Jumat, 08 Januari 2016

MAKALAH POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL



Dosen: Dr. Muh. Hasrul, S.H., M.H.

POLITIK HUKUM DALAM PEMBANGUNAN HUKUM NASIONAL





Oleh:
SAFRI AWAL
(P3600215005)


Program Studi Kenotariatan
FAKULTAS HUKUM
Universitas Hasanuddin
MAKASSAR
2015






Pancasila sebagai sumber dari segala sumber hukum harus dijadikan dasar dan pedoman untuk menentukan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia. Namun demikian, harus diakui bahwa dari dahulu sampai sekarang banyak pihak-pihak yang mencoba mempengaruhi dan mengarahkan kebijakan politik (political will) dan politik hukum pemerintah dalam pembangunan hukum nasional Indonesia agar tidak lagi menjadikan Pancasila sebagai pedoman. Berdasarkan kenyataan tersebut, diharapkan agar kerangka pemikiran dalam makalah ini dapat dijadikan refleksi yang bertujuan untuk mengembalikan kedudukan dan fungsi Pancasila dalam rangka menyikapi peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional Indonesia.
Membahas mengenai politik hukum Indonesia tentu sangat erat kaitannya dengan realita sosial dan tradisional yang terdapat di dalam negara Indonesia sebagai faktor internal serta politik hukum internasional  sebagai faktor eksternal.  Faktor internal antara lain meliputi latar belakang sejarah, kebudayaan dan adat-istiadat, serta cita-cita masyarakat bangsa Indonesia. Perkembangan kehidupan berbangsa dan bernegara di Indonesia sejak orde lama, orde baru sampai dengan orde reformasi sekarang ini mengalami perubahan yang sangat besar terutama dalam  rangka mewujudkan tujuan gerakan reformasi di bidang hukum yang diimplementasikan melalui beberapa kebijakan hukum diantaranya dengan melakukan perubahan (amandemen) terhadap Undang-Undang Dasar 1945.
Meskipun  terhadap Undang-Undang Dasar 1945 telah dilakukan amandemen beberapa kali, orientasi pembangunan hukum harus tetap mencerminkan kehendak untuk terus menerus meningkatkan kesejahteraan dan kemakmuran rakyat Indonesia secara adil dan merata, serta mengembangkan kehidupan masyarakat dan penyelenggaraan negara yang maju dan demokratis berdasarkan Pancasila dan Undang – Undang Dasar 1945. Pancasila merupakan dasar filsafat dan sumber dari segala sumber hukum negara Republik Indonesia yang secara resmi disahkan oleh Panitia Persiapan Kemerdekaan Indonesia (PPKI) pada tanggal 18 Agustus 1945 dan dicantumkan dalam Pembukaan UUD 1945, diundangkan dalam Berita Negara Republik Indonesia  bersama-sama dengan batang tubuh UUD 1945.
Dalam perjalanan sejarah, sebagai dasar filsafat negara Republik Indonesia mengalami berbagai interpretasi dan manipulasi politik sesuai dengan kepentingan dan arah politik hukum penguasa untuk mempertahankan kekuasaannya. Dengan perkataan lain, Pancasila tidak diposisikan sebagai pandangan hidup bangsa dan negara Indonesia, melainkan dimanipulasi oleh para pemangku jabatan demi kepentingan politik mereka yang berkuasa.
Saat ini bangsa Indonesia ada di persimpangan jalan (crossroad) yang sangat menentukan masa depan bangsa dalam wadah Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI). Dalam pengertian ini, apakah  pemerintah dapat menjalankan peranan politik hukumnya sebagai suatu political will  untuk membangun hukum nasional yang berwawasan nusantara dan kebangsaan yang dapat dijadikan sebagai perekat untuk mempertahankan keutuhan rakyat Indonesia. Oleh karena pada masa sekarang ini, faktanya masih terdapat  produk hukum dan peraturan perundang-undangan yang yang bertolak belakang dengan cita-cita bangsa tetapi sengaja dipertahankan oleh pemerintah meskipun keberlakuannya bersifat inkonstitusional. Termasuk adanya pola-pola kebijakan pemerintah dalam melaksanakan peranan politik hukumnya, yang dianggap mencederai rasa keadilan masyarakat Indonesia dan bertentangan dengan nilai-nilai hukum.

Berdasarkan latar belakang diatas, adapun pokok permasalahan yang dibahas dalam makalah ini dapat dirumuskan sebagai berikut:
1.      Apa yang menjadi tujuan politik hukum nasional yang dicita-citakan bangsa Indonesia?
2.      Sejauh mana peranan politik hukum dalam pembangunan hukum nasional?



