping asas spesialitas, juga wajib memenuhi syarat asas publisitas yang menurut ketentuan Pasal 13 ayat (1) UUHT, pemberian Hak Tanggungan wajib di daftarkn pada Kantor Pertanahan. kemudian selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan APHT sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10 ayat (2), PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan (Pasal 13 (2)). Selanjutnya pendaftaran Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) UUHT dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan cara (ayat 3):
f.     Membuatkan buku tanah Hak Tanggungan.
g.    Mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi objek Hak Tanggungan.
h.    Menyalin catatan tersebut pada sertifikat ha katas tanah yang bersangkutan.
Tanggal buku tanah Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud pada ayat (3) tersebut adalahtanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika di hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku tanah yang bersangkutan diberi bertanggal harikerja berikutnya. Pendaftaran pada tanggal buku tanah Hak Tanggungan merupakan saat lahirnya Hak Tanggungan.
Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat Hak Tanggungan yang memuat irah-irah “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Artinya sertifikat Hak Tanggungan tersebut mempunyai kekuatan ekskutorial yang sama dengan Putusan Pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap memperoleh keekuatan hukum tetap dan berlaku sebagai pengganti “grosse akta” Hypotheek sepanjang mengenai ha katas tanah (Pasal 14 UUHT).
Pada dasarnya, pembebanan Hak Tanggungan wajib dilakukan sendiri oleh pemberi Hak Tanggungan dihadapan Notaris atau PPAT. Jika pemberi Hak Tanggungan berhalangan atau tidak dapat hadir sendiri, maka ia dapat mempergunakan jasa seorang kuasa. Untuk keperluan tersebut agar sifatnya otentik, dibuatkanlah sebuah “Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan” (SKMHT) dihadapan Notaris atau PPAT.[5]

