Jumat, 08 Januari 2016

MAKALAH KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB RUPS



MAKALAH HUKUM PERUSAHAAN

KELOMPOK 2
TOPIK: KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB RUPS

KEWENANGAN DAN TANGGUNG JAWAB RUPS PADA PERSEROAN TERBATAS




Oleh:
SAFRI AWAL
(P3600215005)

Program Studi Kenotariatan
FAKULTAS HUKUM
Universitas Hasanuddin
MAKASSAR
2015

 

KATA PENGANTAR

Puji syukur kita panjatkan kehadirat Allah SWT atas segala rahmat dan hidayahnya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai sebagai tanggung jawab saya sebagai mahasiswa yang turut serta mengikuti mata kuliah Hukum Perusahaan yang dibimbing oleh dosen kami tercinta.Dr. Oky Deviany Burhamzah, S.H., M.H, dan tak lupa pula saya mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik berupa saran atau masukan.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat sedikit memberikan sumbangsih pengetahuan dan pengalaman bagi orang-orang yang sempat membacanya, dan kiranya untuk kedepan dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya tentu sadar bahwa masih banyak kekurangan  yang terdapat dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                                      Makassar, 27 Desember 2015


                                                                                                       Safri Awal.. 





BAB 1
PENDAHULUAN

A.  Latar Belakang
Dewasa ini perusahaan merupakan salah satu sendi utama dalam kehidupan masyarakat modern, hal ini disebabkan perusahaan merupakan salah satu pusat kegiatan manusia untuk memenuhi kebutuhan kehidupan sehari-hari. Bagi Negara, keberadaan sebuah perusahaan tidak dapat dipandang sebelah mata, karena memberikan kontribusi yang sangat besar sebagai sumber pendapatan Negara, utamanya dari sektor pajak dan disektor lain keberadaan suatu perusahaan merupakan sarana untuk menampung tenaga kerja.
Kontribusi perusahaan bagi bangsa Indonesia utamanya bagi masyarakat pencari kerja tentu sangat penting, dimana perusahaan dapat menampung dan mempekerjakan putra-putri bangsa untuk keberlangsungan kehidupan dan demi mewujudkan kesejahteraan masyarakat Indonesia. Adapun bentuk perusahaan yang diyakini sebagai salah satu pilar pendorong kemajuan kesejahteraan Bangsa Indonesia yaitu badan usaha berbadan hukum yang salah satu jenisnya adalah Perseroan Terbatas (PT).
Sri Redjeki Hartono memberikan pengertian perseoan terbatas adalah sebuah persekutuan untuk menjalankan perusahaan tertentu dengan menggunakan suatu modal dasar yang dibagi dalam sejumlah saham atau sero tertentu, masing-masing berisikan jumlah uang tertentu pula ialah jumlah nominal, sebagai ditetapkan dalam akta notaris pendirian perseroan terbatas, akta mana wajib dimintakan pengesahannya oleh Menteri Kehakiman, sedangkan untuk jadi sekutu diwajibkan menempatkan penuh dan menyetor jumlah nominal dari sehelai saham atau lebih.[1]
Sedangkan menurut pasal 1 ayat (1) Undang-undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas menjelaskan bahwa “Perseroan Terbatas, yang selanjutnya disebut Perseroan, adalah badan hukum yang merupakan persekutuan modal, didirikan berdasarkan perjanjian, melakukan kegiatan usaha dengan modal dasar yang seluruhnya terbagi dalam saham dan memenuhi persyaratan yang ditetapkan dalam Undang-Undang ini serta peraturan pelaksanaannya”.
Keberlangsungan usaha ataupun keberhasilan sebuah PT tentu tidak lepas dari usaha-usaha yang dilakukan oleh para pemangku kepentingan didalamnya, dimana keseluruhan bagian dari PT tersebut bekerja secara maksimal dengan tujuan untuk tercapainya visi dan misi dari sebuah PT, dalam hai ini tentu peranan organ-organ yang ada didalam sebuah PT sangat berpengaruh, adapun organ-organ yang terdapat dalam sebuah PT yakni diantaranya adalah Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS), Direksi dan Dewan Komisaris. Peranan ketiganya tentu sangat vital seperti RUPS yang dianggap sebagai penentu kebijakan yang akan menentukan langkah-langkah atau tindakan-tindakan yang akan dilakukan sebuah PT dan tentu diyakini sebagai penentu berhasil atau tidaknya sebuah PT.