Secara etimologis, istilah politik hukum merupakan terjemahan bahasa Indonesia dari istilah hukum Belanda rechtspolitiek, yang merupakan bentukan dari dua kata recht dan politiek. Istilah ini seyogyanya tidak dirancukan dengan istilah yang muncul belakang, politiekrecht atau hukum politik, yang dikemukakan Hence van Maarseveen karena keduanya memiliki konotasi yang berbeda. Istilah yang disebutkan terakhir berkaitan dengan istilah lain ditawarkan Hence van Maarseveen untuk mengganti istilah hukum tata Negara. Untuk kepentingan itu dia menulis sebuah karangan yang berjudul “Politiekrecht, als Opvolger van het Staatrecht”.[1]
Menurut Padmo Wahjono, Pengertian Politik Hukum adalah kebijakan penyelenggara negara yang bersifat mendasar dalam menentukan arah, bentuk maupun isi daripada hukum yang akan dibentuk dan tentang apa yang dijadikan kriteria untuk menghukumkan sesuatu. Dengan demikian, Pengertian Politik Hukum menurut Padmo Wahjono berkaitan dengan hukum yang berlaku di masa yang akan datang (ius constituendum).[2]
Pengertian Politik hukum menurut Teuku Mohammad Radhie ialah sebagai suatu pernyataan kehendak penguasa Negara mengenai hukum yang berlaku di wilayahnya dan mengenai arah perkembangan hukum yang dibangun.[3]
Adapun pendapat dari Soedarto (Ketua Perancang Kitab Undang-undang Hukum Pidana), Pengertian politik Hukum adalah kebijakan dari negara melalui badan-badan negara yang berwenang untuk menetapkan peraturan-peraturan yang dikehendaki dan juga diperkirakan akan digunakan untuk mengekspresikan apa yang terkandung dalam masyarakat dan untuk mencapai apa yang dicita-citakan. Pada bukunya yang lain "Hukum dan Hukum Pidana", Pengertian politik hukum merupakan usaha untuk mewujudkan peraturan-peraturan yang baik sesuai dengan keadaan dan situasi pada suatu waktu.[4]
Satjipto Rahardjo memberikan definisi Politik Hukum sebagai aktivitas memilih dan cara yang hendak dipakai untuk mencapai suatu tujuan sosial dan hukum tertentu dalam masyarakat.[5]

Politik hukum nasional diartikan sebagai kebijakan dasar penyelanggara Negara dalam bidang hukum yang akan , sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara yang dicita-citakan.
Adapun kata nasional sendiri diartikan sebagai wilayah berlakunya politik hukum itu. Dalam hal ini yang dimaksud adalah wilayah yang tercakup dalam kekuasaan Negara Republik Indonesia. Dari pengertian tersebut, yang dimaksud dengan politik hukum nasional disini adalah kebijakan dasar penyelenggaraan Negara (Republik Indonesia) dalam bidang hukum yang akan, sedang dan telah berlaku, yang bersumber dari nilai-nilai yang berlaku di masyarakat untuk mencapai tujuan Negara (Republik Indonesia) yang dicita-citakan. Dari pengertian tersebut ada lima agenda yang ditekankan dalam politik hukum nasional, yaitu:
1.      Masalah kebijakan dasar yang meliputi konsep dan letak
2.      Penyelenggara Negara pembentuk kebijakan dasar tersebut
3.      Materi hukum yang meliputi hukum yang akan, sedang dan telah berlaku
4.      Proses pembentukan hukum
5.      Tujuan politik hukum nasional.[6]

Bila merujuk pada kalimat terkhir pengertian politik hukum nasional di atas, jelas bahwa politik hukum nasional dibentuk dalam rangka mewujudkan tujuan cita-cita ideal Negara Republik Indonesia. Tujuan itu meliputi dua aspek yang saling berkaitan, yaitu:
1.      Sebagai suatu alat (tool) atau sarana dan langkah yang dapat digunakan oleh pemerintah untuk menciptakan suatu sistem hukum nasional yang  dikehendaki
2.      Dengan sistem hukum nasional itu akan diwujudkan cita-cita bangsa Indonesia yang lebih besar.[7]
 
Hubungan antara hukum dan politik tergantung pada persepsi tentang apa yang kita maksudkan sebagai hukum dan apa yang kita maksudkan dengan politik. Jika kita berpandangan non-dogmatik dan memandang hukum bukan sekedar peraturan yang dibuat oleh kekuasaan politik maka tentu saja persoalan lebih lanjut tentang hubungan kekuasaan hukum dan kekuasaan politik masih bisa berkepanjangan. Namun jika kita menganut pandangan positif yang memandang hukum semata-mata hanya produk kekuasaan politik maka rasa tak relevan lagi pertanyaan tentang hubungan antara kekuasaan hukum dan kekuasaan politik karena pada akhirnya mereka mengidentikkan antara hukum dan politik tersebut.
Pada prinsipnya hubungan hukum dan politik telah di atur dalam sistem pemerintahan negara sebagaimana yang telah dicantumkan dalam penjelasan UUD 1945 diantaranya menyatakan prinsip Indonesia adalah negara yang berdasarkan atas hukum (rechtstaat) dan pemerintah berdasar atas sistem konstitusi (hukum dasar) elemen pokok negara hukum adalah pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights (tiada negara hukum tanpa pengakuan dan perlindungan terhadap fundamental rights).
Menurut Moh. Mahfud MD, menyatakan bahwa jika kita berasumsi bahwa hukum merupakan produk politik, maka dalam menjawab hubungan antara hukum dan politik, dapat dikatakan bahwa hukum dipandang sebagai dependent variable (variabel terpengaruh), sedangkan politik diletakan sebagai independent variable (variabel berpengaruh). Peletakan hukum sebagai variabel yang tergantung atas politik atau politik yang determinan atas hukum itu mudah dipahami dengan melihat realitas, bahwa kenyataannya hukum dalam artian sebagai peraturan yang abstrak (pasal-pasal yang imperatif) merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak politik yang saling berinteraksi dan bersaingan. Sidang parlemen bersama pemerintah untuk membuat undang-undang sebagai produk hukum pada hakikatnya merupakan adegan konstestasi agar kepentingan aspirasi semua kekuatan politik dapat terakomodasi di dalam keputusan politik dan menjadi undang-undang.[8]
Demikian pula hukum harus dapat membatasi kekuasaan politik agar tidak timbul penyalahgunaan kekuasaan dan kesewenang-wenangan, sebaliknya kekuasaan politik menunjang terwujudnya fungsi hukum dengan menyuntikan kekuasaan pada hukum yaitu dalam wujud sanksi hukum. Legitimasi hukum melalui kekuasaan politik salah satunya terwujud dalam pemberian sanksi bagi pelanggar hukum. Hukum ditegakkan oleh kekuasaan politik melalui alat-alat negara yang telah diberi kewenangan seperti polisi, penuntut umum dan pengadilan. Setelah hukum memperoleh kekuasaan dari kekuasaan politik hukum juga menyalurkan kekuasaan itu pada masyarakatnya. Dalam hal ini, tentu saja sanksi hukum dapat pula mengganjar aparat kekuasaan politik yang melanggar hukum.

