Jumat, 08 Januari 2016

MAKALAH ESENSI HAK MILIK ATAS TANAH DAN PENGUASAANNYA




MAKALAH HUKUM AGRARIA
Dosen: Prof. Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum.

ESENSI HAK MILIK ATAS TANAH DAN PENGUASAANNYA




Oleh:
SAFRI AWAL
(P3600215005)


Program Studi Kenotariatan
FAKULTAS HUKUM
Universitas Hasanuddin
MAKASSAR
2015

 



KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah Swt atas segala rahmatnya sehingga makalah ini dapat tersusun hingga selesai sebagai tanggung jawab saya sebagai mahasiswa yang turut serta mengikuti mata kuliah Hukum Agraria yang diasuh oleh dosen kami tercinta Prof.Dr. A. Suriyaman Mustari Pide, S.H., M.Hum, Tidak lupa saya juga mengucapkan banyak terimakasih atas bantuan dari pihak yang telah berkontribusi dengan memberikan sumbangan baik materi maupun pikirannya.
Dan harapan saya semoga makalah ini dapat menambah pengetahuan dan pengalaman bagi para pembaca, Untuk ke depannya dapat memperbaiki bentuk maupun menambah isi makalah agar menjadi lebih baik lagi.
Karena keterbatasan pengetahuan maupun pengalaman saya, saya tentu sadar bahwa masih banyak kekurangan dalam makalah ini, Oleh karena itu saya sangat mengharapkan saran dan kritik yang membangun dari pembaca demi kesempurnaan makalah ini.

                                                                Makassar, 29 Desember 2015



                                                                             Safri Awal





BAB 1
PENDAHULUAN


A.  Latar Belakang
Saat ini telah masuk 55 tahun usia Undang-undang Pokok Agraria (UUPA) No 5 Tahun 1960. Namun selama kurun waktu itu pula persoalan sengketa tanah mengenai hak Milik tak pernah reda. Masalah tanah bagi manusia tidak ada habis-habisnya karena mempunyai arti yang amat penting dalam penghidupan dan hidup manusia sebab tanah bukan saja sebagai tempat berdiam juga tempat bertani, lalu lintas, perjanjian dan pada akhirnya tempat manusia berkubur. Sebagaimana diketahui sebelum berlakunya Undang-Undang Pokok Agraria berlaku bersamaan dua perangkat hukum tanah di Indonesia (dualisme). Satu bersumber pada hukum adat disebut hukum tanah adat dan yang lain bersumber pada hukum barat disebut hukum tanah Barat. Dengan berlakunya hukum agraria yang bersifat nasional (UU No. 5 Tahun 1960) maka terhadap tanah-tanah dengan hak barat maupun tanah-tanah dengan hak adat harus dicarikan padanannya di dalam UUPA.
Untuk dapat masuk ke dalam sisem dari UUPA diselesaikan dengan melalui lembaga konversi. Konversi adalah pengaturan dari hak-hak tanah yang ada sebelum berlakunya UUPA untuk masuk sistem dalam dari UUPA.[1] Secara akademis dapat dikemukakan bahwa penyebab terjadinya konflik di bidang pertanahan antara lain adalah keterbatasan ketersediaan tanah, ketimpangan dalam struktur penguasaan tanah, ketiadaan persepsi yang sama antara sesama pengelola negara mengenai makna penguasaan tanah oleh negara, inkonsistensi, dan ketidaksinkronisasian. Ini baik secara vertikal maupun secara horizontal peraturan perundang-undangan yang ada kaitannya dengan tanah, praktek-praktek manipulasi dalam perolehan tanah pada masa lalu dan di era reformasi muncul kembali gugatan, dualisme kewenangan (pusat-daerah) tentang urusan pertanahan serta ketidakjelasan mengenai kedudukan hak ulayat dan masyarakat hukum adat dalam sistem perundang-undangan agraria. Di satu pihak masyarakat masih tetap menggunakan hukum adat sebagai sandaran peraturan pertanahan dan diakui oleh komunitasnya, akan tetapi di lain pihak, hukum agraria nasional belum sepenuhnya mengakui validitas hukum adat tersebut.
Pembukaan UUD 1945 alenia ke-4 yang intinya adalah Negara melalui Pemerintah memiliki tanggung jawab sekaligus tugas utama melindungi “Tanah Air Indonesia” yang meliputi bumi, air, dan kekayaan alam yang terkandung didalamnya untuk kesejahteraan bangsa Indonesia. Hak menguasai Negara merupakan konsep Negara suatu organisasi kekuasaan dari seluruh rakyat, sehingga kekuasaan berada ditangan Negara. Jadi Negara memiliki hak menguasai tanah melalui fungsi untuk mengatur dan mengurus.Pengertian “penguasaan” dan “menguasai” dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik. Penguasaan yuridis dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki. Tetapi ada juga penguasaan yuridis yang biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataanya penguasaan fisiknya dilakukan pihak lain.
Dalam hukum tanah kita kenal juga penguasaan yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Kreditor pemegang hak jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan, tetapi penguasaannya secara fisik tetap ada pada yang empunya tanah. Dengan mulai berlakunya UUPA (Undang-undang Pokok Agraria) terjadi perubahan fundamental pada Hukum Agraria di Indonesia, terutama hukum dibidang pertanahan, yang sering kita sebut sebagi Hukum Pertanahan yang dikalangan pemerintahan dan umum juga dikenal sebagai Hukum Agraria. UUPA bukan hanya memuat ketentuan-ketentuan mengenai perombakan hukum agraria. sesuai dengan namanya Peraturan dasar pokok-pokok Agraria, UUPA memuat juga lain-lain pokok persoalan agrarian serta penyelesaiannya.
Ruang lingkup bumi menurut UUPA adalah permukaan bumi dan tubuh bumu dibawahnya serta yang berada dibawah air. permukaan bumi sebagai bagian dari bumi juga disebut tanah. Tanah yang dimaksudkan disini bukan mengatur tanah dalam segala aspeknya, melainkan hanya mengatur salah satu aspeknya, yaitu tanah dalam pengertian yuridis yang disebut hak-hak penguasaan atas tanah. Setelah keluarnya Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Undang-Undang Pokok Agraria, maka banyak perubahan yang terjadi dalam ketentuan hak-hak atas tanah. Salah satunya adalah diadakan konversi hak atas tanah oleh pemerintah.
Hak-Hak atas tanah yang dikonversikan itu bukan saja hak-hak atas tanah yang bersumber pada hukum perdata barat saja tetapi juga hak-hak atas tanah yang dikenal dalam hukum adat seperti ganggam bauntuak, bengkok, gogolan dan sebagainya. Hak-hak ini dikonversikan, karena tidak sesuai dengan jiwa Hukum Agraria Nasional, yaitu  karena sifatnya yang feodalis.