B.  Rumusan Masalah
Berdasarkan pemaparan latar belakang diatas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.  Apa pengertian RUPS?
2.  Sejauh mana kewenangan sebuah RUPS?
3.  Seperti apa tanggung jawab sebuah RUPS?


BAB 2
PEMBAHASAN

A.  Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Pasal 1 angka 4 UUPT No. 40 Tahun 2007 menjelaskan yang dimaksud dengan RUPS adalah organ perseroan yang mempunyai wewenang yang tidak diberikan kepada Direksi atau Dewan Komisaris dalam batas yang ditentukan undang-undang ini dan/atau Anggaran Dasar.
Menurut Abdulkadir Muhammad, wewenang eksklusif RUPS yang ditetapkan dalam UUPT tidak dapat ditiadakan selama tidak ada perubahan undang-undang, sedangkan wewenang eksklusif dalam anggaran dasar semata-mata berdasarkan kehendak RUPS yang disahkan dan disetujui Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang dapat diubah melalui perubahan anggaran dasar sepanjang tidak bertentangan dengan ketentuan undang-undang.[2]
RUPS memutuskan hal-hal penting mengenai kebijakan suatu perseroan yang tidak terbatas pada pengangkatan atau pemberhentian komisaris dan direksi saja. Wewenang RUPS tersebut terwujud dalam bentuk jumlah suara yang dikeluarkan dalam setiap rapat. Hak suara dalam RUPS dapat digunakan untuk berbagai maksud dan tujuan seperti, rencana penjualan aset dan pemberian jaminan utang, menyetujui laporan keuangan yang disampaikan oleh direksi, pertanggungjawaban direksi, rencana penggabungan, peleburan, pengambilalihan dan rencana pembubaran perseroan.[3]
B. Kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Kewenangan Rapat Umum Pemegang Saham Menurut UUPT No. 40 Tahun 2007, adalah sebagai berikut:
1.    Menyetujui perbuatan hukum yang dilakukan calon pendiri untuk kepentingan perseroan yang belum didirikan sehingga perbuatan hukum calon pendiri tersebut mengikat perseroan setelah perseroan menjadi badan hukum (Pasal 13 ayat (1) UUPT).
2.    Menyetujui perbuatan hukum yang dilakukan pendiri setelah pendirian PT namun sebelum PT memperoleh status badan hukum (Pasal 14 UUPT).
3.    Menyetujui usulan perubahan anggaran dasar perseroan (Pasal 19-28 UUPT).
4.    Menyetujui penyetoran saham dalam bentuk benda tidak bergerak (Pasal 34 ayat (3) UUPT).
5.    Menyetujui hak tagih pemegang saham atau kreditor terhadap perseroan sebagai kompensasi penyetoran saham dalam permodalan perseroan (Pasal 35 UUPT).
6.    Menyetujui maksud Perseroan untuk membeli kembali saham (buyback) yang telah dikeluarkan (Pasal 38 UUPT).
7.    Menyerahkan kewenangan untuk memberikan persetujuan atas maksud perseroan untuk membeli saham (buyback) yang telah dikeluarkan kepada Dewan Komisaris (Pasal 39 UUPT).
8.    Menyetujui penambahan modal perseroan yaitu modal dasar, modal ditimpatkan dan modal disetor (Pasal 41 ayat (1) UUPT).
9.    Menyerahkan kewenangan untuk memberikan persetujuan pelaksanaan keputusan RUPS tentang penambahan modal perseroan kepada Dewan Komisaris (Pasal 41 ayat (2) UUPT).
10. Menyetujui pengurangan modal perseroan, yaitu modal dasar, modal ditempatkan, dan modal disetor (Pasal 44 ayat (1) UUPT).
11. Menyetujui pemindahan hak atas saham apabila disyaratkan oleh anggaran dasar perseroan (Pasal 57 ayat (1) huruf b UUPT).
12. Menyetujui rencana kerja tahunan yang disusun direksi apabila disyartkan oleh anggaran dasar perseroan (Pasal 64 ayat (2) dan (3) UUPT).
13. Menolak untuk mengesahkan laporan keuangan perseroan yang termasuk dalam kualifikasi: perseroan yang bergerak di bidang pegerahan dana masyarakat atau perseroan yang mengeluarkan surat pengakuan utang atau perseroan yang merupakan perseroan terbuka atau perseroan merupakan persero atau perseroan yang mempunyai aset dan/atau jumlah peredaran usaha paling sedikit Rp. 50.000.000.000,00 (Lima Puluh Milliar Rupiah) atau perseroan yang laporan keuangannya wajib diaudit akuntan publik sebagaimana diisyaratkan oleh peraturan perundang-undangan, yang mana direksi perseroan tersebut ternyata tidak menyerahkan laporan keuangan perseroan tersebut kepada akuntan publik untuk diaudit (Pasal 68 ayat (1) dan (2) UUPT).
14. Menyetujui laporan tahunan perseroan dan mengesahkan perhitungan tahunan perseroan (Pasal 69 ayat (1) UUPT).
15. Menyetujui penggunaan laba bersih termasuk penentuan jumlah penyisihan untuk cadangan (Pasal 71 ayat (1) UUPT).
16. Mengatur tata cara pengambilan deviden yang telah dimasukkan kedalam cadangan khusus (Pasal 73 ayat (2) UUPT).
17. Menytujui penggabungan (merger), peleburan, pengambilalihan atau pemisahan, pengajuan permohonan agar perseroan dinyatakan pailit, perpanjangan jangka waktu berdirinya dan pembubaran perseroan (Pasal 89 ayat (1) UUPT).