Hukum adalah sebuah entitas yang sangat kompleks, meliputi kenyataan kemasyarakatan yang majemuk, mempunyai banyak aspek, dimensi, dan fase. Bila  diibaratkan benda ia bagaikan permata, yang tiap irisan dan sudutnya akan memberikan kesan berbeda bagi setiap orang yang melihat atau memandangnya. Bernard Arief Sidharta menyebutkan bahwa, hukum berakar dan terbentuk dalam proses interaksi berbagai aspek kemasyarakatan (politik, ekonomi, sosial, budaya, teknologi, keagamaan, dan sebagainya) dibentuk dan ikut membentuk tatanan masyarakat, bentuknya ditentukan oleh masyarakat dengan berbagai sifatnya, namun sekaligus ikut menentukan sifat masyarakat itu sendiri.[9]
Hukum merupakan produk politik sehingga karakter setiap produk hukum akan sangat ditentukan atau diwarnai oleh pertimbangan kekuatan atau konfigurasi politik yang melahirkannya. Hal ini berdasarkan kenyataan bahwa setiap produk hukum merupakan keputusan politik sehingga hukum dapat dilihat sebagai kristalisasi dari pemikiran politik yang saling berinteraksi dikalangan para politisi. Meskipun dari sudut “das sollen” ada pandangan bahwa politik harus tunduk pada ketentuan hukum, namun dari sudut “das sein” bahwa hukumlah yang dalam kenyataannya ditentukan oleh konfigurasi politik yang melahirkannya.
Pada era Soekarno, politik adalah panglima, kemudian jargon ini digantikan dengan ekonomi dan pembangunan adalah panglima pada zaman Soeharto. Pembangunanisme (developmentalism) telah menjadikan rakyat sebagai obyek. Semua perbuatan negara selalu mengatasnamakan rakyat. Dan yang lebih memprihatinkan, hukum telah dijadikan alat dari negara untuk membenarkan setiap tindakan dari penguasa. Pada sisi lain, hukum diproduk dalam rangka memfasilitasi dan mendukung politik. Akibatnya, segala peraturan dan produk hukum yang dinilai tidak dapat mewujudkan stabilitas politik dan pertumbuhan ekonomi harus diubah atau dihapuskan. Dikalangan ahli hukum, minimal ada dua pendapat mengenai hubungan kausalitas antara politik dan hukum.

Dalam paradigma baru,  hukum tidak lagi dilihat sebagai entitas yang berdiri sendiri, melainkan harus mampu berinteraksi dengan entitas lain dengan tujuan pokok untuk mengadopsi kepentingan-kepentingan yang ada di dalam masyarakat. Untuk itu, tidaklah heran jika hukum bisa berinteraksi dengan politik. Hukum  yang demikian ini akan lebih mampu memahami atau menginterpretasi ketidaktaatan dan ketidakteraturan yang terjadi di masyarakat. Dengan demikian, didalam hukum yang responsif terbuka lebar ruang dialog untuk memberikan wacana dan adanya pluralistik gagasan sebagai sebuah realitas.
Moh. Mahfud dalam disertasinya yang berjudul ”Perkembangan Politik Studi tentang Pengaruh Politik terhadap Produk Hukum di Indonesia, menunjukkan bahwa ada pengaruh cukup signifikan antara konfigurasi politik terhadap produk hukum di Indonesia. Karena itu, kata Mahfud, kebanyakan produk hukum sudah terkooptasi kekuasaan.
Pengaruh politik dalam pembentukan hukum tampak jelas dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Tiap tahapan pembentukan peraturan perundang-undangan tidak dapat terelakkan dari pengaruh politik, yang akhirnya berdampak pada substansi peraturan perundang-undangan yang dibentuk oleh pemerintah. Menurut Pasal 1 Angka 1 UU No.12 Tahun 2011, pembentukan peraturan perundang-undangan adalah Pembuatan peraturan perundang-undangan yang mencakup tahapan perencanaan, penyusunan, pembahasan, pengesahan atau penetapan dan pengundangan.
Peraturan Perundang-undangan merupakan bagian dari hukum dan memiliki nilai yang urgen bagi perkembangan sistem hukum Indonesia kedepannya. Adapun yang dimaksud dengan peraturan perundang-undangan adalah peraturan tertulis yang memuat norma hukum yang mengikat secara umum dan dibentuk atau ditetapkan oleh lembaga negara atau pejabat yang berwenang melalui prosedur yang ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan.