B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang yang dikemukakan diatas maka dapat ditarik rumusan masalah sebagai berikut:
1.  Apa yang menjadi tujuan pendaftaran tanah?
2.  Apa landasan hukum pendaftaran tanah?



BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA


A.  Pengertian Hak Milik Atas Tanah
Hak Atas Tanah Definisi hak atas tanah adalah hak yang memberi wewenang kepada seseorang yang mempunyai hak untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah tersebut. Hak atas tanah berbeda dengan hak penggunaan atas tanah. Ciri khas dari hak atas tanah adalah seseorang yang mempunyai hak atas tanah berwenang untuk mempergunakan atau mengambil manfaat atas tanah yang menjadi haknya. Hak-hak atas tanah yang dimaksud ditentukan dalam pasal 16 jo pasal 53 UUPA, antara lain[2]:
1.  Hak Milik
2.  Hak Guna Usaha
3.  Hak Guna Bangunan
4.  Hak Pakai
5.  Hak Sewa
6.  Hak Membuka Tanah
7.  Hak Memungut Hasil Hutan
8.  Hak-hak lain yang tidak termasuk dalam hak-hak tersebut di atas yang ditetapkan oleh undang-undang serta hak-hak yang sifatnya sementara sebagaimana disebutkan dalam pasal 53.
Dalam pasal 16 UU Agraria disebutkan adanya dua hak yang sebenarnya bukan merupakan hak atas tanah yaitu hak membuka tanah dan hak memungut hasil hutan karena hak-hak itu tidak memberi wewenang untuk mempergunakan atau mengusahakan tanah tertentu. Namun kedua hak tersebut tetap dicantumkan dalam pasal 16 UUPA sebagai hak atas tanahhanya untuk menyelaraskan sistematikanya dengan sistematika hukum adat. Kedua hak tersebut merupakan pengejawantahan (manifestasi) dari hak ulayat. Selain hak-hak atas tanah yang disebut dalam pasal 16, dijumpai juga lembaga-lembaga hak atas tanah yang keberadaanya dalam Hukum Tanah Nasional diberi sifat sementara. Hak-hak yang dimaksud antara lain :
1.  Hak gadai
2.  Hak usaha bagi hasil
3.  Hak menumpang
4.  Hak sewa untuk usaha pertanian.
Hak-hak tersebut bersifat sementara karena pada suatu saat nanti sifatnya akan dihapuskan. Oleh karena dalam prakteknya hak-hak tersebut menimbulkan pemerasan oleh golongan ekonomi kuat pada golongan ekonomi lemah (kecuali hak menumpang). Hal ini tentu saja tidak sesuai dengan asas-asas Hukum Tanah Nasional (pasal 11 ayat 1). Selain itu, hak-hak tersebut juga bertentangan dengan jiwa dari pasal 10 yang menyebutkan bahwa tanah pertanian pada dasarnya harus dikerjakan dan diusahakan sendiri secara aktif oleh orang yang mempunyai hak. Sehingga apabila tanah tersebut digadaikan maka yang akan mengusahakan tanah tersebut adalah pemegang hak gadai. Hak menumpang dimasukkan dalam hak-hak atas tanah dengan eksistensi yang bersifat sementara dan akan dihapuskan karena UUPA menganggap hak menumpang mengandung unsur feodal yang bertentangan dengan asas dari hukum agraria Indonesia.
Adapun Hak atas tanah yang bersifat tetap, terdiri dari :
1.    Hak Milik
2.    Hak Guna Usaha
3.    Hak Guna Bangunan
4.    Hak Pakai
5.    Hak Sewa Tanah Bangunan
6.    Hak Pengelolaan
Hak atas tanah yang bersifat sementara, terdiri dari :
1.    Hak Gadai
2.    Hak Usaha Bagi Hasil
3.    Hak Menumpang
4.    Hak Sewa Tanah Pertanian Pencabutan Hak Atas Tanah.[3]