18. Pembagian tugas  direksi (Pasal 92 ayat (5) UUPT).
19. Mengangkat anggota direksi (Pasal 94 ayat (1) UUPT) dan anggota dewan komisaris (Pasal 111 ayat (1) UUPT).
20. Memberhentikan anggota direksi (Pasal 94 ayat (5) juncto Pasal 105 ayat (1) UUPT) dan anggota dewan komisaris (Pasal 115 ayat (5) dan Pasal 119 UUPT).
21. Menetapkan besaran gaji dan tunjangan anggota direksi (Pasal 96 ayat (1) UUPT) dan besaran gaji atau honorarium dan tunjangan anggota dewan komisaris (Pasal 113 UUPT).
22. Menetapkan pembatasan atau persyaratan kewenangan direksi (Pasal 98 ayat (3) UUPT).
23. Menunjuk pihak di luar anggota direksi dan dewan komisaris perseroan untuk mewakili perseroan dalam hal terdapat seluruh anggota direksi dan dewan komisaris mempunyai benturan kepentinga (conflict of interest) dengan perseroan (Pasal 99 ayat (2) huruf c UUPT).
24. Menyetujui maksud direksi untuk mengalihkan kekayaan atau menjadikan jaminan utang kekayaan perseroan yang merupakan lebih dari 50% (Lima Puluh Persen) dari kekayaan bersih Perseroan (Pasal 102 ayat (1) UUPT).
25. Menyetujui atau menolak rencana/maksud direksi untuk mengajukan permohonan pailit atas perseroan (pasal 104 ayat (1) UUPT).
26. Mencabut atau menguatkan keputusan dewan komisaris yang memberhentikan sementara anggota direksi (Pasal 106 ayat (6) UUPT).
27. Meminta laporan dewan komisaris tentang tugas pengawasan yang telah dilakukan selam tahun buku yang baru lampau (Pasal 116 huruf c UUPT).
28. Memberikan kewenangan kepada dewan komisaris untuk melakukan tindakan pengurusan perseroan apabila direksi tidak ada atau apabila seluruh anggota direksi mempunyai benturan kepentingan dengan perseroan (Pasal 118 atat (1) UUPT).
29. Mengangkan komisaris independen (Pasal 120 ayat (2) UUPT)
30. Menyetujui rancangan penggabungan yang disusun direksi dan sebelumnya telah mendapatkan persetujuan dewan komisaris perseoan (Pasal 123 ayat (3) UUPT).
31. Menyetujui pengambilalihan (Pasal 125 ayat (4) juncto Pasal 126 ayat (2) dan Pasal 127 ayat (1) UUPT) dan rancangan pengambilalihan (Pasal 128 ayat (1) UUPT).
32. Menyetujui pembubaran perseroan (Pasal 142 ayat (1) huruf a UUPT).
33. Menunjuk likuidator (Pasal 142 ayat (3) juncto Pasal 145 ayat (2) UUPT).
34. Menyetujui laporan pertanggungjawaban likuidator atas likuiditas perseroan yang dilakukannya (Pasal 152 ayat (1) UUPT).
Dari 34 (Tiga Puluh Empat) kewenangan RUPS diatas, tampak bahwa disamping kewenangan umum (Pasal 1 angka 4 dan Pasal 75 ayat (1)), terdapat juga kewenangan RUPS yang bersifat spesifik berupa pemberian persetujuan atas tindakan direksi atau dewan komisaris atau mengeluarkan penetapan atas perbuatan hukum tertentu.[4]
C. Tanggung Jawab Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS)
Pasal 40 KUH Dagang menjelaskan mengenai pembatasan tanggung jawab dari pemegang saham. Hal ini berarti segala risiko kerugian sepenuhnya dibebankan kepada kumpulan modal yang berasal dari pendiri dan tau orang-orang pemegang saham yang dipisahkan dari harta kekayaannya dan merupakan kekayaan PT bukan kepada harta kekayaan pemegang sahamnya.
Ketentuan Pasal 40 KUH Dagang ini dipertegas kembali dalam Pasal 3 UUPT No. 1 Tahun 1995 dan ketentuan pasal 3 UU PT No. 40 tahun 2007.
Pasal 3 UUPT tahun 1995 berbunyi “pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atas perikatan yang dibuat atas nama PT dan tidak bertangggung jawab atas kerugian PT melebihi nilai saham yang diambilnya”.
Sedangkan Pasal 3 ayat (1) UUPT Nomor 40 Tahun 2007 menjelaskan:
a.    Pemegang saham perseroan, tidak bertanggung jawab secara pribadi (personal liability) atas perikatan yang dibuat atas nama perseroan maupun atas kerugian yang dialami perseroan.
b.    Risiko yang ditanggung pemegan saham, hanya sebesar investasinya atau tidak melebihi saham yang dimilikinya pada perseoan.
c.    Dengan demikian, pada prinsipnya pemegang saham tidak bertanggung jawab secara pribadi atau secara incividual atas untng perseroan.
Dari ketentuan pasal 3 UUHT, sudah jelas bahwa apabila dikemudian hari timbul tanggung jawab hukum yang harus dipenuhi oleh suatu PT, maka pertanggungjawabannya semata-mata dibeankan pada harta yang terkumpul dalam perseroan tersebut. Dengan kata lain, secara hukum PT mempunyai pertanggungjawaban sendiri, walaupun harta kekayaan itu berasal dari para pesero atau pemegan saham, harta itu terpisan sama sekali dengan harta kekayaan masing-masing pesero atau pemegang saham.[5]