Penegakan hukum di Indonesia dinilai masih belum lepas dari intervensi politik. Intervensi tersebut tidak hanya pada proses pembentukan produk hukum, namun juga pada proses-proses pelaksanaannya di lembaga peradilan. Menurut Ikrar Nusa Bakti dari Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) dan Todung Mulya Lubis, Ketua Dewan Pengurus Transparency International Indonesia, diungkapkan dalam Diskusi Intervensi Politik Terhadap Penegakan Hukum dan HAM di Kantor Komisi Yudisial, Jakarta, Rabu (25/2).
Menurut Ikrar, meski Indonesia sudah lepas dari era pemerintahan otoriter, namun adanya intervensi poiltik masih belum dapat dilepaskan. Hal ini bertentangan dengan rasa keadilan masyarakat. Sementara Todung menjelaskan, Indepedensi peradilan itu hanya mitos yang tidak pernah ada dalam kenyataan. Todung mencontohkan, dalam pemilihan hakim agung. Calon hakim yang diseleksi Komisi Yudisial pada akhirnya diserahkan ke Dewan Perwakilan Rakyat. "Di sinilah transaksi politik terjadi. orang-orang yang dikirimkan ke Mahkamah Agung merupakan hasil kompromi politik. Memang ada hakim karir, tapi bahkan mereka pun tidak bebas dari transaksi politik. Menurut Todung, indepedensi peradilan ini akhirnya akan bermuara pada lembaga-lembaga peradilan. Kata dia, lembaga-lembaga tersebut perlu ditata ulang lagi. Selain lembaga peradilan, reposisi terhadap Dewan Perwakilan Rakyat juga harus dilakukan.
Produk hukum yang dihasilkan masih lebih mementingkan kepentingan dan kompromi politik dibandingkan rakyat. Hal ini dapat terlihat banyak produk hukum yang dihasilkan di DPR justru kemudian diujikan ke Mahkamah Konstitusi. Sementara itu, menurut Wahyudi Jafar dari Konsorsium Reformasi Hukum Nasional (KRHN), proses pembentukan UU memang tidak dapat dilepaskan dari adanya transaksi poltik. Namun yang terpenting juga adalah bagaimana agar proses pelaksaan penegakan hukum oleh lembaga peradilan menjadi mandiri.
Adanya diskriminasi penegakan hukum. Harus diakui bahwa proses hukum kasus korupsi, khususnya yang berhubungan dengan korupsi DPRD dan Kepala Daerah kental dengan nuansa diskriminasi. Namun diskriminasi ini harus dipandang dalam konteks keadilan masyarakat, yakni ketika para koruptor diberikan kekhususan penanganan dibandingkan dengan kejahatan lainnya. Tidak mengeksekusi anggota DPRD yang telah dinyatakan bersalah dan mendapatkan putusan tetap (in krahct) merupakan kebijakan diskriminatif. Tidak memproses secara adil semua pelaku korupsi APBD juga diskriminatif.
Akan tetapi, penyikapan politik dengan meminta pembersihan nama baik anggota DPRD/Kepala Daerah akibat dari perlakuan diskriminatif aparat penegak hukum merupakan agenda yang telah keluar dari visi pemberantasan korupsi. Sebaliknya, penyikapan politik demikian tak lebih dari upaya untuk melindungi politisi daerah dari jangkauan hukum, dengan berlindung dibalik kewenangan mengawasi penegakan hukum yang dimiliki anggota DPR RI. Seharusnya ketika praktek diskriminasi terjadi, DPR RI secara konsisten mendesak aparat penegak hukum untuk menjerat semua pelaku yang terlibat. Tidak justru sebaliknya, meneriakkan adanya diskriminasi, akan tetapi membuat rekomendasi yang diskriminatif pula.
Menurut Soerjono Soekanto, ada lima faktor yang memberikan kontribusi pengaruh pada mekanisme penegakan hukum, yaitu  pertama, faktor hukum (subtance) atau peraturan perundang-un­dangan. Kedua, faktor aparat penegak hukumnya, yakni pihak-pihak yang terlibat dalam proses pembuatan dan penerapan hukumnya, yang berkaitan dengan masalah mentalitas. Ketiga, faktor sarana atau fasilitas yang mendukung proses penegakan hukum. Keempat, faktor masyarakat, yakni lingkungan sosial di mana hukum tersebut berlaku atau diterapkan, yang merefleksi dalam perilaku masyarakat. Kelima, faktor kebudayaan, yakni hasil karya, cipta dan rasa yang didasarkan pada karsa manusia di dalam pergaulan hidup.
Sementara itu Satjipto Rahardjo, membedakan berbagai unsur yang berpengaruh dalam proses penegakan hukum berdasarkan derajat kedekatan­nya pada proses, yakni yang agak jauh dan yang agak dekat. Berdasarkan kriteria kedekatan tersebut, maka Satjipto Rahardjo membedakan tiga unsur utama yang terlibat dalam proses penegakan hukum. Pertama, unsur pem­buatan undang-undang cq. lembaga legislatif.  Kedua, unsur penegakan hukum cq. polisi, jaksa dan hakim. Dan ketiga, unsur lingkungan yang meliputi pribadi warga negara dan sosial.
Kedua pandangan di atas tampaknya saling berkesesuaian. Kelima unsur sebagaimana disebutkan oleh Soerjono Soekanto dapat direduksikan menjadi tiga unsur sebagaimana disebutkan oleh Satjipto Rahardjo. Sebaliknya ketiga unsur yang dikemukakan oleh Satjipto Rahardjo dapat pula dirinci lebih lanjut menjadi lima unsur seperti dikemukakan oleh Soerjono Soekanto.
Telah lazim diungkapkan bahwa hukum khususnya dalam bentuknya sebagai undang-undang merupakan produk politik, artinya ialah bahwa undang-undang dibentuk sebagai hasil kompromi dari berbagai kekuatan sosial dan kemudian diberlakukan dan ditegakkan sebagai sarana untuk merealisasikan kepentingan dan tujuan serta untuk melindungi kepenting­an-kepentingan yang ada. Secara ideal kepentingan-kepentingan yang dilindungi ­tersebut meliputi kepentingan individu, masyarakat, serta bangsa dan negara.
Moh. Mahfud MD mengatakan dalam bukunya yang berjudul Politik Hukum, bahwa dalam kenyataannya produk hukum itu selalu lahir sebagai refleksi dari konfigurasi politik yang melatarbelakanginya. Dengan kata lain kalimat-kalimat yang ada di dalam hukum itu tidak lain merupakan kristalisasi dari kehendak-kehendak yang saling bersaingan. Satjipto Rahardjo menyatakan bahwa dalam hubungan antara subsistem hukum dan subsistem politik hukum, politik ternyata memiliki konsentrasi energi yang lebih besar sehingga hukum selalu berada pada posisi yang lemah.[10]