F.   Eksekusi Hak Tanggungan
Salah satu ciri dari Hak Tanggungan adalah mudah dan pasti dalam  pelaksanaan eksekusinya apabila dikemudian hari debitur wanprestasi. Eksekusi Hak Tanggungan yaitu terjadi apabila debitur cidera janji sehingga objek Hak Tanggungan kemudian dijual melalui pelelangan umum menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku dan pemegang Hak Tanggungan berhak mengambil seluruh atau sebagian dari hasilnya untuk pelunasan piutangnya dengan hak mendahului daripada kreditur-kreditur lain.[6]
Sedangkan Menurut Pasal 20 ayat (1) UUHT, eksekusi Hak Tanggungan dilakukan berdasarkan:
1.      Hak pemegang Hak Tanggungan pertama untuk menjual objek Hak Tanggungan atas dasar kewenangan dan janji yang disebut dalam Pasal 6 UUHT;
2.      Titel eksekutorial yang terdapat dalam sertifikat Hak Tanggungan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 14 ayat (2) UUHT.
Berdasarkan Pasal 6 UUHT disebutkan bahwa apabila debitur cidera janji, pemegang Hak Tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek Hak Tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut. Penjualan objek Hak Tanggungan dapat juga dilakukan di bawah tangan asalkan atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan.
Penjualan barang secara prosedural ini dimungkinkan dapat diperoleh harga yang tertinggi sehingga menguntungkan semua pihak. Hal ini dilakukan setelah lewat 1 (satu) bulan sejak diberitahukan secara tertulis oleh pemberi atau pemegang Hak Tanggungan kepada pihak-pihak yang berkepentingan dan diumumkan dalam 2 (dua) surat kabar yang beredar di daerah yang bersangkutan atau media masa setempat, serta tidak ada pernyataan keberatan (Pasal 22 ayat (2) dan (3) UUHT).
Eksekusi Hak Tanggungan dengan titel eksekutorial dapat dilakukan karena berdasarkan Pasal 14 ayat (2) UUHT, sertifikat Hak Tanggungan sebagai tanda atau alat bukti adanya Hak Tanggungan yang memuat irah-irah yang berbunyi “DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Dengan irah-irah tersebut, sertifikat Hak Tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap.
Dari uraian tersebut di atas dapat disimpulkan bahwa pelaksanaan eksekusi objek Hak Tanggungan dapat dilakukan melalui 3 (tiga) cara, yaitu:
1.      Parate Eksekusi (Pasal 14 ayat (2) UUHT)
Dalam hal ini kreditur pemegang Hak Tanggungan harus menunjukkan bukti bahwa debitur ingkar janji dalam memenuhi kewajibannya dan dengan menyerahkan sertifikat Hak Tanggungan yang bersangkutan sebagai dasarnya. Permohonan eksekusi ini diajukan kepada Ketua Pengadilan Negeri. Eksekusi kemudian dilakukan atas dasar perintah dan dengan Pimpinan Ketua Pengadilan Negeri tersebut, melalui pelelangan umum yang dilakukan oleh Kantor Lelang Negara.
2.      Pelelangan Umum (Pasal 6 UUHT)
Pelaksanaan pelelangan umum berdasarkan pada Pasal 6 UUHT ini lebih mudah daripada “Parate Eksekusi”, karena dalam pelelangan ini tidak diperlukan perintah Ketua Pengadilan Negeri untuk melakukan penjualan terhadap objek Hak Tanggungan yang bersangkutan. Pelelangan ini langsung dapat dilakukan karena dimilikinya kekuatan eksekutorial yang termuat pada irah-irah sertfikat Hak Tanggungan tersebut, sehingga dalam hal ini kreditur pemegang Hak Tanggungan langsung dapat mengajukan permintaan penjualan objek Hak Tanggungan yang bersangkutan kepada Kantor Lelang Negara.
3.      Penjualan di Bawah Tangan (Pasal 6 UUHT)
Dalam keadaan tertentu apabila melalui pelelangan umum diperkirakan tidak akan menghasilkan harga tertinggi, maka atas kesepakatan pemberi dan pemegang Hak Tanggungan, dimungkinkan eksekusi dilakukan dengan cara penjualan di bawah tangan, jika dengan cara demikian itu akan dapat diperoleh harga tertinggi yang menguntungkan semua pihak. Penjualan di bawah tangan terhadap objek Hak Tanggungan ini wajib dilakukan menurut ketentuan PP No. 14 Tahun 1997 tentang pendaftaran tanah, yaitu harus dilakukan dihadapan PPAT yang membuat aktanya dan diikuti dengan pendaftarannya di Kantor Pertanah

G. Proses Pemberian Hak Tanggungan
Secara umum prosedur pemberian kredit dengan jaminan Hak Tanggungan yang diajukan calon debitur kepada kreditur, yang dalam hal ini adalah pihak bank yaitu dengan melalui tahap sebagai berikut:
1.      Calon debitur mengajukan permohonan kredit dan menyerahkan berkas-berkas yang diperlukan  dan telah ditentukan pihak bank dalam pengajuan kredit.
2.      Calon debitur mengisi formulir permohonan kredit yang telah disediakan oleh pihak bank. Setelah formulir diisi dengan lengkap dan benar, formulir tersebut kemudian diserahkan kembali kepada bank.
3.      Pihak bank kemudian melakukan analisis dan evaluasi kredit atas dasar data yang tercantum dalam formulir permohonan kredit tersebut. Tujuan analisis ini adalah untuk memastikan kebenaran data dan informasi yang diberikan dalam permohonan kredit. Selain itu, hasil analisis dan evaluasi kredit ini digunakan sebagai dasar pertimbangan akan diterima atau ditolaknya permohonan kredit tersebut..
4.      Apabila terhadap hasil analisis dan evaluasi kredit calon debitur dinyatakan layak oleh pihak bank untuk memperoleh kredit, maka kemudian dilakukan negosiasi antara kedua belah pihak, yaitu pihak bank dan calon debitur. Negosiasi kredit ini antara lain mengenai maksimal kredit yang akan diberikan, keperluan kredit, jangka waktu kredit, biaya administrasi, denda, bunga dan sebagainya.
5.      Apabila telah terjadi kesepakatan antara kedua belah pihak maka dilakukan penandatanganan perjanjian kredit yang berupa surat pengakuan hutang dengan pengikatan jaminan, dalam hal ini berupa jaminan Hak Tanggungan, dihadapan PPAT dan pejabat bank;
6.      Setelah dilakukan pengikatan jaminan Hak Tanggungan dan PPAT telah memberikan keterangan bahwa calon debitur dinyatakan telah memenuhi persyaratan, baru kemudian bank merealisasikan kredit kepada calon debitur.[7]