BAB 3
PENUTUP

A. Kesimpulan
Berdasarkan pembahasan makalah ini maka dapat ditarik kesimpulan bahwa RUPS adalah organ Perseroan Terbatas yang memiliki kewenangan esklusif yang tidak dimiliki oleh Direksi dan Dewan Komisaris. Kewenangan dan tanggung jawab RUPS diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Anggaran Dasar Perseroan dan Kitab Undang-undang Hukum Dagang.
B. Saran
Adapun saran yang dapat diberikan dari makalah ini yakni bahwa seharusnya para pemangku kepentingan dalam sebuah Perseroan Terbatas dapat memahami secara menyeluruh terkait ketentuan-ketentuan mengenai Perseroan Terbatas yang diatur dalam Undang-Undang Perseroan Terbatas, Kitab Undang-Undang Hukum Dagang maupun peraturan perundang-undangan yang terkait dengan Perseroan Terbatas

DAFTAR PUSTAKA
Buku
Kurniawan, (2014), Hukum Perusahaan, Genta Publishing, Yogyakarta.
Sri Redjeki Hartono, (1985), Bentuk Bentuk Kerjasama Dalam Dunia Niaga, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang.
Abdulkadir Muhammad, (1999), Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung.
Peraturan Perundang-Undangan
Kitab Undang-Undang Hukum Dagang.
Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 Tentang Perseroan Terbatas.
Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 Tentang Perseroan Terbatas.





[1] Sri Redjeki Hartono, Bentuk Bentuk Kerjasama Dalam Dunia Niaga, Fakultas Hukum Universitas 17 Agustus 1945, Semarang, 1985, Hal 47
[2] Abdulkadir Muhammad, Hukum Perusahaan Indonesia, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung, 1999, Hal 76
[3] Kurniawan, Hukum Perusahaan, Genta Publishing, Yogyakarta, 2014, Hal 66
[4] Ibid, Hal 66-69
[5] Ibit, Hal 70

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Trending Template

Pengikut