Menurut John Austin, seperti dikutip oleh Lili Rasyidi mengemukakan bahwa Law is a command of the lawgiver (hukum adalah perintah dari penguasa), dalam arti perintah dari mereka yang memiliki kekuasaan tertinggi atau yang memegang kedaulatan. Perdebatan mengenai hubungan hukum dan politik memiliki akar sejarah panjang dalam ilmu hukum. Bagi kalangan penganut aliran positivisme hukum seperti John Austin, hukum adalah tidak lain dari produk politik atau kekuasaan.[11]
Dengan demikian kita dapat mengatakan negara adalah ekspresi atau merupakan forum kekuatan-kekuatan politik yang ada di dalam masyarakat, maka hukum adalah hasil sebagian pembentukan keputusan yang di ambil dengan cara yang tidak langsung oleh penguasa. Penguasa mempunyai tugas untuk mengatur dengan cara-cara umum untuk mengatasi problema-problema kemasyarakatan yang serba luas dan rumit. Pengaturan ini merupakan obyek proses pengambilan keputusan politik yang dituangkan ke dalam aturan-aturan yang secara formal di undangkan. sehingga dengan demikian dapat dikatakan bahwa hukum adalah hasil resmi pembentukan keputusan politik penguasa.[12]
Pemerintah pada intinya merupakan pelaksana kehendak negara yang tidak lain merupakan manifestasi dari sistem politik. Pemerintah merupakan sebagian kecil dari keseluruhan anggota masyarakat dalam suatu negara yang diberi tugas untuk menyelenggarakan kekuasaan negara. Hukum itu merupakan satu sistem yang tetap, logis dan tertutup, oleh karena itu hukum dibedakan dalam dua jenis yaitu hukum dari tuhan untuk manusia (the divine law) dan hukum yang dibuat oleh manusia. Dalam diri hukum itu sendiri sebenarnya terdapat empat unsur yaitu perintah (command), sanksi (sanction), kewajiban (duty), dan kedaulatan (sovereignty).
Pandangan realisme hukum, menjelaskan bahwa hukum itu tidak selalu sebagai perintah dari penguasa negara, sebab hukum dalam perkembangannya  selalu dipengaruhi oleh berbagai hal. Hukum adalah hasil dari kekuatan sosial dan alat kontrol sosial dalam kehidupan bersama dalam suatu negara. Hukum pada dasarnya tidak steril dari subsistem kemasyarakatannya. Politk sering kali melakukan intervensi atas perbuatan dan pelaksanaan hukum sehingga muncul pertanyaan tentang subsistem mana antara hukum dan politk yang lebih suprematif. Pertanyaan ini muncul disebabkan karena banyaknya peraturan hukum yang tumpul dalam memotong kesewenang-wenangan, hukum tak mampu menegakkan keadilan dan tidak dapat menampilkan dirinya sebagai masalah yang seharusnya menjadi tugas hukum untuk menyelesaikannya. Bahkan dewasa ini banyak produk hukum lebih banyak diwarnai dengan kepentingan-kepentingan politik pemegang kekuasaan.
Masalah kekuasaan (authority) merupakan unsur penting dalam kehidupan manusia, bahkan sering dijadikan ajang konflik untuk mendapatkannya. Dalam kaitan ini Mochtar Kusumaatmadja mengatakan bahwa hukum tanpa kekuasaan adalah angan-angan, kekuasaan tanpa hukum adalah kezaliman. Lili Rasjidi menjelaskan bahwa hukum dalam pelaksanaannya memerlukan kekuasaan untuk mendukungnnya. Kekuasaan itu diperlukan karena hukum itu bersifat memaksa, tanpa adanya kekuasaan, pelaksanaan hukum akan menjadi terhambat. Semakin tertib dan teratur masyarakat, semakin berkurang pula dukungan kekuasaan yang diperlukan.
Jika hal yang terakhir ini ada dalam masyarakat, berarti dalam masyarakat itu sudah ada kesadaran hukum masyarakat untuk taat dan patuh pada hukum tanpa ada paksaan dari pemegang kekuasaan. Unsur pemegang kekuasaan merupakan suatu hal yang penting digunakannya kekuasaan yang dimilikinya sesuai dengan kehendak rakyat. Oleh karena itu disamping keharusan adanya hukum sebagai pembatas, juga diperlukan unsur lain yang harus dimiliki oleh pemegang kekuasaan seperti watak yang jujur dan rasa pengabdian terhadap kepentingan masyarakat yang tinggi.
Dalam pandangan Van Apeldoorn hukum itu sendiri sebenarnya merupakan kekuasaan. Hukum juga merupakan salah satu sumber daripada kekuasaan, disamping sumber-sumber lainnya seperti kekuatan (fisik dan ekonomi), kewibawaan (rohaniah, inteligensia, dan moral). Selain itu hukum juga merupakan pembatas bagi kekuasaan, oleh karena biasanya kekuasaan itu mempunyai sifat yang buruk yaitu selalu merangsang pemegangnya untuk ingin memiliki kekuasaan yang melebihi apa yang dimilikinya.
Sehubungan dengan hal ini Soerjono Soekanto mengemukakan bahwa baik buruknya sesuatu kekuasaan sangat tergantung dan bagaimana kekuasaan tersebut digunakan. Artinya baik buruknya kekuasaan senantiasa harus diukur dengan kegunaannya untuk mencapai suatu tujuan yang sudah ditentukan atau disadari oleh masyarakat lebih dahulu. Hal ini merupakan suatu unsur yang mutlak bagi kehidupan masyarakat yang tertib dan bahkan bagi setiap bentuk organisasi yang teratur.
Moh. Mahfud MD dengan mengutip pendapat Dahrendorf mencatat ada enam ciri kelompok dominan atau kelompok pemegang kekuasaan politik yaitu pertama jumlahnya selalu lebih kecil dari jumlah kelompok yang dikuasai, kedua memiliki kelebihan kekayaan khusus untuk tetap memelihara dominasinya berupa kekayaan material, intelektual, dan kehormatan moral, ketiga dalam pertentangan selalu terorganisir lebih baik daripada kelompok yang ditundukkan, keempat kelas penguasa hanya terdiri dari orang-orang yang memegang posisi dominan dalam bidang politik sehingga elite penguasa diartikan sebagai elite penguasa dalam bidang politik, kelima kelas penguasa selalu berupaya monopoli dan mewariskan kekuasaan politiknya kepada kelas / kelompoknya sendiri, keenam ada reduksi perubahasan sosial terhadap perubahan komposisi kelas penguasa.
Dari uraian di atas dapat diketahui bahwa konfigurasi politik suatu negara akan melahirkan karatkter produk hukum tertentu di negara tersebut. Di dalam negara yang konfigurasi politik berciri demokratis maka produk politiknya berkarakter responsif (populistik), sedangkan di negara yang konfigurasi politiknya bercorak ortoriter, maka produk hukumnya berkarakter ortodoks (konservatif / elitis). Perubahan konfigurasi politik dari ortoriter akan melahirkan produk hukum. Konfigurasi politik yang demokratis akan melahirkan produk hukum yang responsif, sedangkan konfigurasi politik yang ortoriter akan melahirkan produk hukum yang konservatif.
Dalam era reformasi saat ini, konfigurasi politik demokratis, dengan ditandai banyaknya produk-produk politik penguasa melibatkan berbagai elemen masyarakat dalam mengambil keputusan. Dalam pelaksanaan konfigurasi politik demokratis yang sedang maraknya saat ini, agar tidak kebablasan maka perlu di ingat tentang tujuan politik nasional Indonesia yang di dasarkan pada perjuangan bangsa Indonesia yang telah berhasil merebut kemerdekaannya, berlandaskan Pancasila dan UUD 1945 untuk mengisi kemerdekaan tersebut guna mencapai masyarakat adil dan makmur.