B. Pengertian Penguasaan dan Menguasai
Pengertian penguasaan dan menguasai dapat dipakai dalam arti fisik, juga dalam arti yuridis. Juga beraspek perdata dan beraspek publik.[4] Penguasaan dalam arti yuridis adalah penguasaan yang dilandasi hak, yang dilindungi oleh hukum dan pada umumnya memberi kewenangan kepada pemegang hak untuk menguasai secara fisik tanah yang dihaki, misalnya pemilik tanah mempergunakan atau mengambil manfaat dari tanah yang dihaki, tidak diserahkan kepada pihak lain.
Adapun penguasaan yuridis, biarpun memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang dihaki secara fisik, pada kenyataannya penguasaan fisik dilakukan oleh pihak lain. Misalnya, seseorang memiliki tanah tidak mempergunakan tanahnya sendiri melainkan disewakan kepada pihak lain, dalam hal ini secara yuridis tanah tersebut dimiliki oleh pemilik tanah, akan tetapi secara fisik dilakukan oleh penyewa tanah. Ada juga penguasaan secara yuridis yang tidak memberi kewenangan untuk menguasai tanah yang bersangkutan secara fisik. Misalnya, kreditor (bank) memegang jaminan atas tanah mempunyai hak penguasaan yuridis atas tanah yang dijadikan agunan (jaminan), akan tetapi secara fisik penguasaan tanahnya tetap ada pada pemegang hak atas tanah. Penguasaan yuridis dan fisik  atas tanah ini dipakai dalam aspek privat, sedangkan penguasaan yuridis yang beraspek publik, yaitu penguasaan atas tanah  sebagaimana yang disebutkan dalam  Pasal 33 ayat (3) UUD 1945 dan Pasal 2 UUPA.[5]
Hak penguasaan atas tanah berisi serangkaian wewenang, kewajiban, dan atau larangan bagi pemegang haknya untuk berbuat sesuatu mengenai tanh yang di hakinya. Sesuatu yang boleh, wajib atau dilarang untuk diperbuat, yang merupakan isi hak penguasaan itulah yang menjadi kriteria atau tolak ukur pembeda di antara hak-hak penguasaan atas tanah yang diatur dalam Hukum Tanah.

C. Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah yang Mempunyai Wewenang Khusus
Dalam tiap hukum tanah terdapat pengaturan mengenai berbagai  hak penguasaan atas tanah. Dalam UUPA misalnya diatur dan sekaligus ditetapkan tata jenjang atau hierarki hak-hak penguasaan atas tanah dalam Hukum Tanah Nasional kita, Yaitu:
1.    Hak Bangsa Indonesia Atas Tanah
Hak ini merupakan hak penguasaan atas tanah yang tertinggi dan meliputi semua tanah yang ada dalam wilayah Negara, yang merupakan tanah bersama, bersifat abadi dan menjadi induk bagi hak-hak penguasaan yang lain atas tanah. pengaturan ini termuat dalam Pasal 1 ayat (1)-(3) UUPA.
Hak Bangsa Indonesia atas tanah mempunyai sifat komunalistik, artinya semua tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan tanah bersama rakyat Indonesia, yang telah bersatu sebagai Bangsa Indonesia (Pasal 1 ayat (1) UUPA). selain itu juga mempunyai sifat religius, artinya seluruh tanah yang ada dalam wilayah NKRI merupakan karunia Tuhan Yang Maha Esa (Pasal 1 ayat (2) UUPA). Hubungan antara Bangsa Indonesia dengan tanah bersifat abadi, atinya selama rakyat Indonesia masih bersatu sebagai Bangsa Indonesia dan selama tanah tersebut masih ada pula, dalam keadaan yang bagaimanapun tidak ada sesuatu kekuasaan yang akan dapat memutuskan atau meniadakan hubungan tersebut (Pasal 1 ayat (3).
2.    Hak Menguasai dari Negara Atas Tanah
Hak ini bersumber pada hak bangsa Indonesia atas tanah, yang hakikatnya merupakan penugasan pelaksanaan tugas kewenangan bangsa yang mengandung hukum publik. Tugas mengelola seluruh tanah bersama ini dikuasakan sepenuhnya kepada NKRI sebagai organisasi kekuasaan seluruh rakyat (Pasal 2 ayat (1) UUPA).
Isi wewenang hak menguasai dari Negara Atas Tanah sebagai mana dimuat di dalam Pasal 2 ayat (2) UUPA adalah:
a.    Mengatur dan menyelenggarakan peruntukan ,penggunaan, persediaan dan pemeliharaan tanah.
b.    Menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dengan tanah.
c.    menentukan dan mengatur hubungan-hubungan hukum antara orang-orang dan perbuatan-perbuatan hukum yang mengenai tanah.
3.    Hak Ulayat Masyarakat Hukum Adat
Hak ini diatur dalam Pasal 3 UUPA. Yang dimaksud hak ulayat masyarakat hukum adat adalah serangkaian wewenang dan kewajiban suatu masyarakat hukum adat, yang berhubungan dengan tanah yang terletak dalam lingkungan wilayahnya.
Menurut Boedi Harsono, Hak ulayat masyarakat hukum adat dinyatakan masih apabila memenuhi 3 unsur, yaitu:
a.    Masih adanya suatu kelompok orang sebagai warga suatu persekutuan hukum adat tertentu, yang merupakan suatu masyarakat hukum adat.
b.    Masih adanya wilayah yang merupakan ulayat masyarakat hukum adat tersebut, yang disadari sebagai kepunyaan bersama para warganya.
c.    Masih ada penguasa adat yang pada kenyataannya dan diakui oleh para warga masyarakat hukum adat yang bersangkutan, melakukan kegiatan sehari-hari sebagai pelaksana hak ulayat

D. Pengaturan Hak Penguasaan Atas Tanah yang Mempunyai Wewenang Umum
Hak Penguasaaan atas tanah yang memberikan kewenangan yang bersifat umum (Hak perorangan atas tanah) yaitu, hak penguasaan atas tanah yang memberi wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya. Hak atas tanah tersebut terdiri dari:
1.    Hak Atas Tanah Orisinal Atau Primer
Yaitu, hak penguasaan atas tanah yang memberi wewenang bagi subjeknya untuk menggunakan tanah yang dikuasainya seperti:
a.  Hak milik
Hak Milik adalah hak atas tanah yang turun temurun, terkuat, dan terpenuh[6]. Hal ini sesuai dengan ketentuan pasal 20 ayat (1) dan (2) UUPA yang berbunyi sebagai berikut: ”Hak Milik adalah hak turun-temurun, terkuat, dan terpenuh yang dapat dipunyai orang atas tanah, dengan mengingat ketentuan pasal 6. Hak Milik dapat beralih dan dialihkan kepada pihak lain.
Hak Milik adalah hak atas tanah, karena itu tidak meliputi pemilikan kekayaan alam yang terkadung dalam tubuh bumi dan yang ada dibawah atau didalamnya.
Subyek Hak Milik yang dapat mempunyai tanah Hak Milik menurut UUPA dan peraturan pelaksanaanya, adalah:
(1)   Perseorangan
WNI, baik pria maupun wanita, tidak berwarganegaraan rangkap (Pasal 9, 20 (1) UUPA).
(2)   Badan-badan Hukum Tertentu
Badan-badan hukum yang dapat mempunyai Hak Milik atas tanah, yaitu bank-bank yang didirikan oleh negara, koperasi pertanian, badan keagamaan dan badan sosial (Pasal 21 (2) UUPA).
Terjadinya Hak Milik atas tanah dapat terjadi melalui 3 cara sebagai mana disebutkan dala Pasal 22 UUPA, yaitu:
(1)   Hak Mik atas tanah yang terjadi Menurut Hukum Adat.
(2)   Hak Milik Atas tanah tertajdi karena Penetapan Pemerintah.
(3)   Hak Milik atas tanah terjadi karena Undang-undang.
Adapun ciri-ciri dan sifat Hak Milik yaitu:
(1)   Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997
(2)   Dapat diwariskan
(3)   Dapat dialihkan dengan cara seperti jual beli, hibah, tukar menukar, lelang dan penyertaan modal.
(4)   Turun temurun.
(5)   Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
(6)   Dapat dijadikan induk hak lain.
(7)   Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani hak tanggungan.
Hapusnya Hak Milik diatur didalam Pasal 27 UUPA yang  menetapkan faktor-faktor penyebab hapusnya Hak Milik atas tanah, bila:   
(1)   Tanahnya jatuh kepada Negara, contohnya:
a)  Karena Pencabutan Hak berdasarkan Pasal 18 UUPA.
b)  Dilepaskan secara suka rela oleh pemiliknya.
c)  Dicabut untuk kepentingan umum.
d)  Tanahnya diterlantarkan.
e)  Karena subyek haknya tidak memenuhi syarat sebagai sunyek hak milik atas tanah.
f)   Karena peralihan hak yang mengakibatkan tanahnya berpindah kepada pihak lain yang tidak memenuhi syarat sebagai subyek Hak Milik atas tanah.
(2)   Tanahnya mustas contohnya jika terjadi bencana alam.