BAB 3
PEMBAHASAN

A.  Akibat Hukum Hak Tanggungan Yang Terlambat Didaftarkan
Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan menegaskan bahwa pemberian Hak Tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan Akta Pemberian Hak Tanggungan. PPAT wajib mengirimkan Akta Pemberian Hak Tanggungan yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan kepada Kantor Pertanahan. Pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuatkan buku-tanah Hak Tanggungan dan mencatatnya dalam buku-tanah hak atas tanah yang menjadi obyek Hak Tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertipikat hak atas tanah yang bersangkutan. Tanggal buku-tanah Hak Tanggungan adalah tanggal hari ketujuh setelah penerimaan secara lengkap surat-surat yang diperlukan bagi pendaftarannya dan jika hari ketujuh itu jatuh pada hari libur, buku-tanah yang bersangkutan diberi bertanggal hari kerja berikutnya. Hak Tanggungan lahir pada hari tanggal buku-tanah Hak Tanggungan. Sebagai tanda bukti adanya Hak Tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertipikat Hak Tanggungan sesuai dengan peraturan per- undang-undangan yang berlaku.
Undang-Undang Hak Tanggungan memberi batasan pendaftaran Hak Tanggungan yaitu selama 7 hari setelah penandatangan Akta Pemberian Hak Tanggungan. Pendaftaran ini wajib dilaksanakan oleh PPAT. Setelah didaftarkan maka akan keluar Sertifikat Hak Tanggungan. Namun pada kenyataannya sering kali pendaftaran Hak Tanggungan dilakukan melebihi waktu yang ditentukan, yaitu melewati jangka waktu 7 hari yang ditentukan undang – undang. Seharusnya pendaftaran hak tanggungan tersebut ditolak oleh petugas Kantor Pertanahan. Namun dari sumber yang kami temukan, keterlambatan pendaftaran Hak Tanggungan tidak selalu menjadi penghalang dalam melakukan pendaftaran Hak Tanggungan. Dalam Tesis yang dibuat oleh Mahasiswa Program Magister Kenotariatan di Universitas Diponegoro, keterlambatan pendaftaran Hak Tanggungan yang terjadi di Kantor Pertanahan Kabupaten Tegal tidak menjadi persoalan. Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak Tanggungan. Bagi pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya diberikan sanksi administratif berupa teguran lisan atau teguran tertulis. Begitu pula pada Kantor Pertanahan Kabupaten Bogor. Berdasarkan skripsi dari mahasiswa fakultas hukum Universitas Indonesia, ditemukan bahwa keterlambatan pendaftaran hak tanggungan ke Kantor Pertanahan di Kabupaten Bogor tidak menjadi penghalang bagi proses pendaftaran suatu hak tanggungan. Sanksi yang diberikan oleh Kantor Pertanahan terhadap pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanyalah berupa sanksi administratif yaitu berupa teguran lisan atau tertulis.
Sehingga dapat disimpulkan meskipun peraturan perundang – undangan memberi batasan bahwa pendaftaran hak tanggungan hanya dapat dilakukan dalam jangka waktu 7 hari, namun terdapat perbedaan dalam prakteknya. Pendaftaran hak tanggungan tetap diproses oleh Kantor Pertanahan meskipun terjadi keterlambatan pendaftaran.  