Menurut Daniel S. Lev, yang paling menentukan dalam proses hukum adalah konsepsi dan struktur kekuasaan politik yaitu bahwa hukum sedikit banyak selalu merupakan alat politik dan bahwa tempat hukum dalam negara, tergantung pada keseimbangan politik, defenisi kekuasaan, evolusi idiologi politik. Walaupun kemudian proses hukum tidak di identikan dengan maksud pembentukan hukum, namun dalam prateknya seringkali proses dan dinamika pembentukan hukum mengalami hal yang sama, yakni konsepsi dan struktur kekuasaan politiklah yang berlaku di tengah masyarakat yang sangat menentukan terbentuknya suatu produk hukum. Dari kenyataan ini disadari, adanya suatu ruang yang absah bagi masuknya suatu proses politik melalui wadah institusi politik untuk terbentuknya suatu produk hukum.[13]
Pengaruh kekuasaan dalam hukum yakni mencakup kata process dan kata institutions, dalam mewujudkan suatu peraturan perundang-undangan sebagai produk politik. Pengaruh itu akan semakin nampak pada produk peraturan perundang-undang oleh suatu institusi politik yang sangat dipengaruhi oleh kekuatan-kekuatan politik yang besar dalam institusi politik. Sehubungan dengan masalah ini, Miriam Budiarjo berpendapat bahwa kekuasaan politik diartikan sebagai kemampuan untuk mempengaruhi kebijaksanaan umum (pemerintah) baik terbentuknya maupun akibat-akibatnya sesuai dengan pemegang kekuasaan.[14]
Dalam proses pembentukan peraturan hukum oleh institusi politik peranan kekuatan politik yang duduk dalam institusi politik itu adalah sangat menentukan. Institusi politik secara resmi diberikan otoritas untuk membentuk hukum hanyalah sebuah institusi yang vacum tanpa di isi oleh mereka diberikan kewenangan untuk itu. karena itu institusi politik hanya alat belaka dari kelompok pemegang kekuasaan politik. Kekuatan-kekuatan politik dapat dilihat dari dua sisi yakni sisi kekuasaan yang dimiliki oleh kekuatan politik formal (institusi politik) dalam hal ini yang tercermin dalam struktur kekuasaan lembaga negara seperti Presiden, DPR dan lembaga-lembaga negara lainnya dan sisi kekuatan politik dari infrastruktur politik adalah seperti partai politik, tokoh-tokoh masyarakat, organisasi kemasyarakatan, LSM, organisasi profesi dan lain-lain. Dengan demikian dapatlah disimpulkan bahwa pembentukan produk hukum adalah lahir dari pengaruh kekuatan politik melalui proses politik dalam institusi negara yang diberikan otoritas untuk itu.
Pengaruh kekuatan-kekuatan politik dalam membentuk hukum dibatasi ruang geraknya dengan berlakunya sistem konstitusional berdasarkan checks and balances, seperti yang dianut Undang-Undang dasar 1945 (UUD 1945) setelah perubahan. Jika diteliti lebih dalam materi perubahan UUD 1945 mengenai penyelenggaraan kekuasaan negara adalah mempertegas kekuasaan dan wewenang masing-masing lembaga-lembaga negara, mempertegas batas-batas kekuasaan setiap lembaga negara dan menempatkannya berdasarkan fungsi-fungsi penyelenggaraan negara bagi setiap lembaga negara. Sistem yang demikian disebut sistem checks and balances, yaitu pembatasan kekuasaan setiap lembaga negara oleh Undang-Undang Dasar, tidak ada yang tertinggi dan tidak ada yang rendah, semuanya sama di atur berdasarkan fungsi-fungsi masing-masing
Dalam Negara demokrasi, partai politik merupakan hal yang sangat penting dalam penyelenggaraan negara, sebab melalui partai politik inilah rakyat menentukan kebijakan untuk memilih presiden dan wakil presiden dan pejabat negara lainnya. Partai politik merupakan alat yang pernah didesain oleh kelompok masyarakat dalam suatu negara untuk mencapai tujuan politiknya, dan partai politik ini merupakan senjata yang paling ampuh dalam menekan kesewenangan pihak penyelenggara negara. Sedemikian pentingnya keberadaan partai politik dalam sebuah negara, sampai pada munculnya pemeo dalam masyarakat yaitu negara modern tanpa partai politik, sama saja dengan kolam yang tidak ada ikannya.