b.  Hak Guna Usaha
Ketentuan umum Hak Guna Usaha (HGU) disebutkan dalam Pasal 16 ayat (1) huruf b, 28 s/d 34, 50 ayat (2) UUPA, Pasal 2 s/d 18 PP No. 40/1996 tentang HGU, HGB dan HP.
Pengertian HGU adalah hak untuk mengusahakan tanah yang dikuasai langsung oleh negara dalam jangka waktu tertentu guna kegiatan usaha pertanian, perkebunan, perikanan, atau peternakan (lihat Pasal 28 ayat (1), PP No.40/1996).
Subyek HGU. Yang dapat mempunyai HGU menurut Pasal 30 UUPA Jo. Pasal 2 PP No. 40/1996, adalah:
(1)   Warga Negara Indonesia
(2)   Badan Hukum yang didirkan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
Asal dan terjadinya HGU adalah tanah negara. Kalau asal tanah HGU berupa tanah hak, maka tanah hak tersebut harus dilakukan pelepasan ata penyerahan hak oleh pemegang hak dengan pemberian ganti kerugian oleh calon pemegang hak HGU.
Terjadinya HGU dapat melalui penetapan pemerintah (pemberian hak) dan ketentuan Undang-undang (ketentuan konversi hak erpacht).
Luas HGU.
Luas tanah HGU adalah untuk perserorangan minimal 5 Ha dan maksimal 25 Ha. Sedangkan untuk badan hukum luas minimal 5 Ha dan luas maksimal 25 Ha atau lebih (menurut UUPA). Ketentuan luas maksimal tidak ditentukan dengan jelas tetapi PP No. 40/1996 menyebutkan luas maksimal ditetapkan oleh menteri dengan memperhatikan pertimbangan pejabat yang berwenang. Dengan membandingkan kewenangan Surat Keputusan Pemberian Hak seperti kewenangan Ka BPN Kota/kab maksimal 25 Ha, Kanwil BPN maksimal 200 Ha, di atas 200 Ha kewenangan Menteri Agraria/Ka BPN.
Jangka waktu HGU mempunyai jangka waktu untuk pertama kalinya paling lama 35 tahun dan dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 25 tahun (Pasal 29 UUPA). Sedang menurut Pasal 8 PP No. 40/1996 mengatur jangka waktu HGU untuk pertama kalinya 35 tahun, diperpanjang paling lama 25 tahun dan dapat diperbaharui paling lama 35 tahun. Permohonan perpanjangan dan pembaharuan diajukan palaing lambat 2 tahun sebelum berakhirnya jangka waktu HGU.
Syarat yang harus dipenuhi untuk dapat dilakukan perpanjangan waktu atau pembaharuan adalah:
(1)   Tanahnya masih diusahakan dengan baik sesuai keadaan, sifat dan tujuan pemberian haknya;
(2)   Syarat-syarat pemberian hak tersebut dipenuhi dengan baik oleh pemegang hak;
(3)   Pemegang hak masih memenuhi syarat sebagai pemegang hak.

Kewajiban Pemegang HGU berdasarkan Pasal 12 Ayat (1) PP No. 40 Tahun 1966 antara lain:
(1)   Membayar uang pemasukan kepada Negara.
(2)   Melaksanakan usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan.
(3)   Mengusahakan sendiri tanah HGU dengan baik sesuai kelayakan usaha berdasarkan kriteria dari instansi teknis.
(4)   Membangun dan memelihara prasarana lingkungan dan fasilitas tanah yang ada dalam lingkungan HGU.
(5)   Memelihara kesuburan tanah, mencegah kerusakan sumber daya alam dan menjaga kelestarian kemampuan lingkungan hidup.
(6)   Menyampaikan laporan tertulis setiap akhir tahun mengenai penggunaan HGU,
(7)   Menyerahkan kembali tanah yang diberikan dengan HGU kepada negara setelah hapus.
(8)   Menyerahkan sertifikat HGU yang telah hapus kepada kepala Kantor Pertanahan.

Hak Pemegang HGU berdasarkan Pasal 14 PP No. 40 Tahun 1966 antara lain:
(1)   Menguasai dan mempergunakan tanah untuk usaha pertanian, perkebunan, perikanan dan atau peternakan;
(2)   Penguasaan dan penggunaan sumber air dan sumber daya alam lainnya di atas tanah;
(3)   Mengalihkan hak tersebut kepada pihak lain.
(4)   Membebani dengan Hak Tanggungan.