B.  Akibat Hukum Hak Tanggungan Yang Tidak Didaftarkan
Tahap pemberian hak tanggungan didahului dengan janji akan memberikan hak tanggungan. Menurut Pasal 10 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan, janji tersebut wajib dituangkan dan merupakan bagian yang tidak dapat dipisahkan dari perjanjian utang piutang. Proses pembebanan Hak Tanggungan dilaksanakan melalui dua tahap kegiatan, yaitu:
1.      Tahap Pemberian Hak Tanggungan
Menurut Pasal 10 Ayat (2) Undang-undang Hak tanggungan, pemberian hak  tanggungan dengan pembuatan Akta Pemberian Hak Tanggungan (APHT) oleh PPAT sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Pejabat Pembuat Akta Tanah (PPAT) adalah pejabat umum yang berwenang membuat akta pemindahan hak atas tanah dan akta lain dalam rangka pembebanan hak atas tanah, sebagai bukti perbuatan hukum tertentu mengenai tanah yang terletak dalam daerah kerjanya masing-masing.

2.      Tahap Pendaftaran Hak Tanggungan
Menurut Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya tujuh (7) hari kerja setelah penandatanganan APHT PPAT wajib mengirimkan APHT yang bersangkutan dan warkah lain yang diperlukan. Warkah yang dimaksud meliputi surat-surat bukti yang berkaitan dengan obyek hak tanggungan dan identitas pihak-pihak yang bersangkutan, termasuk di dalamnya sertifikat hak atas tanah dan/atau surat-surat keterangan mengenai obyek hak tanggungan. PPAT wajib melaksanakan hal tersebut karena jabatannya dan sanksi atas pelanggaran hal tersebut akan ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang jabatan PPAT.
Pendaftaran hak tanggungan dilakukan oleh Kantor Pertanahan dengan membuat buku tanah hak tanggungan dan mencatatnya dalam buku tanah hak atas tanah yang menjadi obyek hak tanggungan serta menyalin catatan tersebut pada sertifikat hak atas tanah yang bersangkutan.
Dalam Pasal 14 Ayat (1) Undang-Undang Hak Tanggungan dijelaskan bahwa sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Hal ini berarti sertifikat hak tanggungan merupakan bukti adanya hak tanggungan. Oleh karena itu maka sertifikat hak tanggungan dapat membuktikan sesuatu yang pada saat pembuatannya sudah ada atau dengan kata lain yang menjadi patokan pokok adalah tanggal pendaftaran atau pencatatannya dalam buku tanah hak tanggungan.
Sertifikat Hak Tanggungan memuat irah-irah dengan kata-kata "DEMI KEADILAN BERDASARKAN KETUHANAN YANG YAHA ESA"; dengan demikian sertifikat hak tanggungan mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap melalui tata cara dan menggunakan lembaga parate eksekusi sesuai dengan peraturan Hukum Acara Perdata Indonesia.
Apabila diperjanjikan lain, maka sertitikat hak atas tanah yang telah dibubuhi catatan pembebanan hak tanggungan dikembalikan kepada pemegang hak atas tanah yang bersangkutan dan untuk sertifikat hak tanggungan diserahkan kepada pemegang hak tanggungan.
Dari penjelasan di atas dapat diketahui bahwa hak tanggungan haruslah didaftarkan kepada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya dalam jangka waktu 7 hari. Pendaftaran Hak Tanggung kepada Kantor Pertanahan merupakan saat lahirnya suatu hak tanggungan dan merupakan salah satu asas dari Hak Tanggungan. Dengan tidak didaftarkan hak tanggungan maka perjanjian yang dibuat para pihak tetaplah berlaku. Namun tidak memenuhi unsur dari hak tanggungan. Sehingga kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki hak sebagai kreditur preferen sebagaimana kreditur hak tanggungan.
Jika tidak didaftarkan maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari adanya hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan memiliki kekuatan eksekutorial karena memuat irah-irah “Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Sertifikat yang memiliki irah-irah ini mempunyai kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang memiliki kekuatan hukum yang tetap. Sehingga dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak-hak kepada kreditur seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, dan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap.
Sehingga suatu hak tanggungan yang tidak didaftarkan tidak memenuhi syarat dan asas dari hak tanggungan. Kreditur dari hak tanggungan tidak memiliki kedudukan sebagai kreditur yang preferen melainkan sama seperti kedudukan kreditur konkuren. Selain itu dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan maka tidak terdapat sertifikat hak tanggungan yang memberikan hak parate executie dan dapat menjadi bukti di pengadilan.


BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa Hak Tanggungan wajib didaftarkan ke Kantor Pertanahan, hal ini diatur dalam Pasal 13 Undang-Undang Hak Tanggungan, bahwa pemberian hak tanggungan wajib didaftarkan pada Kantor Pertanahan selambat-lambatnya 7 (tujuh) hari kerja setelah penandatanganan akta pemeberian hak tanggungan, PPAT wajib mengirimkan akta tersebut dan warkah lain yang diperlukan. Sebagai bukti adanya hak tanggungan, Kantor Pertanahan menerbitkan sertifikat hak tanggungan. Apabila hak tanggungan tersebut terlambat didaftarkan, bukan suatu persoalan penting karena Kantor Pertanahan tetap memproses pendaftaran Hak Tanggungan. Bagi pihak yang terlambat mendaftarkan hak tanggungan hanya diberikan sanksi administratif berupa teguran lisan atau teguran tertulis sebagai akibat dari keterlambatan tersebut.
Namun berbeda apabila hak tanggungan tersebut tidak didaftarkan. Jika hak tanggungan tidak didaftarkan, maka hak tanggungan tidak akan mendapatkan sertifikat hak tanggungan. Sertifikat hak tanggungan dikeluarkan oleh Kantor Pertanahan Nasional. Sertifikat hak tanggungan menurut Pasal 14 Undang-Undang Hak Tanggungan merupakan bukti dari adanya hak tanggungan. Dengan tidak didaftarkannya hak tanggungan kepada Kantor Pertanahan maka hak tanggungan tidak memiliki sertifikat hak tanggungan yang didalamnya memberikan hak-hak kepada kreditur seperti sertifikat hak tanggungan dapat dijadikan barang bukti di pengadilan, dan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang telah memiliki kekuatan hukum yang tetap sehingga dapat dilakukan parate eksekusi.

B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari makalah ini yakni bahwa sebaiknya pendaftaran hak tanggungan seharusnya dilakukan tepat waktu, yakni paling lambat 7 (Tujuh) hari kerja setelah penandatanganan akta pemberian hak tanggungan. 



DAFTAR PUSTAKA

Buku
Boedi Harsono, (1999), Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembenukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan, Jakarta.
Habib Ajie, (2000), Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Mandar Maju, Bandung.
Purwahid Patrik, (1986), Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Badan Penerbit UNDIP, Semarang.
Satrio, (2002), Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Subekti, (1996), Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit, Termasuk Hak Tanggungan, Menurut Hukum Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung.
Thomas Suyatno, (1993), Dasar-Dasar Hukum Perkreditan, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta.

Peraturan Perundang-undangan
Undang-undang Nomor 4 Tahun 1996 Tentang Hak Tanggungan



[1] Purwahid Patrik, Asas-asas Itikad Baik dan Kepatutan Dalam Perjanjian, Semarang, Badan Penerbit UNDIP, 1986, Hal. 62
[2] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembenukan UUPA, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 1999, Hal. 40
[3]Subekti, Jaminan-Jaminan Untuk Pemberian Kredit, Termasuk Hak Tanggungan, Menurut Hukum Indonesia, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1996, Hal. 39
[4] Satrio, Hukum Jaminan, Hak Jaminan Kebendaan, Hak Tanggungan. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2002. Hal. 43
[5] Ibid
[6] Habib Ajie, Hak Tanggungan Sebagai Lembaga Jaminan Atas Tanah, Bandung, Mandar Maju, 2000, Hal. 22
[7] Thomas Suyatno, Dasar-Dasar Hukum Perkreditan, Jakarta, Gramedia Pustaka Utama, 1993, Hal. 32

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Trending Template

Pengikut