Partai politik sebagai institusi mempunyai hubungan yang sangat erat dengan masyarakat dalam mengendalikan kekuasaan pihak yang berkuasa. Hubungan ini sangat dipengaruhi oleh masyarakat yang melahirkan partai politik itu. Partai politik selalu dianggap sebagai salah satu atribut dari negara moderen, sebab partai politik itu sangat diperlukan kehadirannya bagi negara yang berdaulat. Bagi negara yang berdaulat eksistensi partai politik merupakan prasyarat baik sebagai sarana penyalur aspirasi rakyat, juga merupakan penentu dalam proses penyelenggaraan negara melalui wakil-wakilnya yang duduk dalam badan perwakilan rakyat.
Partai politik sering kali di asosiasikan orang sebagai organisasi perjuangan yaitu tempatnya seseorang atau sekelompok orang memperjuangkan hak-hak politik dalam sebuah negara. Menurut Huzhuszar dan Stevensoon dalam bukunya political science, sebagaimana yang dikutip oleh Bakti Ritonga mengatakan bahwa partai politik adalah sekelompok orang yang terorganisir dan berusaha untuk mengendalikan pemerintahan agar dapat melaksanakan program-program dan menempatkan anggota-anggotanya dalam jabatan pemerintah.
Partai politik berusaha untuk memperoleh kekuasaan dengan dua cara, yaitu pertama ikut serta dalam pelaksanaan pemerintaahn secara sah melalui pemilihan umum dengan merebut suara terbanyak (mayoritas), kedua dengan cara tidak sah (subversive) untuk memperoleh kekuasaan tertinggi dalam negara itu dengan cara revolusi. Lebih lanjut dikatakan bahwa persaingan antar partai politik merupakan bagian integral dalam proses guna memperoleh kemenangan dalam proses pemilihan umum. Partai politik yang memperoleh suara terbanyak dalam pemilihan umum, akan memperkuat posisi elite dalam menjalankan kekuasaan dan merealisir tujuan lebih lanjut yakni mengawasi kebijakan umum pemerintah.
Dalam konteks Indonesia, peran partai politik sebagai aspek pengubah hukum terlebih dahulu harus merujuk kepada ketentuan yang terdapat dalam Pasal 5 (1) Undang-Undang Dasar 1945 yang menyatakan bahwa Presiden memegang kekuasaan membentuk undang-undang bersama DPR. Hal ini sejalan dengan ketentuan Pasal 20 Ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan DPR. Berdasarkan ketentuan tersebut dapat diketahui bahwa peran Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dan DPR sebagai pemegang kekuasaan legislatif mempunyai peran seimbang dalam membuat dan mengadakan perubahan undang-undang. Berdasarkan ketentuan itu pula ditentukan bahwa anggota DPR adalah orang-orang yang mewakili atau diusulkan oleh Partai Politik yang ada.
Dalam UUD 1945 dijelaskan bahwa tugas dan wewenang DPR yaitu bersama-sama dengan Presiden membentuk undang-undang, bersama-sama Presiden menetapkan APBN, melaksanakan pengawasan dalam pelaksanaan undang-undang yang berhubungan dengan pelaksanaan APBN dan Pengelolaan Keuangan Negara serta kebijaksaan Negara dan pengelolaan keuangan negara serta kebijaksanaan pemerintah, membahas untuk meratifikasi dan atau memberikan persetujuan atas pernyataan perang/damai dan hasil pemeriksaan atas pertanggungjawaban keuangan negara yang diberitahukan oleh BPK dan melaksanakan hal-hal yang ditugaskan oleh ketetapan-ketetapan MPR kepada DPR.
Dari tugas dan wewenang DPR sebagaimana tersebut diatas, maka dapat diketahui bahwa tugas dan wewenang itu seimbang dengan tugas dan wewenang Presiden sebagai pemegang kekuasaan eksekutif dalam penyelenggaraan tugas-tugas negara. Dengan demikian dapat dikatakan bahwa partai politik mempunyai peran yang sangat penting dalam melakukan perubahan hukum. Selain itu, di luar DPR, anggota partai politik juga berperan dalam mengubah hukum dengan memberikan masukan (kalau perlu dengan tekanan) kepada DPR terhadap sesuatu hal yang merugikan rakyat.[15]   