Sifat dan ciri-ciri HGU antara lain:
(1)   Tergolong hak yang wajib didaftarkan menurut PP No. 24/1997.
(2)   Dapat diwariskan.
(3)   Dapat dialihkan , seperti jual beli, hibah, tukar-menukar, lelang, penyertaan modal.
(4)   Dapat dilepaskan untuk kepentingan sosial.
(5)   Dapat dijadikan jaminan hutang dengan dibebani Hak Tanggungan.
(6)   Haknya mempunyai jangka waktu tertentu.
(7)   Dapat berinduk pada hak atas tanah yang lain.
(8)   Peruntukkannya terbatas.

Hapusnya HGU berdasarkan Pasal 34 UUPA dan Pasal 17 PP No. 40 Tahun 1996 yaitu karena.
(1)   Jangka waktunya berakhir.
(2)   Dihentikan sebelum jangka waktunya berakhir karena sesuatu syarat yang tidak dipenuhi.
(3)   Dilepaskan secara suka rela oleh pemegang haknya.
(4)   Dicabut untuk kepentingan umum.
(5)   Ditelantarkan.
(6)   Tanahnya musnah.
(7)   Pemegang HGU tidak memenuhi syarat sebagai subyek pemegang HGU.

c.   Hak Pakai
Hak Pakai (HP) diatur dalam Pasal 16 ayat 9) huruf d, 41, 43, 50 ayat (2) UUPA dan Pasal 39 s/d 58 PP No. 40/1996.
Pengertian HP adalah hak untuk menggunakan dan atau memungut hasil dari tanah yang dikuasai oleh negara atau tanah milik orang lain yang memberi wewenang dan kewajiban yang ditentukan dalam keputusan pemberian haknya atau dalam perjanjian dengan pemilik tanahnya, yang bukan perjanjian sewa-menyewa atau perjanjian pengolahan tanah (lihat Pasal 41 (1) UUPA).
Subyek HP (lihat Pasal 42 UUPA dan Pasal 39 PP No. 40/1996):
(1)   Warga Negara Indonesia.
(2)   Badan hukum yang didirikan menurut hukum Indonesia dan berkedudukan di Indonesia.
(3)   Departemen, Lembaga Pemerintah Non Departemen dan Pemerintah Daerah.
(4)   Badan-badan keagamaan dan sosial.
(5)   Orang asing yang berkedudukan di Indonesia (lihat PP No. 41/1996).
(6)   Badan hukum asing yang mempunyai perwakilan di Indonesia.
(7)   Perwakilan negara asing dan perwakilan badan internasional.

Asal atau obyek hak pakai berdasarkan Pasal 41 Ayat (1) PP No. 40/1996:
(1)   Tanah Negara.
(2)   Tanah Hak Pengelolaan
(3)   Tanah Hak Milik

Hak Pakai dapat terjadi karena:
(1)   Penetapan Pemerintah (tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan).
(2)   Perjanjian pemberian oleh pemegang Hak Milik dengan akta yang dibuat oleh PPAT.
(3)   Undang-undang, ketentuan tentang Konversi.
Jangka waktu HP. Jangka waktu hak pakai berbeda sesuai dengan asal tanahnya, (Pasal 45 s/d 49 PP No. 40/1996):
(1)   HP atas tanah negara dan tanah Hak Pengelolaan berjangka waktu untuk pertama kali paling lama 25 tahun, dapat diperpanjang untuk jangka waktu paling lama 20 tahun, dan dapat diperbarui untuk jangka waktu paling lama 20 tahun. Khusus HP yang dipunyai oleh Departemen, Lembaga Non Departemen, Pemerintah Daerah, badan-badan keagamaan dan sosial, perwakilan negara asing, dan perwakilan badan internasional diberikan untuk jangka waktu yang tidak ditentukan selama tanahnya dipergunakan untuk keperluan tertentu.
(2)   HP atas tanah Hak Milik berjangka waktu paling lama 25 tahun, tidak ada perpanjangan waktu. Namun, atas kesepakatan antara pemilik tanah dengan pemegang HP dapat diperbarui dengan pemberian HP baru dengan akta yang dibuat oleh PPAT dan wajib didaftarkan pada kantor BPN setempat.

d.  Hak Pengelolaan
Hak Pengelolaan adalah hak atas tanah yang memberikan wewenang kepada pemegang haknya untuk:
(1)   Merencanakan peruntukkan dan penggunaan tanahnya.
(2)   Menggunakan tanah untuk keperluan sendiri.
(3)   Menyerahkan bagian dari tanahnya kepada pihak ketiga menurut persyaratan yang telah ditentukan bagi pemegang hak tersebut yang meliputi segi peruntukan, penggunaan, segi jangka waktu dan segi keuangannya.

Sifat dan ciri hak pengelolaan yaitu:
(1)   Tergolong hak yang wajib didaftarkan.
(2)   Tidak dapat dipindahtangankan.
(3)   Tidak dapat dijadikan jaminan hutang.
(4)   Mempunyai segi-segi perdata dan segi-segi publik.

Subyek Hukum Hak Pengelolaan yaitu:
(1)   Badan Hukum yang didirikan menurut Hukum Indonesia
(2)   Lembaga dan Instansi Pemerintahan.

2.    Hak Atas Tanah Derivatif atau Sekunder
Yaitu, hak atas tanah yang tidak langsung bersumber kepada Hak Bangsa Indonesia dan diberikan kepada pemilik tanah dengan cara memperolehnya melalui perjanjian pemberian hak antara pemilik tanah dengan calon pemegang hak yang bersangkutan[7], seperti:
(1)   Hak guna Bangunan.
(2)   Hak Pakai.
(3)   Hak Sewa.
(4)   Hak Usaha Bagi Hasil.
(5)   Hak Gadai.
(6)   Hak Menumpang. 


BAB 3

PEMBAHASAN


A. Tujuan Pendaftaran Tanah
Sebagaimana telah ditetapkan dalam pasal 19 UUPA, bahwa diselenggarakannya pendaftaran tanah dalam rangka menjamin kepastian hukum (rechtskadaster/ legal cadastre). Secara lebih rinci tujuan pendaftaran tanah diuraikan dalam pasal 3 PP No. 24 tahun 1997 sebagai berikut :
1.  Untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar, agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan. Untuk itu kepada pemegang hak diberikan sertipikat sebagai suart tanda buktinya. Tujuan inilah yang merupakan tujuan utama dari pendaftaran tanah sebagaimana diamanatkan oleh pasal 19 UUPA.
2.  Untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan, termasuk pemerintah, agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar. Penyajian data dilakukan oleh Kantor Pertanahan di Kabupaten / Kotamadia tata usaha pendaftaran tanah dilakukan dalam bentuk yang dikenal dengan daftar umum, yang terdiri atas peta pendaftaran, daftar tanah, surat ukur, buku tanah dan daftar nama. Sehingga pihak-pihak yang berkepentingan, terutama calon pembeli atau calon kreditur, sebelum melakukan suatu perbuatan hukum mengenai suatu bidang tanah atau satuan rumah susun tertentu perlu dan karenanya mereka berhak mengetahui dat yang tersimpan dalam daftar-daftar di Kantor Pertanahan tersebut. Hal inilah yang sesuai dengan asas terbuka dari pendaftaran tanah.
3.  Untuk terselenggarakannya tertib administrasi pertanahan, pendaftaran tanah secara baik merupakan dasar dan perwujudan tertib administrasi di bidang pertanahan. Untuk mencapai tertib administrasi tersebut setiap bidang tanah dan satuan rumah susun, termasuk peralihan, pembebanan dan hapusnya wajib didaftar.
Pendaftaran tanah adalah suatu kegiatan administrasi yang dilakukan pemilik terhadap hak atas tanah, baik dalam pemindahan hak ataupun pemberian dan pengakuan hak baru, kegiatan pendaftaran tersebut memberikan suatu kejelasan status terhadap tanah. Dalam Pasal 1 PP No. 24 tahun 1997 disebutkan pendaftaran tanah adalah rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan pengolahan, pembukuan dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis, dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya.
Pendaftaran tanah dapat dilakukan melalui pendaftaran tanah secara sistematis dan sporadis yaitu kegiatan pendaftaran tanah yang dilakukan secara serentak yang meliputi semua bidang tanah di suatu wilayah atau bagian wilayah suatu desa/kelurahan, baik tanah dipunyai dengan suatu hak atas tanah maupun tanah negara. Yang dimaksud dengan suatu hak adalah hak atas tanah menurut hukum adat dan hak atas tanah menurut UUPA.