BAB 3

Penelitian  ini  menggunakan  pendekatan  yuridis  normatif  Pendekatan   yuridis   normatif   dilakukan   dengan   cara   menelaah   dan   meng-interpretasikan  hal-hal  yang  bersifat  teoritis  yang  menyangkut asas,  konsepsi, doktrin  dan  norma  hukum. Pendekatan    yuridis    normatif    adalah    pendekatan    yang    dilakukan berdasarkan   bahan   hukum   utama   dengan   cara   menelaah   teori-teori, konsep-konsep,   asas-asas   hukum   serta   peraturan   perundang-undangan  yang berhubungan  dengan  penelitian  ini.  Pendekatan  ini  dikenal  pula dengan  pendekatan  kepustakaan,  yakni  dengan  mempelajari  buku-buku, peraturan   perundang-undangan   dan   dokumen   lain   yang   berhubungan dengan penelitian ini.

Jenis dan sumber data yang digunakan dalam makalah ini adalah data sekunder yakni data yang diambil berdasarkan keterangan-keterangan atau pengetahuan-pengetahuan yang secara tidak langsung , diperoleh melalui studi kepustakaan, bahan-bahan documenter, buku, tulisan-tulisan ilmiah dan sumber-sumber tertulis lainnya.

DAFTAR PUSTAKA
Abdul Manan, 2005, Aspek-aspek Pengubah Hukum, Kencana, Jakarta.
Achamad Ali, 2002, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta.
Daniel S. Lev, 1990, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, Cet I, LP3S, Jakarta.
Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, 2015, Dasar-Dasar Politik Hukum, RajaGrafindo Persada, Jakarta.
Moh. Mahfud MD, 2009, Politik Hukum di Indonesia, Rajawali Pers, Jakarta.
Padmo Wahjono, 1986, Indonesia Berdasarkan Atas Hukum, Gahlia Indonesia, Jakarta.
Satjipto Rahardjo,1985, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Sinar Baru, Bandung.
_______, 1991, Ilmu Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung.




[1] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Dasar-Dasar Politik Hukum, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 2015, Halaman 19
[2] Padmo Wahjono, Indonesia Berdasarkan Atas Hukum, Jakarta, Gahlia Indonesia, 1986, Halaman 160
[3] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari, Op.cit, Halaman 27
[4] Loc.cit.
[5] Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, Bandung, Citra Aditya Bakti, 1991, Halaman 191
[6] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. 2010. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, halaman 58
[7] Ibid, halaman 59
[8] Moh. Mahfud MD, Politik Hukum Indonesia, Jakarta, Rajawali Pers, 2009, halaman 10
[9] Imam Syaukani dan A. Ahsin Thohari. 2010. Dasar-Dasar Politik Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, halaman 2.
[10] Satjipto Rahardjo, Beberapa Pemikiran tentang Ancaman Antar Disiplin dalam Pembinaan Hukum Nasional. Bandung: Sinar Baru, 1985, halaman 71.
[11] Achmad Ali, Menguak Tabir Hukum, Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis, Gunung Agung, Jakarta, 2002, halaman 56
[12] Achmad Ali, Op.cit, Halaman 57
[13] Daniel S. Lev, Hukum Dan Politik di Indonesia, Kesinambungan dan Perubahan, LP3S, Jakarta, 1990. halaman 18.
[14] Ibid, Halaman 19
[15] Abdul Manan, Aspek-Aspek Pengubah Hukum, Jakarta, Kencana, 2005, Halaman 25

1 komentar:

Recent Post

Trending Template

Pengikut