B. Landasan Hukum Pendaftaran Tanah
Dengan keluarnya Undang-Undang Pokok Agraria, maka dualisme hak-hak atas tanah dihapuskan, dalam memori penjelasan dari UUPA dinyatakan bahwa untuk pendaftaran tanah sebagaimana dimaksud Pasal 19 UUPA, yang ditujukan kepada pemerintah agar melaksanakan pendaftaran tanah di seluruh wilayah Indonesia yang bertujuan untuk menjamin kepastian hukum yang bersifat Recht Kadaster, untuk menuju kearah pemberian kepastian hak atas tanah telah diatur di dalam Pasal 19 UUPA yang menyebutkan :
1.    Untuk menjamin kepastian hukum oleh pemerintah diadakan pendaftaran tanah diseluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah.
2.    Pendaftaran tersebut dalam ayat 1 pasal ini meliputi :
a.  Pengukuran, perpetaan dan pembukuan tanah.
b.  Pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut.
c.   Pemberian surat-surat tanda bukti hak yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
3.    Pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria.
4.    Dalam Peraturan Pemerintah diatas biaya-biaya yang bersangkutan dengan pendaftaran termasuk dalam ayat 1 diatas, dengan ketentuan bahwa rakyat yang tidak mampu dibebaskan dari pembayaran biaya-biaya tersebut.
Kalau di atas ditujukan kepada pemerintah, sebaliknya pendaftaran yang dimaksud Pasal 23, Pasal 32 dan Pasal 38 UUPA ditujukan kepada para pemegang hak, agar menjadikan kepastian hukum bagi mereka dalam arti untuk kepentingan hukum bagi mereka sendiri, di dalam Pasal tersebut dijelaskan :
1.    Pasal 23 UUPA :
(1)    Hak milik, demikian pula setiap peralihan, hapusnya dan pembebanannya dengan hak-hak lain harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan dimaksud dalam Pasal 19.
(2)    Pendaftaran termasuk dalam ayat 2 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak milik serta sahnya peralihan dan pembebanan hak tersebut.
2.    Pasal 32 UUPA
(1)    Hak guna usaha, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan penghapusan hak tersebut, harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
(2)    Pendaftaran termasuk dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai peralihan serta hapusnya hak guna usaha, kecuali dalam hak-hak itu hapus karena jangka waktunya berakhir.
3.    Pasal 38 UUPA
4.    Hak guna bangunan, termasuk syarat-syarat pemberiannya, demikian juga setiap peralihan dan hapusnya dak tersebut harus didaftarkan menurut ketentuan-ketentuan yang dimaksud dalam Pasal 19.
5.    Pendaftaran termaksud dalam ayat 1 merupakan alat pembuktian yang kuat mengenai hapusnya hak guna bangunan serta sahnya peralihan tersebut, kecuali dalam hal hak itu hapus karena jangka waktunya berakhirnya.
Dari ketentuan pasal-pasal di atas dapatlah disimpulkan bahwa pendaftaran yang dilakukan oleh pemegang hak milik, hak guna usaha, hak guna bangunan adalah merupakan alat pembuktian yang kuat serta untuk sahnya setiap peralihan, pembebanan dan hapusnya hak-hak tersebut.





BAB 4
PENUTUP

A. Kesimpulan
Untuk mempunyai hubungan hukum dengan tanah maka terlebih dahulu hak atas tanah harus di daftarkan di kantor Badan Pertanahan Nasional, karena pendaftaran tanah tersebut memberikan suatu kejelasan tentang status hak atas tanah.

B. Saran
Pemerintah harusnya sadar akan pentingnya penyuluhan hukum yang sifatnya terpadu yang dilakukan pihak Badan Pertanahan Nasional sehingga masyarakat akan sadar dan mengerti pentingnya perlunya dilakukan pendaftaran Tanah.


DAFTAR PUSTAKA

Buku
Achmad Chulaemi, (2006), Hukum Agraria, Perkembangan, Macam-macam Hak Atas Tanah dan Pemindahannya, FH Undip, Semarang.
A.P.Parlindungan, (1990), Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Mandar Maju, Bandung.
________, (1993), Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung Mandar Maju, Bandung
Arie S Hutagalung, (2001), Asas-Asas Hukum Agraria, UI Press, Jakarta
Boedi Harsono, (1995) Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Djambatan. Jakarta.
________, (2008), Hukum Agraria Indonesia, Djambatan, Jakarta.
Urip Santoso, (2010), Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Prenada Media Group, Jakarta.

Undang-undang
Undang-undang Nomor 5 Tahun 1960 Tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria.
Peraturan Pemerintah Nomor 40 Tahun 1996 Tentang Hak Guna Usaha, Hak Guna Bangunan dan Hak Pakai Atas Tanah.
 


[1] A.P.Parlindungan,  Pendaftaran Tanah Di Indonesia, Bandung, Mandar Maju, 1990. Hal 1
[2] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-Undang Pokok Agraria, Isi dan Pelaksanaannya, Jakarta, Djambatan, 1995, Hal. 48
[3] Achmad Chulaemi, Hukum Agraria, Perkembangan, Macam-macam Hak Atas Tanah dan Pemindahannya, Semarang, FH Undip, 2006, Hal 69
[4] Boedi Harsono, Hukum Agraria Indonesia, Jakarta, Djambatan, 2008, Hal 23.
[5] Urip Santoso, Hukum Agraria dan Hak-hak Atas Tanah, Jakarta, Prenada Media Group, 2010, Hal  73-74.
[6] A.P Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, Bandung Mandar Maju, 1993, Hal. 124
[7] Arie S Hutagalung, Asas-Asas Hukum Agraria, Jakarta, UI Press, 2001, Hal. 27

Tidak ada komentar:

Posting Komentar

Recent Post

Trending Template

Pengikut